PENINGKATAN jumlah korban covid-19, seolah, saling bersaingan dengan perlombaan menemukan vaksin paling ampuh untuk mengatasi wabah tersebut. Berita positifnya, sekian banyak industri farmasi kaliber dunia telah menghasilkan vaksin untuk mengendalikan virus korona.  Indonesia sendirim tampaknya masih terus menggencarkan riset dalam rangka memproduksi vaksin nasional. Vaksin Merah Putih, adalah rencana namanya.

Di belahan dunia lain, sejumlah uji coba vaksin covid-19 pada anak-anak, juga sudah mulai dilakukan. Tentu, menjadi harapan banyak pihak bahwa kelak anak-anak pun, akan dapat memiliki kekebalan terhadap covid-19 dengan menerima suntikan vaksin dimaksud. Namun, tidak semua perkembangan di seputar vaksin menunjukkan kabar baik. WHO, UNICEF, dan Gavi Pulse melakukan riset bersama sejumlah institusi pendidikan tinggi di Amerika Serikat. Temuannya, pada bulan Mei 2020, enam puluhan dari delapan puluh dua negara yang disurvei melaporkan, bahwa covid-19 telah menghambat program imunisasi di negara mereka masing-masing. Bahkan, meski program imunisasi terus disediakan pemerintah, kendala bagi anak-anak untuk menjalani vaksinasi tetap ada.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2019, empat belas juta anak tidak memperoleh vaksin untuk sejumlah penyakit measles dan DTP3. Indonesia, adalah satu dari sekian negara yang diidentifikasi UNICEF menghadapi problem tersebut. Psikologis Menurut Timothy Callaghan dari Texas A&M School of Public Health, terdapat tiga penjelasan psikologis atas halangan tersebut. Pertama, keyakinan bahwa pandemi tidak sungguh-sungguh ada, atau merupakan konspirasi dengan tujuan jahat. Kedua, ketakutan akan jarum suntik maupun efek samping dari vaksin. Ketiga, pandangan bahwa vaksinasi bertentangan dengan standar moral yang dianut masyarakat. Ketiga hal tersebut tampaknya juga terdapat di sini. Atas dasar itu, ada semacam kekhawatiran, bahwa penolakan terhadap program vaksinasi belum juga teratasi, betapa pun Indonesia telah menyelenggarakan vaksinasi covid-19 bagi anak-anak. Baik dengan vaksin impor maupun vaksin nasional. Ilmuwan psikologi lainnya, mengajukan penjelasan lain tentang penolakan terhadap vaksin. Kondisi dimaksud adalah, dilema aksi kolektif ( collective action dilemma, CAD).

Penolakan terhadap vaksinasi didasari anggapan, bahwa orang yang diimunisasi adalah lebih banyak daripada yang tidak diimunisasi. Karena kekebalan mayoritas warga telah terbangun akibat vaksinasi, maka warga lainnya justru merasa tidak lagi membutuhkan vaksin, agar bisa imun terhadap bibit penyakit. Guna menangkal bermunculannya kalangan yang menunjukkan vaccine hesitancy, kementerian dan lembaga terkait, sepatutnya, sejak sekarang mengarus-utamakan tema vaksin ke dalam kampanye penanggulangan covid 19. Pesan 3M perlu semakin diperluas, dengan kampanye positif tentang pentingnya vaksinasi dalam rangka menghentikan semakin meluasnya penyebaran wabah covid-19. Esensinya adalah, agar vaksin covid-19 dapat diangkat dalam setiap diskursus, tentang pengasuhan keluarga, dan kurikulum pembelajaran jarak jauh.

Komunitas-komunitas agamapun, memiliki peran strategis yang dapat diaktifkan. Mereka dapat menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya vaksin covid-19, melalui forum-forum interaksi antara pemuka dan jamaah.

Baca Juga: Memutakhirkan Definisi Perempuan

Indonesia juga dapat belajar dari kebijkan imunisasi di Amerika Serikat. Di sana, pada dasarnya seluruh negara bagian memberlakukan kewajiban vaksinasi, dengan pengecualian bagi warga yang memiliki kondisi kesehatan khusus. Ada tiga puluh negara bagian yang mengizinkan tidak diberikannya vaksin kepada anak-anak dari keluarga yang memeluk kepercayaan tertentu. Delapan belas negara bagian juga mengakomodasi para orang tua, yang menolak anak-anak mereka menjalani vaksinasi dengan alasan filosofis. Dari riset diketahui, dispensasi sedemikian rupa berdampak pada semakin rentannya masyarakat terjangkit penyakit menular. Tidak sebatas melalui jalur edukasi. Sikap dunia terhadap orang tua yang menolak vaksin, terbelah dua. Kalangan pertama mengedepankan cara persuasif tanpa batas waktu dalam rangka meyakinkan para orang tua agar setuju memvaksin anak-anak mereka. Kalangan kedua menginginkan penerapan sanksi tegas. Tercatat, misalnya pengadilan Michigan, mencabut kuasa asuh seorang ibu untuk sementara waktu, bahkan mengirimnya ke tahanan selama satu minggu akibat melanggar kesepakatan pengasuhan dengan mantan suaminya. Isi kesepakatan yang dilanggar tersebut, adalah, orang tua pemegang kuasa asuh memastikan anak divaksin secara lengkap, dan tepat pada waktunya. Terhadap anak dari orang tua yang bercerai itu, hakim juga memerintahkan dilakukan vaksinasi sesegera mungkin.

Pengabaian hak anak Selain itu, saya memandang bahwa tidak memvaksin anak merupakan bentuk pengabaian terhadap hak anak untuk tumbuh dan berkembang sehat. Ketika kesehatan anak terganggu, hak-haknya yang lain pun akan berisiko terkesampingkan pula. Situasi semacam demikian terindikasi sebagai penelantaran orang tua terhadap anak. Bertitik tolak dari pandangan tersebut, saya akan memberikan dukungan apabila negara menjatuhkan sanksi kepada orang tua yang menolak vaksinasi terhadap anak-anak mereka. Juga, masuk akal apabila seluruh orang tua diwajibkan menunjukkan rekam medis anak mereka saat didaftarkan ke lembaga pendidikan. Sekolah yang menolak pendaftaran siswa baru, akibat tidak adanya rekam medis dimaksud tidak patut diperkarakan karena dianggap telah melakukan diskriminasi. Justru, penolakan tersebut patut dipahami sebagai prakarsa sekolah untuk menangkal penyebarluasan virus ke warga sekolah.

Penyelenggaraan vaksin bagi anak-anak, kiranya hanya tinggal menunggu waktu. Vaksin Merah Putih sebagai simbol kemandirian nasional dalam menciptakan Indonesia sehat, juga diharapkan dapat dihasilkan dalam waktu tidak terlalu lama. Sambil menantikan tibanya masa itu, langkah terintegrasi patut digencarkan, untuk memastikan sebanyak mungkin anak Indonesia kelak akan menjalani vaksinasi. Baik vaksin covid-19 maupun vaksin untuk penyakit-penyakit lainnya. Semoga.(Seto Mulyadi, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dosen Fakuktas Psikologi Universitas Gunadarma)