AMBON, Siwalimanews – Akankah Presiden Joko Widodo melakukan peletakan batu pertama pada lahan bermasalah?

Warga masyarakat pemilik lahan yang nantinya diperun­tuk­kan bagi pembangunan Ambon New Port, merasa resah lantaran belum menda­patkan kejelasan terkait dengan pembebasan lahan oleh peme­rintah daerah.

Keresahan warga itu disam­paikan langsung salah satu warga Waai, yang adalah pe­milik lahan yang nantinya di­peruntukkan bagi pemba­ngu­nan proyek strategis nasional Ambon New Port, Chres Bremer.

Menurutnya, sampai dengan saat ini dia dan beberapa rekan pemilik lahan belum juga men­dapatkan kepastian berkaitan dengan pembebasan lahan yang akan digunakan.

Dia mensinyalir tidak ada upaya yang transparan dari pemerintah Negeri Waai mau­pun Pemerintah Provinsi Ma­luku, terhadap warga pemilik lahan.

Baca Juga: Dua Bocah Terseret Sungai Ahuru, Satu Selamat, Satu Hilang

“Ini rasanya kurang adanya keterbukaan dari pemerintah negeri dan Pemerintah Provinsi Maluku dalam rangka ada ter­jadi sesuatu menyangkut pem­bebasan lahan. Pemerintah juga tidak transparan bagi masya­rakat yang sedang berdomisili di tempat itu,” ungkap Bremer kepada Siwalima, Jumat (24/9).

Bremer mengaku, hingga saat ini tidak ada sosialisasi yang jelas menyangkut pembebasan lahan baik bagi masyarakat Dusun Batu Naga, Dusun Ujung Batu dan Batu Dua yang nantinya terkena dampak langsung dari proyek tersebut.

Salah satu keresahan kata Bremer, terletak pada belum adanya kepas­tian terkait harga ganti rugi yang nantinya didapatkan oleh pemilik lahan. “Mau peletakan batu pertama tapi sejauh ini belum diketahui be­rapa harga lahan per meter,” bebernya.

Hingga saat ini tambah Bremer, panitia pengadaan tanah bentukan Gubernur Maluku ketika datang pun belum pernah membicarakan perihal penentuan harga lahan. Padahal berdasarkan informasi, peletakan batu pertama akan dilakukan Pre­siden Joko Widodo November ini.

“Pertemuan dengan tim dari Pemprov juga sampai saat ini belum pernah membahas berapa harga lahan permeter. Tapi dengar-dengar berkisar Rp36 ribu permeter, sesuai NJOP. Tapi jika harga tetap mengarah pada NJOP, kami tidak bersedia,” tegasnya.

Alasan penolakan harga tersebut karena masyarakat pemilik lahan merasa diperlakukan tidak adil lantaran harga tanah di Pulau Jawa mencapai ratusan ribu rupiah dan jika ini terjadi maka menunjukkan pemerintah tidak memihak kepada masyarakat pemilik lahan.

Semua status tanah sama, di Jawa masa permeter mencapai ratusan ribu rupiah tetapi di sini mau dengan NJOP Rp36 ribu itu tidak adil, artinya pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat pemilik lahan,” jelasnya.

Selain masalah harga tanah, menurutnya di atas lahan tersebut terdapat banyak tanaman baik umur panjang maupun umur pendek yang juga mesti diperhatikan dengan baik oleh Pemprov Maluku.

“Jenis tanaman ada yang umur pendek dan umur panjang yang perlu diperhitungkan dengan harga yang lebih jika dibandingkan dengan harga jual tanah, lagipula tanah yang ada bukan tanah tandus melainkan tanah yang memiliki potensi pertanian yang sangat menjanjikan,” tandasnya.

Selain itu, masyarakat yang berada di lokasi terdampak juga sampai saat ini belum mengetahui secara pasti skema relokasi yang dilakukan nantinya oleh pemerintah provinsi Maluku pasca pembebasan lahan.

“Masalah relokasi juga tidak diketahui mau pindah ke mana. Ini belum jelas kalau tanah dipakai lalu mau ke mana,” bebernya.

Bremer menekankan, Kepala Pemerintah Negeri Waai yang juga masuk dalam Panitia pengadaan lahan, tidak boleh menyepelekan anak-anak dusun, sebab bagaimanapun mereka telah bertahun-tahun mendiami lokasi tersebut, maka secara tidak langsung hak mereka juga patut diperhatikan.

