PROTES keras terhadap pengertian kata perempuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa) Edisi V sebenarnya sudah lama dilontarkan oleh berbagai kalangan. Namun, kali ini secara mendesakkan perubahan arti yang memperhatikan aspek kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan.      Dari  penjelasan Tim Penyusun KBBI Pusat Bahasa melalui rilisnya, tergambar jelas dinamika pertumbuhan sebuah kamus ekabahasa sejak penerbitan perdana pada 1988 hingga edisi V belakangan, serta, pola leksikografi (teknik penyusunan kamus) yang digunakan.      Dijelaskan, bahwa kata perempuan  tidak mengalami banyak perubahan sejak edisi pertama kamus ekabahasa itu terbit pada 1988. Edisi pertama, hanya memadankan perempuan dengan wanita dan bini. Gabungan kata  berinduk perempuan yang artinya negatif semua. Antara lain, perempuan geladak, perempuan jahat, perempuan jalang, perempuan nakal, sudah terdaftar dalam edisi perdana.

Pada edisi kedua dan seterusnya, arti perempuan ditambahkan sebagai Orang yang memiliki puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui, selain menambahkan subentri perempuan lacur. Edisi ketiga menambahkan lagi, subentri perempuan simpanan. Pada edisi ketiga, kata puki diganti dengan vagina.

Penjelasan Tim Penyusun tersebut, juga menunjukkan, bahwa sebuah kamus berkembang seiring perkembangan bahasa dalam masyarakatnya.  Setiap penerbitan edisi baru KBBI, tak hanya menggambarkan pertumbuhannya, melainkan juga bahasa itu sendiri. Untuk ini, saya sependapat dengan Tim Penyusun KBBI, bahwa, bahasa mencerminkan peradaban sebuah bangsa, dan kamus merekam dan menyimpannya. Bergeser atau dibuang     Saya bukan ahli linguistik, juga bukan seorang sarjana bahasa Indonesia. Namun, sebagai feminis, saya memahami peran penting bahasa dalam membangun sebuah dunia, yang menghargai kesetaraan martabat setiap insan dan bebas dari berbagai bentuk kekerasan. Khususnya, kekerasan berbasis gender.

Bahasa bukan sebatas ‘perkakas’ komunikasi, sebab mengandung pandangan dunia yang turut membentuk pola pikir dan mendorong perilaku dan tindakan seseorang. Saya mencoba mencari tahu hal-ihwal kamus ekabahasa Indonesia pertama, dan penyusunan KBBI serta Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI). Pertanyaan pokok, dari mana asal kata-kata yang terekam dalam kamus?       Kamus ekabahasa Indonesia pertama, yakni Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) terbit pada 1952, diprakarsai oleh W.J.S Poerwadaminta yang dikenal sebagai Bapak Kamus Indonesia. Poerwa menjadikan novel Layar Terkembang (1936) sebagai sumber pengumpulan kata-kata. Poerwa juga memanfaatkan buku-buku lainnnya, dengan muatan kosakata yang umum digunakan sebelum tahun 1925.

Setiap kata yang dipilih, harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh Poerwa sendiri, yakni, berlaku di Medan, Batavia, Surabaya, Ambon dan Makassar. Selain itu, setiap kata, juga terdapat dalam lima buku atau majalah, dengan pengarang berbeda. Poerwa juga mencatat, keterangan sumber dari setiap kata, batasan makna dan contoh penggunaannya.

Pada cetakan kelima (1976), Pusat Bahasa mengolah kembali KUBI (narabahasa.id/rubrik-sosok/mengenai-Poerwadarminta-bapak-kamus-Indonesia). Catatan sejarah ini paralel dengan penjelasan Eko Endarmoko, penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) kepada saya tentang sumber-sumber TBI yang terbit pertama kali pada 2006. Eko mengatakan, TBI disusun dari banyak buku, kamus, media massa dan sejumlah situs (lihat juga Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 2016).

Bila diibaratkan, kerja penyusunan kamus merupakan perburuan kata-kata dari teks-teks terpilih, dan khasanah lisan dalam kurun waktu tertentu yang kriterianya ditetapkan oleh Tim Penyusun. Lalu,  menimbangnya, mengkaji dan merumuskan arti dan padanannya.   Saya bertanya kepada Eko, “Apakah arti sebuah kata dalam kamus bisa mengalami perubahan atau pergeseran?” Jawabannya, “Saya pernah membuang padanan kata istri sebagai “orang belakang”.

