BANGSA Indonesia kembali kehilangan guru bangsa. Buya Syafii Maarif, pejuang kemanusiaan yang lugas dan sederhana. Surga terbaik telah menanti. Terlalu banyak teladan yang Buya tinggalkan. Linangan air mata tak terbendung saat penulis menyertai Buya di ambulans menuju permakaman Husnul Khotimah di pinggiran Kulon Progo, Yogyakarta. Banyak pelayat di pinggir jalan dengan wajah sayu berucap, “Sugeng tindak Buya.” Selamat jalan, sambil sedikit menundukkan kepala. Saat memberikan sambutan dalam upacara pemberangkatan jenazah, Presiden Joko Widodo atas nama pribadi dan bangsa menyampaikan, “Buya Syafii telah pergi, tetapi almarhum tetap hidup dalam ingatan kita sebagai guru bangsa yang sederhana. Buya Syafii adalah kader terbaik Muhammadiyah yang selalu terdepan dalam memberi contoh dan keteladanan, toleran dalam keberagaman, serta selalu menyampaikan pentingnya Pancasila bagi perekat bangsa.” Menurut catatan Hamid Basyaib, ketika Fazlur Rahman–profesor studi Islam Universitas Chicago–ke Jakarta pada 1985, ia mengatakan beliau mempunyai dua murid kesayangan di sini. “Nurcholish Madjid adalah pembaru (mujaddid), dan Syafii Maarif adalah pejuang (mujahid).” Sampai hari-hari terakhirnya, Buya konsisten menjalankan peran pejuang itu dengan caranya sendiri.

Mentalitas pejuang Di mata generasi muda yang sering menyertai, Buya yang sederhana ialah pejuang sejati. Komitmennya pada kemanusiaan dan kesejahteraan bangsa tidak diragukan. Buya akan lantang bersuara, bahkan bersedia pasang badan ketika melihat ketidakadilan. Mentalitas demikian barangkali hasil dari perjalanan hidupnya yang penuh liku. Buya terlahir dari pasangan Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan Fathiyah di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau, pada 31 Mei 1935. Karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang bagus, pendidikan Buya di tingkat dasar tidak lancar. Pada 1953, dalam usia 18 tahun, Buya meninggalkan kampung halaman merantau ke Jawa untuk belajar di Madrasah Mu’allimin Muhamma­diyah Yogyakarta. Dari sinilah perjuangan panjang dimulai. Setamat dari Mu’allimin, Buya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena masalah biaya. Dalam usia 21 tahun, Buya berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muham­madiyah Lombok untuk menjadi guru. Sepulang dari Lombok Buya menjadi guru di Baturetno, Surakarta, sebelum menjadi dosen IKIP Negeri Yogyakarta. Pendidikan Buya juga penuh warna. BA, Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Universitas Cokroaminoto Surakarta (1964); S-1, jurusan sejarah, IKIP Negeri Yogyakarta (1968); S-2, jurusan sejarah, Ohio University, (MA, 1980); S-3, pemikiran Islam, Universitas Chicago, (PhD, 1983).

Perjalanan hidup yang sarat perjuangan melahirkan pribadi yang tangguh dan autentik. Spiritualitas autentik Buya sering diekspresikan dalam berbagai kesempatan. “Bagi saya, tidak penting mau dianggap Muhammadiyah atau bukan, bahkan mau dianggap muslim atau bukan, karena yang terpenting adalah bagaimana Tuhan akan menganggap saya.” Sikap demikian, bagi sementara kalangan yang tidak mengenal beliau dari dekat, sering menimbulkan kesalahpahaman. Label liberal, antek penguasa, dan aneka sumpah serapah lain sering dialamatkan kepadanya. Semua itu ditanggapi Buya dengan senyumnya yang khas. Pada saat Buya didaulat menjadi salah satu penasihat Baitul Muslimin Indonesia PDIP, banyak umat di akar rumput yang mempertanyakan pilihannya itu. Ketika hal tersebut penulis sampaikan kepada Buya, jawabannya sangat mengejutkan.

