AMBON, Siwalimanews – Citra penegakan hukum di Indonesia diperburuk dengan peng­hentian kasus dugaan korupsi di DPRD Ambon.

Tindakan Kejaksaan Negeri Ambon menghentikan kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran di DPRD Kota Ambon Rp5,5 miliar sesuai dengan temuan BPK justru memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia.

Proses penghentian dengan alasan telah mengembalikan kerugian negara dan menyampingkan tindakan perbuatan melawan hukum yang sudah dilakukan oknum-oknum anggota DPRD sesuai pasal 4 UU Tipikor, justru membuka ruang terjadinya korupsi.

“Pengembalian kerugian negara me­mang jadi priorotas dan itu rostorative justice atau keadilan restoratif, persoalan pemerintah melihat supaya jangan lembaga over kapasitas dalam lembaga. Tetapi jangan dilihat dari ganti ruginya, dilihat juga dari tindakan, perbuatan yang lakukan sehingga menimbulkan ter­jadinya kerugian negara,” jelas aka­demisi hukum Unpatti, Diba Wadjo kepada Siwalima, melalui telepon selulernya, Kamis (17/2).

Menurut Wadjo, pemberantasan tindak pidana korupsi selain dikejar pengembalian kerugian negara, tetapi juga tidak menyampingkan tindakan hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut.

Baca Juga: Klaim Air Bersih Tuntas, PUPR Jangan Lempar Tanggungjawab

“Memang prioritas dalam korupsi bagaimana uang negara itu kembali, tapi tindakan dan perilaku oknum yang melakukan korupsi itu harus juga diusut,” jelasnya.

Dia menyayangkan langkah Ke­jak­saan Agung menyetujui peng­hen­tian kasus dugaan penyalah­gunaan anggaran di DPRD Kota Ambon yang dilakukan oleh Kejak­saan Negeri, tanpa memahami lebih jauh maksud dari Pasal 4 UU Tipikor, bahwa pengembalian kerugian ne­gara atau perekonomian negara tidak menghapus tindakan pidana yang dilakukan.

Penghentian kasus ini, kendati merupakan hak subjektif dari ke­jaksaan, tetapi membuka ruang ter­jadinya korupsi makin marajalela, karena dengan sendirinya memberi­kan contoh bahwa siapa saja bisa korupsi asalkan mengembalikan keuangan negara. “Ini kan membuka ruang siapa saja bisa korupsi, nanti baru kembalikan uang negara. Ini justru memper­buruk penegakan hukum dalam ra­ngka memberantas korupsi,” cetusnya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Siman­juntak, mengatakan bahwa  proses penghentian kasus korupsi di DPRD Ambon itu sesuai prosedur.

“Ya terkait itu kan tahap penyeli­dikan, di mana Kajari Ambon sudah terlebih dahulu melakukan pengum­pulan terhadap keterangan-ketera­ngan. Kemudian berdasarkan fakta-fakta, mereka itu penghentiannya juga sudah dilakukan dengan eks­pos di kejaksaan tinggi,” kata Si­man­juntak, kepada wartawan, Rabu, (16/2), sebagaimana dilansir detiknews.

Leonard menyebutkan hasil eks­pose membuktikan kerugian keua­ngan negara senilai Rp 5,5 miliar sudah dikembalikan, sehingga tidak ada lagi kerugian negara di kasus tersebut.

Dan hasil pemeriksaan ekspose di kejaksaan tinggi sebagaimana mu­ng­kin sudah disampaikan tadi bah­wa kerugian negaranya itu sudah dikembalikan,” jelas Leonard.

Kendari Kejagung bersikukuh kalau penghentian kasus tersebut sudah sesuai prosedur, namun me­nurut Wadjo, jika proses penghen­tian sudah sesuai prosedur, lalu bagaimanakah dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum di DPRD itu, karena hal ini justru tidak memberikan efek jera, tetapi korupsi akan semakin mudah tumbuh, dan penegakan hukum dalam upaya memberantas korupsi juga akan sulit dilakukan.

Sesalkan

Terpisah, akademisi Hukum Uni­dar, Rauf Pelu juga menyesalkan langkah Kejaksaan Agung yang tidak memerintahkan Kejari Ambon melanjutkan kasus itu, tetapi menghentikan kasus tersebut.

