DENGAN jumlah populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia mendapatkan kuota haji paling banyak. Pada musim haji tahun ini, misalnya, Indonesia mendapatkan kuota haji sebanyak 221.000 orang. Tren pendaftar terus mengalami peningkatan pada setiap tahun. Pada daerah tertentu, pemberangkatan jemaah haji terpaksa harus menunggu (waiting list) bahkan hingga puluhan tahun.

Bagi yang memiliki kelimpahan materi, tentu ditambah pula dengan ketaatan yang tinggi terhadap kewajiban haji, kekhawatiran terhadap masa tunggu yang lama bisa diatasi dengan mendaftar sebagai jemaah haji khusus, atau yang lebih populer dengan haji plus, atau juga haji furoda, kendati harus mengeluarkan dana beberapa kali lipat melampaui besaran biaya haji reguler.

Perjumpaan dan perwujudan 

Haji merupakan ritual kolosal yang melibatkan jutaan muslim dari berbagai negara di seluruh dunia. Episentrum haji ialah Kabah. Ditambah dengan ketentuan fiqhiyah yang terkait dengan rukun dan kewajiban haji, maka haji pada dasarnya merupakan perjumpaan dan perwujudan antara dimensi kesatuan (unity) dan keragaman (diversity) Islam. Islam, sebagai agama yang dipeluk oleh hampir 2 miliar penduduk di dunia, memiliki aspek fundamental di bidang akidah dan ibadah, yang mampu menyatukan dan mempertemukan umat Islam di berbagai belahan dunia melalui haji.

Haji, dengan demikian, merupakan momentum bagi umat Islam menyadari berbagai keragaman dan kesediaan menghormatinya. Perbedaan denominasi (Sunni dan Syiah) dan mazhab—setidaknya meliputi lima mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, dan Jakfari)–melebur dalam berbagai rangkaian ibadah haji yang memuncak pada wukuf di Arafah. Umat Islam beruntung memiliki media berupa haji karena menjadi meeting point yang dapat mele­burkan berbagai perbedaan.

Tidak mudah menyikapi perbedaan atau keraga­man. Di Madinah terdapat masjid yang bernilai historis. Namun, sayangnya tidak banyak yang mengunjungi, termasuk jemaah haji dari Indonesia. Namanya Masjid Ijabah atau dikenal juga dengan Masjid Muawiyah atau Masjid Al-Mubahalah. Masjid ini terletak sekitar 600 meter di sebelah barat daya masjid Nabawi, Madinah, atau sekitar 583 meter di utara permakaman Baqi’ di Madinah.

Dinamai Masjid Ijabah karena Nabi Muhammad berdoa mengajukan tiga permohonan kepada Allah. Dua doa yang pertama, yaitu agar masyarakat Madi­nah terhindar dari kelapa­ran dan banjir besar yang dapat menenggelamkan Madinah, dikabul­kan, sedangkan yang ketiga tidak dikabul­kan. Nabi Muhammad memohon agar umat Islam terhindar dari perselisihan yang ber­ujung pada permusuhan dan peperangan. Doa Rasulullah memberikan pelajaran penting tentang permasalahan yang ditim­bulkan oleh keragaman jika tidak dikelola secara bijak. Sebab. pada kenyataannya keragamaan terbukti menimbulkan kete­gangan, kegaduhan, dan pada gilirannya konflik.

Akar dan pemicunya tidak tunggal. Satu di antaranya ialah perbedaan penafsiran terhadap teks. Kendati objek penafsiran berupa teks yang sama. Namun, karena keragaman perspektif, entah bahasa dan pemahaman terhadap konteks suatu teks, perbedaan tidak terhindarkan. Perbedaan ini, di satu sisi, telah menciptakan kemajuan di bidang ilmu keagamaan, be­rupa muncul­nya beragam maz­hab pemikiran keagamaan yang menjadi rujukan dan me­mantik diskursus kons­truktif di majelis-majelis ilmu.

Namun, di sisi lain, penaf­siran yang sejatinya merupakan dialek­tika berbagai unsur-unsur manu­siawi seperti kapasitas keilmuan penafsir dan konteks yang mengi­tarinya sehingga status kebena­ran­nya bersifat relatif dan terbuka untuk dikritik dan bahkan didekonstruksi. Sayang­nya, penafsiran sering terjatuh pada absolustisme; klaim kebe­naran secara mutlak; dan menyalahkan pihak lain.