Karena itu, mestinya ada suatu persetujuan antara pemerintah dan masyarakat pemilik lahan, sebab walaupun panitia pengadaan tanah telah dibentuk, tapi harus ada negosiasi dengan masyarakat dan tidak bisa menentukan secara sepihak agar jangan sampai ke depan terjadi permasalahan.

Harus Bayar

Praktisi hukum Nelson Sianresy menegaskan Pemerintah Provinsi Maluku harus menjamin hak-hak masyarakat pemilik lahan diterima dengan baik sehingga pembayaran harus dilakukan sesuai dengan kesepakatan bersama. “Harus bayar itu hak masyarakat yang dilindungi oleh undang-undang,” tegas Sianresy.

Menurutnya, Pemerintah Provinsi Maluku jangan melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak mengindahkan hak-hak masyarakat atas tanah tersebut, karena akan menimbulkan akibat hukum yang fatal.

Apalagi, lahan tersebut diperuntukkan bagi pembangunan proyek srategis nasional sehingga status pembebasan lahan pun harus jelas.

Terkait dengan harga lahan, Sianresy menegaskan Pemerintah Provinsi Maluku tidak boleh menggunakan harga jual berdasarkan NJOP Kota Ambon, namun alangkah baiknya jika pemerintah memberikan kompensasi yang lebih sesuai.

Hal ini karena lahan yang nantinya digunakan untuk pembangunan Ambon New Port, menggunakan anggaran yang cukup besar sehingga tidak salah bila hak-hak masyarakat juga dapat dihargai dengan harga yang sepadan, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah kepada masyarakat pemilik lahan.

Disesalkan

Praktsi hukum, Muhammad Nur Nukuhehe menyesalkan keinginan Pemprov untuk bangun proyek New Port tetapi mengabaikan hak-hak warga.

Kepada Siwalima melalui telepon sleulernya, Minggu (26/7) mantan anggota DPRD Maluku Tengah ini meminta, Pemprov Maluku untuk segera ganti untung lahan milik warga.

“Ganti untung dulu lah hak-hak warga jangan bangun proyek diatas penderitaan rakyat. Selesaikan dulu supaya tidak menimbulkan masalah. Warga punya hak untuk itu,” ujarnya.

Nukuhehe berharap, Pemprov Maluku segera menyelesaikan hak warga dengan baik, “Kita berharap Pemprov segera selesaikan hak warga,” harapnya.

Hak Warga

Sebelumnya akademisi Fisip Unpatti Said Lestaluhu, mengingatkan Pemprov Maluku untuk tidak mengesampingkan hak-hak masyarakat dalam kaitan dengan pengadaan lahan guna kepentingan Ambon New Port.

Dijelaskan, walaupun proyek yang nantinya dikerjakan merupakan proyek srategis nasional dan diperuntukkan untuk peningkatan ekonomi Maluku, tetapi hak-hak masyarakat untuk mengalihkan status lahan harus dibebaskan.

“Walaupun itu proyek strategis nasional tetap hak-hak masyarakat untuk mengalihkan status lahan harus  dibebaskan,” ujar Lestaluhu kepada Siwalima, Kamis (23/9).

Menurutnya, dalam praktek pembangunan infrastruktur apapun harus mempertimbangkan status lahan, sebab jika tidak maka akan menimbulkan permasalahan ketika kegiatan dilakukan, apalagi anggaran yang diperuntukkan pun cukup besar.

Dalam kondisi ini maka Pemerintah Provinsi Maluku harus beritikat baik untuk menyelesaikan persoalan harga lahan bersama masyarakat setempat, artinya hak-hak masyarakat harus dilindungi dengan jalan duduk bersama dan berdiskusi terkait persoalan harga.

Dihubungi terpisah, praktisi hukum Ronny Samloy menegaskan, Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hukum, karenanya semua tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus sesuai dengan aturan dan norma.

Dijelaskannya, walaupun berdasarkan UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tanah memiliki fungsi sosial tetapi hak masyarakat yang telah lama menempati tanah itu harus dihargai dan dihormati.

“Hak masyarakat yang telah lama menempati tanah itu harus dihargai dan dihormati,” tegas Samloy.

Dikatakan, semestinya harus ada proses ganti untung terhadap masyarakat, sebab jika tidak mengganti untung maka pemerintah telah melanggar hak asasi manusia dan pemerintah dapat digugat atas perbuatan melawan hukum.