Menurutnya, sikap penghentian kasus ini justru membuka ruang tidak ada efek jera karena siapa saja bisa de­ngan mudahnya melakukan ko­rupsi. Penegakan hukum di Indonesia justru akan semakin buruk, dan pros­es penegakan hukum hanya berlaku bagi rakyat jelata, sementara para pejabat yang melakukan ko­rupsi ketika dikembalikan kerugian ne­gara, maka otomatis pasti akan dibe­baskan karena kejaksaan telah menerapkan contoh yang demikian.

“Ini sama saja bikin orang banyak tambah korupsi, rame-rame korupsi yang penting uang negara kembali. Ini hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul bagi pejabat atau tumpul keatas,” cetusnya.

Potret penegakan hukum seperti apa yang musti ditegakan oleh ke­jaksaan jika tindakan praktek du­gaan korupsi dengan gampangnya dihen­ti­kan, dasar hukum apa yang digu­nakan untuk menghentikan kasus tersebut, dan begitu mudahkan aparat kejaksaan menyampingkan pasal 4 UU Tipikor.

Selain itu, bagaimana memberikan efek jera bagi para penyelenggara negara dan pengelola keuangan yang melakukan penyelewenangan keuangan negara.

“Ini proses hukum yang bagai­mana yang musti diterapkan untuk memberikan efek jera. Terkait de­ngan pengelolaan anggaran itu, karena ini membuka ruang orang dengan mudah korupsi,” ujarnya sembari menambahkan, kejaksaan keliru dalam menginterpretasikan pasal 4 UU Tipikor itu bahwa pengembalian keuangan negara atau kerugian negara tidak menghapus perbuatan hukum yang dilakukan.

MAKI: Itu Korupsi

Seperti diberitakan sebelumnya, pernyataan yang dibuat Kepala Kejaksaan Negeri Ambon Dian Frits Nalle, disebut asal-asalan dan tidak masuk logika hukum.

Kasus dugaan korupsi penyalah­gunaan anggaran Rp5,5 miliar di Sekretariat DPRD Kota Ambon, semakin menarik perhatian publik.

Selain penanganan kasusnya yang membinggungkan publik, per­nyataan Kepala Kejaksaan Negeri Ambon, Dian Firts Nalle, tidak masuk logika hukum. Karena pasal 4 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak meng­hapus perbuatan melawan hukum. Justru pengembalian tersebut ada­lah bukti korupsi.

“Pasal 4 itu sama penyelidikan dan penyidikan sebelum, tetapi ketika prosesnya uang sudah prosesnya uang sudah diterima masing-masing dengan cara melawan hukum, maka sudah dikatakan korupsi. Dalil Kajari itu sangat tidak masuk logika hu­kum, karena prosesnya itu pengem­balian uang tidak menghapus per­buatan pidana yang dilakukan,” jelas Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman kepada Siwalima, melalui voice WhatsApp, Sabtu (12/2).

Boyamin mengatakan hal itu menanggapi pernyataan Kajari Ambon, Dian Frits Nalle yang mene­gaskan bahwa pengembalian keru­gian negara telah dikembalikan oleh anggota DPRD Kota Ambon saat penyelidikan dan bukan penyidikan, pada dugaan korupsi di DPRD Kota Ambon yang ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, tahun 2020.

Menurut Saiman, rekomendasi BPK secara otomatis ditujukan ke Walikota untuk memulihkan kerugian negara, dimana BPK tidak pernah memerintah aparat penegak hukum untuk usut, justru temuan BPK itu kejaksaan bisa mengusut jika ada temuan kerugian negara atau bukti-bukti yang cukup, maka diadakan penyelidikan.

“Ya otomatis BPK perintah wali­kota, karena itu untuk memulihkan kerugian negara. BPK tidak pernah perintah untuk menyidik atau tidak menyidik, justru aparat penegak hukum termasuk kejaksaan untuk menyidik, jika ada temuan, ada kerugian negara, ada bukti-bukti yang cukup maka diadakan penye­lidikan. Ini adalah tugas kejaksaan,” tegasnya.

Saiman menilai, Kejari diduga sengaja melempar bola kembali ke BPK, padahal temuan ini dasarnya dari BPK dan harusnya dituntaskan sampai ke pengadilan.

Kajari, katanya, harus mengambil tanggung jawab penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi penya­lahgunaan anggaran Rp5,5 miliar di DPRD Kota Ambon, sesuai temuan BPK sampai ke pengadilan.