Penjelasan Eko ini menggambarkan, pada dasarnya sebuah kamus juga merupakan intepretasi tim penyusunannya terhadap kata-kata. Interpretasi ini dilakukan dengan cara, antara lain, membuang, memperluas, atau mengubah, dan hal ini sejalan dengan hakikat  bahasa yang sifatnya polisemi.

Dari referensi yang saya baca, tentang dinamika arti kata, dalam  KUBI dan edisi-edisi KBBI, dapat disimpulkan, bahwa sebuah kata bisa mengalami pergeseran atau perluasan dalam pengartiannya. Sebuah kajian memberi contoh kata nona. Dalam KUBI (1984) diartikan sebagai sebutan kepada anak perempuan atau orang perempuan yang belum kawin (biasanya bagi orang asing). Dalam KBBI (2008) diartikan sebagai kata sapaan kepada perempuan yang sudah bersuami, istri.

Kata ratu dalam KUBI  (1984) diartikan sebagai raja wanita, permaisuri, raja. Dalam KBBI (2008) sebagai raja perempuan, permaisuri, perempuan pemenang perlombaan yang menyangkut kegiatan khas kewanitaan (seperti dalam perlombaan memakai kebaya), perempuan yang paling menonjol dalam bidangnya.

Menyimak  entri sunat dalam KBBI, perlu diperluas artinya untuk mendukung antifemale genital mutilation. Kata sunat, diartikan dengan khitan atau potong kulup dan kata kulup berarti kelopak kulit yang menutupi ujung kemaluan laki-laki sebelum dikhitan, kulit khitan.  Sampai hari ini, sunat perempuan (female circumcision) masih berlangsung di Indonesia, pun seluruh dunia, kendati dunia terus bergerak menghapus praktik tersebut. Karena, merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM.

Kata sunat perempuan, barangkali tak banyak terekam dalam buku-buku, atau percakapan publik yang menjadi sumber-sumber data yang ditetapkan oleh Tim Penyusun KBBI. Namun, dipraktikkan di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Pertanyaannya, mengapa Tim Penyusun KBBI tidak mempertimbangkan definisi yang inklusif? Gerakan feminis global telah mengganti kata female circumsion dengan female genital mutilation (FGM), untuk menggambarkan aspek kekerasan dan  pelanggaran HAM.       Di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan  (Komnas Perempuan)  menyebut sunat perempuan dengan pemo­tongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP).

Istilah pekerja seks, juga digunakan oleh para feminis untuk menghormati martabat pelakunya, dan menggantikan pelacur. Sampai KBBI edisi III, kata pekerja seks belum terdaftar. Dalam KBBI Daring terdapat  entri pekerja seks komersial yang artinya orang yang mencari nafkah dengan cara menjual diri. Namun,  saat yang sama, juga terdapat subentri pelacur, yang artinya perempuan yang melacur, wanita tunasusila, sundal, entri pekerja seks komersial dan subentri pelacur terpisah, tak saling merujuk. Pertanya­annya, bagaimana hubungan kedua kosakata ini?

Jika kamus mencerminkan peradaban sebuah bangsa, orientasinya tentu tak semata pada jumlah kosakata, dan arti yang terekam. Melainkan, juga bagaimana interpretasi Tim Penyusun seturut dinamika masyarakat, di antaranya, pemenuhan hak-hak asasi perempuan.

Pada satu sisi, kamus merekam kata dan arti seturut khasanah yang terdapat dalam naskah-naskah lama, baik karya sastra, naskah-naskah akademik maupun media massa seturut kriteria yang ditetapkan tim penyusun. Namun di sisi lain, tim penyusun juga perlu memutakhirkan arti kata-kata lama. Antara lain, dengan perluasan arti seperti kata perempuan.

Definisi perempuan, perlu sejalan dengan hak-hak asasi perempuan, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai instrumen HAM internasional maupun nasional. Saran Badan Bahasa, agar memasukkan entri positif untuk kata perempuan dalam KBBI, adalah satu hal. Hal lain, yang juga mendesak dipertimbangkan, adalah memperluas, mengge­ser atau membuang arti yang merupakan bagian dari langkah pemutakhiran. ( Rainy MP Hutabarat, Pegiat Antikekerasan terhadap Perempuan)