AMBON, Siwalimanews – Langkah hukum pengusaha Ferry Tanaya berhasil. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Ambon, Rahmat Selang mengabulkan seluruh per­mohonan praperadilannya.

Dalam sidang putusan, Kamis (24/9) hakim menyatakan penetapan Ferry Tanaya sebagai tersangka oleh Kejati Maluku dalam kasus pem­belian lahan untuk pembangunan PLTG Namlea, Kabupaten Buru tidak sah.

Dalam putusannya, hakim meno­lak permintaan Kejati Maluku selaku termohon. Sebaliknya, hakim meng­abulkan permohonan pemohon pra­peradilan untuk seluruhnya.

Surat perintah penyidikan Kejati  Maluku Nomor Print-01/S.I/FD.1/04/2019 tertanggal 30 April 2019, yang dijadikan dasar untuk menetapkan Tanaya sebagai tersangka dinilai tidak sah dan tidak berdasar hukum. Begitu pula proses penyidikannya.

“Mengabulkan permohonan pe­mohon untuk sebagian, dan me­nyatakan penetapan pemohon seba­gai tersangka adalah tidak sah menurut hukum, dan oleh karena itu membebaskan pemohon dari status tersangkanya,” tandas hakim Rah­mat Selang saat membacakan putu­sannya.

Baca Juga: Tolak Eksepsi Eks Sekda Buru, Jaksa Minta Hakim Lanjut Sidang

Hakim juga menetapkan, membe­baskan Ferry Tanaya dari tahanan dan mengembalikan nama baiknya.

“Menghukum termohon untuk mengembalikan nama baik pemohon serta membebaskan pemohon dari rumah tahanan, sejak putusan ini di bacakan,” tandasnya.

Menurut hakim, penetapan pemo­hon sebagai tersangka oleh termo­hon melanggar pasal 142 dan pasal 109 KUHAP.

Dimana, dalam putusan Mahka­mah Konstitusi Nomor 21 sudah mem­perluas kewajiban termohon un­tuk menyampaikan SPDP, yang sa­lah satunya kepada pemohon selaku terlapor dalam kasus tersebut.

Hakim juga menyatakan, peneta­pan Ferry Tanaya  sebagai tersang­ka belum disertai dua alat bukti yang cukup. Hal itu bertentangan dengan ketentuan pasal 1 angka 2 KUHAP juncto pasal 30 UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Minyikapi putusan hakim, pihak Kejati Maluku tak mau menyerah. Penyidikan akan dilakukan lagi.

Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku Samy Sapulette, mengata­kan, putusan praperadilan bukan akhir dari proses hukum. Jaksa akan memperbaiki hal-hal yang dianggap salah oleh hakim.

“Terhadap putusan tersebut, pe­nyidik akan melakukan penyidikan kembali,” kata Sapulette.

Sementara ketua tim kuasa hukum Ferry Tanaya, Herman Koedoeboen menyatakan putusan hakim sudah sesuai pertimbangan hukum yang jelas. Namun apabila pihak kejak­saan akan kembali melakukan penyidikan, silakan saja.

“Itu kewenangan mereka. Silakan saja, itu kewenangan mereka. Nanti kita lihat,” kata Koedoeboen.

Pasca putusan hakim, Koedoe­boen berharap Tanaya segera dike­luarkan dan dibebaskan dari taha­nan. Apabila tidak langsung dibe­baskan, maka itu melanggar hak asasi manusia.

Dari kasus ini, ia berharap, pihak kejaksaan lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Sebelumnya, Kejati Maluku mene­tapkan Ferry Tanaya dan Abdur Gafur Laitupa, mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru ditetapkan sebagai tersangka.

Tanaya ditetapkan sebagai ter­sangka berdasarkan Surat Peneta­pan Tersangka Nomor: B-749/Q.1/Fd.1/05/ 2020, tanggal 08 Mei 2020. Sedangkan Laitupa berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-750/Q.1/Fd.1/05/2020, tanggal 08 Mei 2020.

Keduanya kemudian ditahan pada Senin (31/8), di Rutan Polda Maluku.

Lahan seluas 48.645, 50 hektar di kawasan Jikubesar, Desa Namlea, Ke­camatan Namlea, Kabupaten Buru milik Ferry Tanaya dibeli oleh PLN untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Sesuai nilai jual objek pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2. Namun jaksa menduga ada kongkalikong antara Ferry Tanaya, pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan oknum BPN Kabupaten Buru untuk meng­gelembungkan harganya. Al­ha­sil, merugikan negara sebesar Rp.6.401. 813.600. Lahan milik Ferry menurut jaksa adalah aset negara. (Cr-1)