“Ini namanya Kajari melempar bola yang seharusnya dia menendang, malah dikembalikan ke BPK. Temuan ini justru dasarnya BPK. Jadi harus dituntaskan dan harus sampai ke pengadilan. Jadi Kajari jangan kemudian melakukan narasi melempar-lempar, ambillah tanggung jawab menanggani perkara ini secara hukum di pengadilan,” cetusnya.

Dia mengaku, sudah melaporkan ka­sus ini ke Jaksa Agung Muda Bi­dang Pengawasan, sedangkan untuk pra­peradilan kapapun itu bisa diaju­kan. “Untuk praperadilan itu bisa diaju­kan kapanpun bisa, jadi tetap opsi. Ren­cana pelaporan sudah dan sudah sam­paikan laporan secara elektronik ke­pada Jamwas untuk evaluasi,” tegasnya.

Tak Rasional

Pernyataan Kajari Ambon soal dugaan korupsi DPRD Kota, sangat tidak rasional dimana proses pengembalian kerugian negara juga cacat prosedur. Berdasarkan pasal 4 UU Tipikor No 31 Tahun 1999 pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara oleh oknum-oknum anggota DPRD Kota Ambon, tidak menghapus tindakan pidana yang dilakukan, apakah proses pengembalian tersebut pada saat penyelidikan ataupun penyidikan, tetapi pengembalian keuangan itu sudah membuktikan adanya tindak pidana perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum DPRD Maluku.

Demikian diungkapkan, akademisi Hukum Unpatti, George Leasa kepada Siwalima, Kamis (10/2) sore, menanggapi pernyataan Kajari Ambon, Dian First Nalle saat didemo ratusan mahasiswa OKP Cipayung yaitu, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasis­wa Kristen Indonesia (GMKI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Gerekan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menentang kebijakan Kejari menghentikan kasus dugaan penyalahgunaan anggaran di Sekre­tariat DPRD Kota Ambon, Rp 5,5 miliar.

Menurut mantan Dekan Fakultas Hukum Unpatti, George Leasa, per­nyataan Kajari tidak rasional menurut hukum, karena pengembalian keua­ngan negara telah membuktikan ada­nya tindak pidana korupsi yang dila­ku­kan oknum-oknum DPRD Kota Ambon. “Kasus temuan BPK ini kan 2020 sudah 2 tahun anggaran. Kasus disidik tahun 2021 dimana pengem­balian kerugian negara tahun 2021. Tahun 2020 anggaran yang diduga itu cair digunakan untuk apa, mekanisme pengeluaran seperti apa, apakah sesuai dengan prosedur hukum peng­gu­naan anggaran, ini pertanyaannya harus dijawab oleh Kajari,” ujarnya.

Dikatakan, Kejari melakukan penye­lidikan untuk mencari dan menemukan bukti  tentang sesuatu yang diduga terjadi tindak pidana, itu berarti bahwa ada dugaan kuat terhadap suatu terhadap mekanisme penggunaan anggaran yang tidak benar.

“Penggunaan anggaran tahun 2020, pengembalian tahun 2021 ini berarti untuk semua intansi, ini berarti pakai uang dolo biar salah nanti dikem­balikan tahun berikutnya, padahal ini sudah perbuatan pidana,” tegasnya.

Dalam kasus ini, lanjut Leasa, Kejari seharusnya tidak saja fokus pada pengembalian kerugian negara, tetapi sesuai pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor, maka perbuatan pidana penggunaan anggaran itu yang dititik beratkan.

“Ini bukan soal kerugian negara di­mana ada 7 item proyek sesuai te­muan BPK yang diduga fiktif ini juga harus dikejar. Apakah ini sudah prio­ritas dari pada hukum. Ini kan salah, dengan demikian siapa saja bisa pa­kai uang negara. Nanti usut kembali­kan. Ini kan salah,” tegasnya.

Prinsipnya, tegas Leasa, mengem­bali­kan keuangan negara tidak meng­hapus pidana yang telah dila­kukan oleh oknum-oknum di DPRD Kota Ambon, sehingga sebagai Kajari ha­rus memberikan penjelasan tentang perbuatan pidana terhadap penggu­na­an anggaran apakah su­dah sesuai de­ngan prosedur hukum ataukah tidak. “Kajari harus jelaskan semua­nya, karena dengan memberikan penjela­san bahwa uang negara sudah di­kembalikan dan pengem­baliannya saat penyelidikan bukan penyidikan, ini tidak rasional me­nurut hukum,” tegasnya lagi.