Objektivasi moderasi beragama

Maka dalam konteks sengkarut keragaman paham dan artikulasi keagamaan, moderasi beragama memiliki makna penting. Namun, kita tidak perlu lagi berbicara pada tingkat gagasan, tetapi yang terpenting ialah tahapan objektivasinya. Mengapa? Sebagai sebuah gagasan, moderasi beragama bisa dikatakan telah sedemikian kaya dan kuat karena banyak pihak yang telah memproduksinya. Dari pihak pemerintah, yaitu Kemenag, di samping menerbitkan buku bertajuk Moderasi Beragama pada 2019, juga mengeluarkan buku saku dengan judul Buku Saku Moderasi Beragama.

Belum cukup dengan kedua publikasi itu, Kemen­terian Agama juga telah menerbitkan Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam dan Panduan Implementeasi Moderasi Beragama di Madrasah, di samping publikasi berupa poster. Pen­ting juga ditambahkan Survei Indeks Profesionalisme dan Moderasi Beragama yang menyasar ASN di bawah Kemenag. Moderasi beragama juga telah menjadi proyek pemerintah bernilai triliunan rupiah.

Penguatan moderasi beragama juga dilakukan oleh sejumlah ilmuwan muslim seperti M Quraish Shihab yang menerbitkan Wasathiyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (2019), di samping Relevansi Islam Wasathiyah: dari Melindungi Kampus hingga Mengaktualisasikan Kesalehan (Azyumardi Azra, 2020) dan Wasathiyah Islam: Memahami Anatomi, Narasi, dan Kontestasi Gerakan Islam karya M Kholid Syeirazi (2023).

Jika merujuk setidaknya pada publikasi tersebut, moderasi beragama merupakan gagasan yang memiliki legitimasi kuat, terutama secara teologis seperti terlihat pada pilihan istilah Arab yang bersum­ber dari Al-Qur’an, yakni wasathiyah yang terdapat dalam Surah al-Baqarah ayat 143. Dengan tidak terlalu melibatkan pada penafsiran yang rumit teruta­ma dari sisi bahasa, wasathiyah dalam konteks kehidupan beragama dipahami sebagai keberaga­maan yang moderat atau moderasi beragama. M Quraish Shihab menjelaskan, moderasi beragama sebagai sikap beragama yang tidak ekstrem (ghuluw) dan berlebihan, atau melampaui batas (tatharruf) yang terlihat pada keindahan perilaku dalam kesehariannya.

M Quraish Shihab rupanya lebih menekankan pada dimensi apa yang disebut dalam sosiologi agama dengan consequences. Dikatakan oleh penulis Tafsir al Misbah itu, yang ekstrem boleh jadi orang yang taat beribadah, tetapi tidak menampilkan akhlak yang penuh toleransi. Penganut wasathiyah, lanjutnya, bisa jadi tidak banyak ibadahnya, tetapi luhur akhlaknya dan selalu tampil dengan ramah dan santun.

Penyebab ekstremisme, masih menurut M Quraish Shihab, karena tidak adanya keseim­bangan antara dimensi pengetahuan agama dengan semangat yang berlebihan untuk menjadikan pihak lain seperti dirinya baik dalam pemahaman maupun tindakan. Jika tidak sepaham dan sejalan dengan dirinya, dituding sesat bahkan kafir.

Menghadapi keragaman meniscayakan toleransi secara tulus yang tecermin pada pengakuan terhadap kebenaran dari pihak lain. Ini tidak mudah, terutama dalam konteks sosiopolitik di mana agama begitu mudah terlibat dalam relasi kuasa seperti di Indonesia. Paham dan wacana keagamaan tertentu dikapitalisasi yang mengarah pada rezimen­tasi agama, untuk kepentingan membangun hegemoni kelompok tertentu terhadap kelompok lain.

Haji membentangkan pelajaran berharga dalam menghadapi perbedaan di level personal dan kolektif. Pelajaran ini penting diinternalisasikan, yang nantinya menjadi living values dalam kehidupan publik. Hal ini penting bagi Indonesia. Sebagai negeri mus­lim terbesar, juga dengan pernik-pernik kera­gaman dan perbedaan, Indonesia sebenarnya mudah terpicu oleh konflik.

Mudah-mudahan perjumpaan secara harmonis antara dimensi kesatuan (unity) dan keragaman (diversity) dalam Islam selama haji, bisa terwujud dalam kehidupan publik masyarakat Islam di Indonesia. Islam di Indonesia dengan demikian menjadi model bagi Islam di kawasan lain. Semoga! Oleh: Syamsul Arifi n Wakil Rektor Bidang Akademik dan AIK Universitas Muhammadiyah Malang.