“Apapun alasannya ganti untung harus dilakukan dahulu sebelum proses peletakan batu pertama kalau tidak dilakukan m tetapi memaksakan kehendak maka itu bagian dari arogansi kekuasaan,” cetusnya.

Keliru Ganti Rugi

Sementara itu, praktisi Hukum Hendrik Lusikoy mengecam Pemprov Maluku yang meminta ganti rugi lahan warga dengan menghitung berdasarkan NJOP di mega proyek New Port ini.

Lusikooy mengatakan, pembayaraan ganti rugi harus berdasarkan kesepakatan dua belah pihak dalam hal ini masyarakat pemilik lahan dengan Pemprov Maluku dan bukan mengacu pada NJOP.

“Kalau menyangkut ganti rugi sekarang ini tidak lagi menggunakan NJOP, tapi mengacu pada Undang Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Jadi kalau dalam proyek ini ganti ruginya mengacu ke NJOP saya kira keliru, karena harus atas kesepakatan kedua belah pihak,” pungkas Lusikoy kepada Siwalima, Kamis (23/9).

Dikatakannya, pemerintahkan tidak boleh sewenang-wenang dan berpikir punya kuasa untuk mengambil setiap keputusan. Karenanya dia berharap, kewajiban akan hak masyarakat bisa diselesaikan agar proyek Ambon New Port juga berjalan mulus.

Tinggalkan Masalah

Diberitakan sebelumnya, rencana pembangunan Ambon New Port meninggalkan berbagai masalah, termasuk ganti rugi atas pembebasan lahan warga.

Sejumlah masyarakat Negeri Waai yang mendiami tiga dusun yakni Dusun Batu Dua, Dusun Ujung Batu dan Dusun Batu Naga, menuntut hak akan lahan mereka yang masuk dalam proyek yang bernilai Rp5 triliun itu.

Mereka mengklaim kebijakan pemerintah kian tak jelas, pasalnya hingga kini tidak ada kepastian relokasi ataupun ganti rugi untuk pembebasan lahan mereka.

Warga yang kecewa lalu mendatangi DPRD Maluku, di kawasan Karang Panjang, Selasa (21/9). Mereka lalu menumpahkan kekecewaan terhadap sikap pemerintah itu kepada wakil rakyat.

Kuasa hukum warga, Imanuel Risto Masela kepada wartawan mengatakan, hingga saat ini tidak ada kejelasan ataupun kepastian mengenai proses ganti rugi lahan milik warga.

Padahal menurut Risto, dalam hal proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, mestinya sudah ada kepastian bagi masyarakat proses pergantian, atau ganti rugi dimana sudah ada tempat-tempat di relokasi atau ditempatkan.

“Sampai saat ini belum ada kepastian dari pemerintah provinsi soal ganti rugi dan relokasi. tiba tiba sudah ada rencana peletakan batu pertama, kan kacau ini,” ujarnya.

Karenanya, Risto mendesak pemerintah untuk memberikan kepastian, khususnya kepada warga tiga dusun itu.

Terpisah, ketua perwakilan warga tiga dusun, Andi Fahriani Firmansyah mengatakan, kedatangan pihaknya bersamaan dengan agenda reses membuat mereka tidak dapat bertemu wakilnya di DPRD. Kendati begitu, dia berharap ada  penjelasan dari pemerintah tentang nasib warga.

“Masyarakat tidak mau lawan pemerintah tapi harus ada penjelasan dari pemerintah tentang nasib mereka, apalagi rumah dan kebun mereka terancam oleh pembangun mega proyek itu,” pungkasnya.

Menurutnya, perwakilan pemerintah Provinsi Maluku telah menemui warga dan meminta KTP maupun KK. Namun ketika ditanya untuk apa tidak ada jawaban. Untuk itu warga menuntut transparansi dari pemerintah akan nasib mereka nanti.

Lindungi Hak Warga

Anggota Komisi I DPRD Provinsi Maluku, Edison Sarimanela kepada Siwalima mengatakan, pembangunan Ambon New Port merupakan proyek strategis guna kemajuan Maluku ke depan. Namun dalam pembangunannya, pemerintah harus memperhatikan sejumlah aspek, termasuk hak-hak masyarakat selaku pemilik lahan dimana proyek tersebut nantinya dilakukan.

“Pemerintah harus transparan, jangan sampai masyarakat ditelantarkan hak mereka juga harus dilihat jadi untuk pembangunan newport, perlu adanya koordinasi pemerintah dengan para pemilik lahan untuk bagaimana menyelesaikan hak hak warga,” jelasnya. (S-50/S-45)