“Masak ada yang minta nasihat tidak mau? Jangankan manusia, setan saja kalau minta nasihat akan saya nasehati.” Itulah Buya, semangat dan gairah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran selalu membara. Tanpa pandang bulu.   Merdeka belajar Buya ialah teladan utama merdeka belajar. Tanpa canggung berselancar dari satu bidang ke bidang ilmu lainnya. Sastra, sejarah, pemikiran Islam, politik, bahkan filsafat. Di setiap bidang yang diminati Buya selalu serius. Tidak hanya pada konten, tetapi sampai titik-koma. Kami sering mencandai beliau sebagai profesor titik-koma. Buya ialah pribadi yang sangat teliti, bisa jadi karena mantan editor. Membaca setiap tulisan sampai ke titik dan komanya.

Saat diledek murid-muridnya, mengapa guru besar masih sempat memperhatikan titik-koma, dengan serius Buya berargumen, “Peradaban dibangun dari hal-hal kecil. Kalau mengurus yang kecil-kecil saja tidak sanggup, bagaimana akan membereskan hal besar?” Pembelajaran mandiri (self-regulated learning) mengacu pada bagaimana anak menjadi master dari proses belajar mereka sendiri. Baik yang menyangkut kemampuan mental maupun keterampilan kinerja. Pengaturan diri tidak lain ialah proses mengarahkan diri sendiri, yang melaluinya peserta didik mengubah kemampuan mentalnya ke dalam aneka keterampilan terkait dengan tugas di berbagai bidang seperti akademisi, olahraga, musik, dan kesehatan. Ketersediaan sumber informasi yang dapat diakses langsung oleh peserta didik menandai berakhirnya dominasi ‘pendidik’. Peran pendidik sebagai jembatan transmisi ilmu pengetahuan semakin terpinggirkan. Pada era sebelumnya guru (dan buku cetak) nyaris menjadi sumber utama pengetahuan, sedangkan kini semua telah tergantikan oleh teknologi internet. Googling telah menyelesaikan pencarian informasi yang diperlukan. Oleh karenanya, disadari atau tidak, telah terjadi pergeseran peran pendidik sebagai sumber ilmu. Menurut Jack Ma, fungsi guru pada era digital berbeda jika dibandingkan dengan guru di masa lalu.

Baca Juga: Menangkal Kembalinya Hantu Inflasi di Indonesia

Sekarang guru tidak mungkin mampu bersaing dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hafalan, hitungan, hingga pencarian sumber informasi. Mesin jauh lebih cerdas, berpenge­tahuan, dan efektif jika dibandingkan dengan siapa pun karena tidak pernah lelah melaksanakan tugasnya. Fungsi guru bergeser lebih mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman, hingga empati sosial karena nilai-nilai inilah yang tidak dapat diajarkan mesin. Pada akhirnya, manakala pendidik masih memerankan diri sebagai pemegang otoritas keilmuan dan sumber informasi, mereka akan ketinggalan. Pendidik semestinya tidak lagi fokus pada upaya penguasaan materi, tetapi lebih pada upaya mendampingi dan melatih siswa bagaimana cara belajar mandiri sepanjang hayat sambil mempersiapkan anak menghadapi zamannya. Belajar di era digital menjadi sedemikian mudah dan murah. Dapat dilakukan kapan saja, di mana saja.

Tidak seperti zaman Buya dahulu. Perkem­bangan teknologi komunikasi dan informasi telah mendekatkan peserta didik dengan aneka sumber informasi. Dengan gawai pintar, dunia seolah berada dalam genggaman. Otoritas pembelajaran tidak lagi disandarkan kepada pendidik, tetapi lebih kepada peserta didik. Semoga semakin banyak pembaca yang berminat menjadi guru bangsa yang sederhana dan autentik, seperti Buya. Oleh: Khoiruddin Bashori Dewan Pengawas Yayasan Sukma Jakarta