SEJAK tahun 2012 hingga 2018, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pemerintah Provinsi Maluku telah memantau pertambangan Gunung Botak di Pulau Buru. Hasilnya, Komnas HAM menemukan percemaran lingkungan dan pelanggaran HAM di lokasi tersebut.

Setelah dilakukan pengamatan lapangan pada 22-25 Oktober 2018, Komnas HAM  melihat kerusakan lingkungan yang parah akibat pertambangan liar di Dusun Anahoni dan Dusun Wamsait (Gunung Botak).

Hal ini ditandai dengan mengeringnya tanaman sagu yang berada disekitar wilayah tambang, dan kematian ternak sapi dan kerbau di pesisir sungai Kayely. Sementara pemerintah provinsi dan kabupaten belum pernah melakukan uji laboratorium terhadap air, tanah dan udara, termasuk uji darah dan rambut manusia. Hanya penelitian oleh ahli-ahli kimia secara independen.

Temuan lainnya, sampai saat ini belum ada peraturan daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten yang mengatur tentang pengelolaan pertambangan minerba di Provinsi Maluku khususnya yang terkait wilayah pertambangan rakyat.

Namun, proses penutupan tambang tidak bertahan lama, pada Maret 2013 para penambang dari berbagai daerah wilayah Indonesia berdatangan kembali ke Kabupaten Buru untuk mengadakan kegiatan penambangan emas di Gunung Botak. Berbekal “karcis” yang diterbitkan oleh pihak yang menamakan dirinya “Dewan Adat” dengan harga jual Rp 525 ribu per orang yang berlaku selama tiga bulan.

Baca Juga: Terbengkalainya Sejumlah Proyek Jalan di KKT

Lalu, pada tahun 2014, Komnas HAM Perwakilan Maluku dilibatkan dalam Tim Penutupan dan Penertiban Tambang Emas Liar di Gunung Botak, Tim ini dibentuk oleh gubernur setelah adanya Instruksi Presiden Jokowi.

Penutupan tersebut tidak bertahan lama karena Penambang Liar di Gunung Botak kembali beraktivitas. Hal ini mengakibatkan pada 3 November 2014 terjadi konflik antar penambang yang menewaskan sekitar tiga orang penambang, dan untuk menangani konflik tersebut Polres Pulau Buru mengerahkan sebanyak 125 personil.

Meski demikian, belum ada perda soal pertambangan yang perspektif lingkungan dan HAM. Hasil temuan tersebut dan masukan dan dikaji untuk mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah dan pihak terkait.

Kini eksploitasi emas oleh para pelaku Penambangan Tanpa Izin (PETI) di Gunung Botak yang tidak terkendali, akan berdampak terhadap kerusakan lingkungan cukup parah pada 10-15 tahun mendatang.

Jika beberapa tahun terakhir ini isu hangat yang kemudian menjadi perhatian regional maupun internasional terkait dengan lingkungan di GB, kini kian memprihatinkan.

Penjabat Bupati Buru, Djalaludin Salampessy mengaku, kondisi Gunung Botak yang sangat memprihatinkan itu telah dilaporkan kepada Gubernur Maluku, Murad Ismail.

Sebut saja, wilayah perkebunan, sawah – sawah maupun wilayah hutan tidak bisa memberikan kehidupan dan kesejahteraan masa depan di negeri ini kalau PETI di GB terus dibiarkan.

Kalau dibiarkan tidak terkendalinya eksploitasi yang tidak terkontrol oleh  PETI , maka penambangan liar yang dilakukan itu  kemudian akan berdampak terhadap lingkungan Disentil berbagai history, terkait dengan Teluk Minamata, Peristiwa Nuklir di Chernobyl dan beberapa kejadian yang betul-betul mengharu-birukan kehidupan buat manusia di saat itu.

Dengan cerita history ini, maka bila eksploitasi di Gunung Botak tidak dikendalikan, maka dikhawatirkan nantinya Kabupaten Buru bukan lagi bagian dari masa depan.

Beberapa langkah juga telah dilakukannya yakni menginstruksikan kepada Kepala Dinas yang memiliki tupoksi untuk secara administratif mengawal migrasi masuk dan keluar arus manusia. Kemudian mengawasi perdagangan bahan kimia berbahaya yang tidak terkontrol.  (*)