AMBON, Siwalimanews – Penetapan Ferry Tanaya se­bagai tersangka kasus dugaan korupsi pembelian lahan bagi pembangunan PLTG Namlea, Kabupaten Buru, tidak sah.

Hal ini disampaikan Ahli Hu­kum Pidana Universitas Hasa­nuddin Makassar, Said Karim saat dihadirkan dalam sidang lanjutan praperadilan, Senin (21/9).

Karim mengatakan, untuk mene­tapkan seseorang sebagai tersa­ng­ka diperlukan dua alat bukti. “Tersangka adalah penetapan se­seorang karena perbuatannya berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti yang cukup itu minimal dua alat bukti,” jelasnya.

Namun menurutnya, alat bukti itu mesti ditemukan penyidik pada saat penyidikan dimulai. Hal itulah yang menjadi dasar penetapan tersangka.

“Menetapkan seseorang men­jadi tersangka sebelum penyidi­kan, maka penetapan tersangka ter­sebut tidak sah dan benar ber­dasarkan hukum,” tandas Karim.

Baca Juga: Polisi Belum Ungkap Penyebab Kebakaran Resort Maluku

Dia mengatakan, alat bukti yang digunakan penyidik tidak sah. Pasalnya, hal itu dilakukan tanpa adanya surat perintah dimulainya penyelidikam (SPDP).

“Penetapannya sah dengan adanya SPDP yang diterbitkan. Lalu ketika penyidikan dimulai, maka kewajiban penyidik adalah me­nyampaikan hal tersebut kepa­da terlapor dan pelapor,” ujarnya.

Karim menegaskan, harusnya penyidik menyerahkan SPDP se­minggu setelah diterbitkan. “Itu adalah kewajiban hukum. Jadi ka­lau kewajiban itu tidak dilaksana­kan tentu ada resiko hukumnya. Re­siko hukumnya,  prosesnya dila­kukan bertentangan dengan hukum acara pidana,” tuturnya.

Dia menyimpulkan, rancangan proses penetapan tersangka dalam kasus ini tidak tertib dan melanggar perundang-undangan.

Sementara Talim Wamnebo, salah satu tokoh masyarakat Buru yang dihadirkan dalam persida­ngan menyebut, jaksa ikut terlibat dalam pembelian lahan PLTG Namlea.

Talim menjelaskan, jaksa ikut me­lakukan sosialisasi di Balai Desa Lala kepada pemilik lahan yang lain untuk keperluan pemba­ngunan Gardu Induk seluas 19 . 770 m2 dengan harga Rp 125 ribu. Keterlibatan jaksa dalam sosia­lisasi karena masyarakat minta harga lebih tinggi.

“Ada jaksa yang hadir bernama Agus Sirait melakukan sosialisasi dengan Rp125 ribu itu harga pasar yang sudah ditetapkan PLN.  Bah­kan dalam proses ganti rugi lahan gardu induk, Jaksa melakukan sosialisasi sampai dua kali dan mengawal sampai selesai proses pembayaran,” kata Talim.

Dikatakan, dari pemilik lahan-lahan itu, Ferry Tanaya yang me­miliki dokumen akte jual beli tahun 1985  dan ahli waris Said bin Thalib memiliki surat penjualan tahun 1928.

Sedangkan pemilik lahan lain­nya yakni Sofyan Umagapi, Junaidi dan Salim Umagapi tidak memiliki surat kepemilikan, tapi sudah menguasai lahan itu sejak turun temurun.

Olehnya itu, diarahkan Jaksa Sirait untuk meminta surat kete­rangan kepemilikan dari Raja sebagai alas hak untuk menerima pembayaran ganti rugi. “Pada saat pembayaran ganti rugi di Balai Desa juga disaksikan oleh pihak kejaksaan yakni Jaksa Berty Tanate dan semua Muspika saat  itu,” ujar Talim.

Hal itu dibenarkan Said bin Thalib. Dia mengaku, tanahnya yang ikut dilepaskan ke pihak PLN diverifikasi oleh pihak kejaksaan

“Pada saat itu yang memve­rifikasi adalah Agus Sirait dari Kejaksaan Ambon, Ferdy Tanate dari Namlea,” katanya, lalu me­nyerahkan bukti foto kepada hakim.

Dia mengetahui kedua orang itu dari pihak kejaksaan dari perkenalan yang dilakukan.

Menanggapi hal ini, pihak kejaksaan menyatakan penetapan Ferry Tanaya sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pembelian lahan pembangunan PLTG di Namlea, sudah sesuai aturan dan SOP penyidikan serta dibarengi dengan alat bukti sebagaimana yang diatur dalam pasal 184 KUHAP.

Usai mendengar keterangan saksi yang dihadirkan pengacara Ferry Tanaya, sidang dilanjutkan Selasa (22/9) dengan agenda pembuktian dari jaksa. (Cr-1)