Leasa meminta Kajari harus memberikan penjelasan secara detail terkait dengan penggunaan angga­ran pada setiap item proyek yang terjadi dan tidak saja terfokus pada pengembalian keuangan negara, karena pengembalian keuangan itu tidak menghapus perbuatan pidana yang dilakukan.

“Saya ada baca penjelasan pak Kajari bahwa pengembalian keua­ngan negara sudah memenuhi asas man­faat, asas keadilan dan asas kepastian hukum. Ini asas-asas yang bagaimana manfaat adanya dimana kepada ne­gara atau ada pada orang yang meng­gunakan dana itu. Demikian juga asas keadilan dan kepastian hukum, apakah betul oknum DPRD meng­gunakan uang negara tahun 2020 dan kemudian dikembalikan tahun 2021 itu suatu prosedur hukum yang di­inginkan dalam rangka penggunaan anggaran daerah termasuk anggaran negara?,” tanya dia.

Leasa berharap semua pihak khu­susnya akademisi hukum, mem­berikan perhatian terhadap kasus ini, karena ini sesuatu yang baru dicip­takan oleh Kajari Ambon dimana pengembalian keuangan negara itu bukti terjadinya korupsi.

Cacat Prosedur

Sementara itu, akademisi Unpatti lainnya, Sherlock Lekipiouw berpen­da­pat prosedur dan mekanisme pe­ngembalian kerugian negara oleh oknum-oknum DPRD adalah cacat prosedural. “Sesuai dengan waktu 60 hari temuan BPK untuk pengem­balian keuangan negara, jika tidak maka ditingkatkan ke penyelidikan,. Kan ini tabulabale yang dilakukan kejaksaan, maka patut diduga Ke­jaksaan ini Humasnya Pemkot Ambon,” ujarnya.

Sherlock menegaskan, yang Kajari perdebatkan beda penyelidikan dan penyidikan maka semua orang juga tahu proses tersebut. “Ini anak kecil juga tahu penyelidikan dan penyidikan, tinggal dilihat di google saja. Kajari sampaikan kalau ada bukti baru kasus ini bisa dibuka lagi, ini kan dia main api dalam sekam. Sudah sepatutnya Kajari diperiksa secara etik, karena ini bukan kita menguji orang per orangnya, tetapi jangan dihentikan dengan cara tidak sesuai dengan hukum,” katanya.

Dikatakan, sesuai ketentuan pasal 109 KUHP tentang syarat penghen­tian penyelidikan tidak ada satu pasal pun yang menyatakan bahwa peng­embalian kerugian negara sebagai salah satu syarat penyelidikan. “Ini jaksa baca ini bae-bae pasal 109,” pin­tanya.

Selain itu, lanjut Sherlock, pasal 4 UU Tipikor perdebat deliknya ada dalam ranah pembuktan di pengadilan. Karena pengembalian kerugian negara itu dalam rangka keringanan hukuman bagi terdakwa.

“Kalau dari asas kemanfaatan, jelas uang sudah dikembalikan, tetapi kemanfaatan yang dimaksudkan tidak boleh melanggar hukum, harus sesuai procedural,” ungkapnya.

Dia menilai, Kajari bermain api dalam sekam, karena tindakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum DPRD ini yang harus terus dilakukan.

Kata Sherlock, dari hasil peme­riksaan dokumen pertanggung jawa­ban keuangan ternyata, BPK mene­mukan 7 item penggunaan anggaran yang tidak bisa dipertanggung ja­wabkan dimana salah satunya belanja fiktif. “Ini artinya ada tindakan korupsi yang dilakukan secara sadar. Dan ini sudah terang benderang. Dan bagaimana jaksa menjelaskan soal belanja fiktif yang ditemukan BPK ini. Bagaimana jaksa konstruksi belanja fiktif, apalagi ada pihak ketiga sebagai pihak yang mengelola pengadaan barang dan jasa,” tuturnya.

Dengan demikian, lanjut Sherlock, Kejari juga perlu sertakan pasal 55 KUHP turut serta karena didalam hukum asas konstitusi tidak bole seseorang mendapatkan keuntu­ngan dari suatu perbuatan melawan hukum, dan sebaliknya seorang tidak boleh dirugikan dalam konteks perbuatan melawan hukum.

“Sehingga dalam konteks ini anggota dewan diuntungkan secara melawan hukum, karena perbua­tannya sudah selesai. Karena ini fiktif, kalau ada kesalahan membayar maka ini administrasi ini bisa human error. Tetapi ini belanja fiktif maka ini bukan human error,” tegasnya.

