PEMERINTAH telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Aturan ini merupakan tindak lanjut UU No 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Peraturan ini menambah panjang jumlah regulasi yang sudah dikeluarkan pemerintah terkait dengan pelindungan awak kapal. Di Indonesia, pengaturan profesi tersebut berada pada dua kementerian, yaitu Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan. Kendati mengatur pekerjaan yang sama, menariknya, aturan yang dikeluarkan kedua instansi acap kali berbeda langgamnya. Situasi seperti itulah yang berlaku sejurus diberlakukannya PP No 22/2022 pada 8 Juni 2022. Ia direspons beragam. Satu pihak menolaknya, sedangkan pihak lainnya mendukung.

Dinamika tersebut terasa sekali, paling tidak, dalam grup aplikasi pesan kemaritiman yang saya ikut di dalamnya. Mereka yang menolak– sebagian besar ialah pelaut atau mantan pelaut berpangkat kapten– beralasan bahwa pelaut bukanlah pekerja migran sebagaimana yang dikategorikan peraturan tersebut. Dikutiplah konvensi International Labour Organization (ILO) No 143 Tahun 1975 Artikel 11 yang menyatakan istilah tenaga kerja migran tidak diberlakukan terhadap pelaut. Pendapat kelompok ini diamini Direktur Perkapalan dan Kepelautan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Ahmad Wahid. Seperti diberitakan salah satu portal berita kemaritiman, mengatakan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing tidak bisa disebut atau disamakan dengan pekerja migran Indonesia (PMI). Ia merujuk konvensi ILO Nomor C-097 Tahun 1949 dan Nomor K-143 Tahun 1975. Berdasarkan kedua aturan tersebut pelaut bukan pekerja migran. Bersama pelaut dari negara lainnya, kapal tempatnya bekerja berlayar ke berbagai negara dan hanya transit sebentar di sebuah negara untuk menaikkan/menurunkan barang atau penumpang. Kondisi itu sangat berbeda dengan pekerja migran yang memang menetap dan bekerja di suatu negara. Standar perlindungan dan kesejahteraannya telah ditetapkan oleh berbagai peraturan internasional seperti International Transport Workers Federation dan ILO.

Dalam sistem perekrutkan dan penempatan di kapal, pelaut harus melalui seleksi ketat yang ditetapkan aturan internasional. Perusahaan pengawakan kapal yang merekrut mereka harus jelas sehingga jika terjadi permasalahan akan mudah mengatasinya. Demikian penjelasan sang direktur. Penulis bertanya kepada seorang kolega, pensiunan Kemenhub seputar status pelaut bukan pekerja migran. Lagi, saya mendapatkan penegasan dari beliau bahwa pelaut memang bukan demikian adanya. Karenanya, saya menamai pemikiran mereka sebagai ‘Mazhab Perhubungan’ mengingat semua aturan/regulasi yang disitir mereka semuanya berada dalam ranah kementerian itu. Ada UU No 17/2008 tentang Pelayaran, ada PP No 13/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran dan lain sebagainya.

Dalam berbagai peraturan yang berada dalam ranah Kemenhub ini terdapat pengaturan seputar profesi pelaut Indonesia, mulai pelatihan, sertifikasi, hingga penempatan, dan perlindungan mereka di atas kapal, baik di dalam maupun di luar negeri. Lalu, di tengah rimba raya peraturan kepelautan itu semua muncullah PP No 22/2022 yang dikeluarkan Kemenaker. Jelas bereaksilah Mazhab Perhu­bungan. Pelaut dengan seluruh aspek yang disebut sebelumnya di atas merupakan mainan mereka soalnya. Selain masalah mencampuri urusan instansi lain, PP No 22/2022 ternyata memiliki cacat hukum. Diungkapkan kolega pensiunan itu, kebetulan yang bersangkutan berlatar belakang pendidikan hukum, aturan tersebut ternyata tidak menyitir Maritime Labor Convention (MLC) yang merupakan ‘kitab suci’ bagi urusan kepelautan di seluruh dunia dalam bagian dasar hukum atau mengingat. Pada bagian ini hanya dicantumkan dua dasar hukum saja, UUD 1945 dan UU No 17/2017. Apalagi konvensi tersebut diratifikasi Kemenaker melalui UU No 15 Tahun 2016. Jelas kelalaian ini fatal sekali. Lantas, bagaimana dengan kelompok yang mendukung PP No 22/2022? Saya mengistilahkan mereka dengan ‘Mazhab Gatot Subroto’, merujuk kepada lokasi kantor pusat Kemenaker yang berlokasi di jalan protokol di Jakarta Selatan.

Untuk mengetahui sikap grup ini saya bertanya kepada Sekretaris Jenderal Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI) Syofyan, sebuah serikat pekerja. Menurutnya, pelaut memang tidak bisa dikelompokkan sebagai pekerja migran, khususnya mereka yang bekerja di atas kapal yang berlayar lintas negara. Namun, ada juga pelaut yang dapat digolongkan sebagai pekerja migran. Status ini melekat kepada mereka yang bekerja di atas kapal bunker service, harbor tug, dan crew boat di Singapura, Malaysia, UAE, dan lainnya yang berlayar terbatas. Untuk menjalankan profesinya mereka harus menggunakan work permit yang diterbitkan kementerian tenaga kerja setempat. Mantan pelaut yang berlayar terbatas di sebuah negara Timur Tengah itu mengungkapkan, kepada pelaut yang seperti itulah aturan penempatan dan pelindungan awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran yang diatur PP No 22/2022 ditujukan. Kebijakan ini diperlukan bagi mereka agar terhindar dari kemungkinan diperlakukan tidak layak oleh baik principal kapal maupun manning agency yang menyalurkannya.

Baca Juga: Inkonsistensi Elite, Standar Ganda, dan DOB Papua

Caranya dengan melakukan background check atau penelusuran latar belakang perusahaan pelayaran dan perusahaan pengerah pelaut di negara penempatan. Ketika background check tuntas– proses ini diawali perwakilan Indonesia di negara penempatan dan melibatkan kementerian/lembaga lainnya– barulah job order yang ditawarkan principal bisa ditindaklanjuti manning agency. Syofyan yang terlibat dalam pembahasan peraturan pemerintah itu sejak awal bersama stakeholder lainnya, termasuk Kemenhub, mengungkapkan mekanisme seperti itulah yang tidak hadir dalam berbagai peraturan yang berada dalam ranah Mazhab Perhubungan. SAKTI sering sekali mewakili pelaut atau keluarganya yang berkasus dengan principal/manning agency seputar masalah penempatan pelaut di kapal asing yang berujung ambyar. Hal ini sejatinya dapat dihindari bila dilakukan penelusuran latar belakang pemberi kerja terlebih dahulu, serta adanya deposit yang harus dijaminkan oleh manning agency untuk ongkos pemulangan dan pembayaran hak-hak awak kapal ketika ada perselisihan antara awak kapal dan pengusaha di kemudian hari. Apa sebaiknya yang perlu dilakukan seluruh pemangku kepentingan bidang kemaritiman terkait dengan dinamika yang dipicu oleh pemberlakuan PP No 22/2022? Saran saya, dibiarkan saja ia berjalan dan mari sama-sama kita lihat bagaimana ending nanti. Bila berjalan baik, lanjutkan. Jika tidak, dicarikan alternatif pengaturan lainnya. Tidak perlu ada upaya menggembosi dengan segala macam cara. Solusi terbaik tentu saja dibuatkan undang-undang khusus pelaut, Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)