Selanjutnya, penyalahgunaan anggaran dalam penata kelolaan penggunaan rumah dinas ini kan harus dijelaskan oleh kejaksaan.

“Kejaksaan harus jelaskan item per item temuan BPK itu, bukan soal hentikan karena keuangan negara itu. Karena ini sepakat uang negara dikembalikan. Tetapi hati-hati ada putusan Mahkamah Konstitusi me­rubah delik pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor, yang tadi-tadinya syarat formil, menjadi syarat materil. Jadi bukan soal dampaknya kerugian secara nyata maka itu harus diper­hatikan,” ujarnya.

Catut Nama Kajari

Seperti diberitakan sebelumnya, pasca BPK menemukan dugaan pe­nya­lahgunaan anggaran di DPRD Kota Ambon, pimpinan dewan meng­gagas pertemuan rahasia, dengan melibatkan sebagian besar Anggota DPRD Kota. Anehnya, pertemuan itu bukan­nya digelar di ruang sidang Baileo Rakyat, Belakang Soya, malah dibikin di Hotel The Natsepa.

Pertemuan rahasia yang digelar Rabu (3/11) malam, dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan presepsi anggota dewan, terhadap kasus yang bakal disidik jaksa itu.

Sumber Siwalima di DPRD Kota Ambon menyebutkan, dalam perte­muan itu pimpinan dewan lebih banyak mengeluarkan isi hatinya mengenai temuan BPK.

Menurut sumber yang minta namanya tidak ditulis itu, pertemuan rahasia tersebut dipimpin Ely Toisuta, didampingi Gerald Mailoa dan Rustam Latupono. Hadir pula Sekretaris DPRD Steven Dominggus.

Sesuai rencana, pertemuan itu mes­ti­nya digelar pukul 19.00, tapi molor hingga pukul 21.30, karena menunggu kedatangan 35 anggota dewan. Sa­yangnya, hanya 29 orang yang menghadiri pertemuan rahasia itu, sementara enam lainnya tidak hadir.

“Yang tidak hadir itu Lucky Upulatu Nikijuluw Fraksi PDIP, Saidna Azhar Bin Tahir Fraksi Gabungan, Astrid Soplantila Fraksi Gerindra, Obed Souisa dari Fraksi Demokrat dan Tan Indra Tanaya Fraksi Nasdem, jelas sumber itu Rabu (17/11).

Diceriterakan sumber tadi, dalam pertemuan, Ely Toisuta berkali-kali meminta agar anggota dewan solid dan satu hati agar masalah yang melilit lembaga wakil rakyat itu dapat diselesaikan.

Menurut ibu ketua, dari hasil konsultasi dengan Kajari Ambon, beliau menitip pesan kalau masalah ini mau selesai, seluruh anggota dewan harus satu hati. Beberapa kali ibu ketua menyebutkan nama pak kajari dalam pertemuan itu,” ujar sumber tersebut.

Dalam pertemuan itu, anggota dewan rame-rame mengeluarkan uneg-uneg mereka, termasuk keter­bukaan oleh pimpinan yang selama ini dinilai tertutup. Selain itu, performance ketua dewan yang sangat standar dan biasa-biasa saja, karena sejak dilantik hingga kini, belum pernah memimpin rapat paripurna.

Mengetahui namanya viral di Hotel The Natsepa, Kajari Ambon Dian Fris Nalle sesumbar akan bekerja serius dan optimal untuk mengusut temuan BPK itu.

“Kita akan bekerja sesuai SOP dan tidak akan pernah terpengaruh de­ngan isu maupun intervensi dari siapapun. Kita akan tetap berkomitmen untuk mengusut temuan BPK ini,” tandas Nalle, kepada Siwalima, melalui telepon selulernya, Rabu (17/11).

Kajari juga menepis adanya informasi atau isu yang beredar di tengah masyarakat bahwa dalam rapat internal DPRD Kota Ambon di Hotel The Natsepa, beberapa waktu lalu, ada pernyataan Ketua DPRD Kota Ambon, Elly Toisuta bahwa temuan BPK sudah aman di jaksa. “Kalau ada informasi yang beredar di tengah masyarakat seperti itu, tidak benar. Jaksa yang mana yang dimaksudkan itu? Kami akan tetap bekerja sesuai SOP,” janji Nalle.  (S-05)