AMBON, Siwalimanews – Ditemukan banyak kejanggalan pada dokumen pendukungnya, disamping ancaman limbah berbahaya itu sendiri bagi keberlangsungan lingkungan dan warga sekitar. Majelis Pekerja Harian Sino­de Gereja Protestan Maluku, secara tegas menolak rencana pemba­ngunan fasilitas limbah bahan berbahaya dan beracun, di Negeri Suli, Kecamatan Sala­hutu, Kabupaten Maluku Te­ngah.

Sikap tegas GPM itu dije­laskan secara tertulis dalam dokumen resmi yang bertajuk Evaluasi Lapangan dan Doku­men UKL UPL Pembangunan TPA Limbah B3 Fasilitas Kesehatan Provinsi Maluku di Suli, Kabupaten Maluku Tengah.

Dalam dokumen yang salinannya juga diterima redaksi, dijelaskan kalau sikap GPM itu didasari kajian dan evaluasi mendalam terhadap do­kumen UKL UPL proyek dimaksud, dimana ditemukan adanya pelang­garan pada ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Pada dokumen yang diteken langsung Ketua Sinode Pendeta ET Maspaitella dan Sekum Pendeta SI Sapulette, dijelaskan beberapa ke­salahan prinsip yang dibuat, misal­nya terdapat perbedaan nama ren­cana usaha dan atau kegiatan pada tahap awal atau proses tender, dengan dokumen lingkungan.

”Karenanya, Sinode GPM berke­simpulan dokumen UKL UPL ter­sebut, tidak sesuai pemeriksaan standar PPLH. Dimana berdasarkan PP. 22 Tahun 2021, pemrakarsa ha­rus mengajukan perubahan doku­men ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.”

Baca Juga: Periksa KCP Bobong, OJK Temukan Kelemahan Pemberian Kredit

Selain itu, terindikasi ada copy-paste dalam dokumen UKL UPL tersebut. Pasalnya dalam lembaran dokumen, tertulis daftar tabel ren­cana kerja pembukaan lahan Tana­man Pisang Abaka, tapi di dalam isi dokumen tidak terdapat informasi tentang daftar tabel tersebut, apalagi substansi dokumen tidak berhubu­ngan dengan pembukaan lahan Ta­naman Pisang Abaka. Artinya dokumen tersebut tidak melalui proses penilaian atau pemeriksaan.

Sinode GPM menilai proyek ter­sebut tidak harus diteruskan, karena memiliki dampak yang merugikan masyarakat dan lingkungan hidup secara tetap dan dalam waktu yang panjang. Di sisi yang sama, pemba­ngunan tersebut akan berdampak langsung pada proses pencerdasan sumber daya manusia Maluku, melalui Kampus UKIM Suli yang sedang dalam proses pembangunan.

Karenanya, Sinode GPM meminta Pemerintah Provinsi Maluku untuk melakukan langkah yang tidak berdampak pada pelanggaran keten­tuan hukum yang berlaku, dan semata-mata menimbulkan efek jangka panjang kepada derita mas­yarakat. Pengalihan lokasi proyek dari Wayame ke Suli adalah suatu bentuk pelanggaran aturan normatif, apalagi tidak disertai dengan pen­tahapan AMDAL sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

“Artinya, pembangunan TPA B3 fasilitas kesehatan di Suli, telah menyalahi seluruh ketentuan pe­raturan yang berlaku sehingga tidak harus diteruskan. Pemerintah perlu mencari lokasi lain dengan keten­tuan menjalankan secara prosedural sejak awalnya mekanisme yang diwajibkan oleh ketentuan perun­dang-undangan yang berlaku,” tegas GPM.

Ditolak Warga

Sebagaimana diberitakan sebe­lumnya, warga Negeri Suli secara tegas sudah menolak proyek pem­bangunan insinerator limbah bahan berbahaya dan beracun, atau disingkat B3.

Penolakan itu dilakukan lantaran proyek tersebut dinilai belum me­ngantongi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), karena proyek itu berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan dan kese­hatan masyarakat. Alasan penolakan lainnya yakni karena lokasi proyek berada di daerah resapan air, di­samping juga dekat dengan per­mukiman warga.

Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Desa Suli, Simon Luhu­lima kepada wartawan di Ambon Kamis (21/10) mengatakan, pemba­ngunan proyek itu dilakukan tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu oleh Dinas Lingkungan Hidup Pro­vinsi Maluku kepada masyarakat.

“Ada beberapa alasan kenapa kami menolak pembangunan peng­olahan limbah medis atau B3 itu. Kami warga Negeri Suli tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi pemba­ngunan fasilitasi limbah medis B3 tersebut,” kata Luhulima.

Selain itu, kata dia, lokasi pem­bangunan berdekatan dengan lokasi pembangunan kampus UKIM,  pemukiman warga dan lokasi wisata Talaga Tihu dan juga kompleks Rindam TNI, disamping terdapat daerah resapan air.

Awalnya lanjut Luhulima, proyek itu sudah dijalankan tapi masyara­kat tidak mengetahui kalau proyek ter­sebut belum mengantongi AM­DAL.

“Di sisi lain, pada lokasi itu juga terdapat lahan minyak kayu putih dan berdekatan dengan hutan sagu milik desa. Jadi proyek pembangu­nan telah berjalan tapi masyarakat tidak pernah mengetahui AMDAL dari proyek itu. Kita semua masya­rakat termasuk para tetua adat, ketua-ketua RT dan warga yang ada di perantauan hingga luar negeri menolak pembangunan proyek tersebut,” tegas Luhulima sembari menunjukkan dokumen tanda tangan penolakan dari warga.

Luhulima menyayangkan pernya­taan Kadis Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, Roy Siauta pada 11 Oktober bahwa yang menolak pembangunan proyek itu hanya sege­lintir warga.

“Kenyataannya kita semua mas­yarakat Suli baik di Suli, maupun di perantauan, 100 persen menolak pembangunan limbah medis ter­sebut. Kita punya bukti bukti penolakan melalui petisi penolakan. Ada petisi warga yang kurang lebih 4.000 orang, Negeri Suli negeri adat, ada penolakan juga dibuat tokoh-tokoh adat yakni kepala-kepala soa. Pernyataan Dinas LHK bahwa sosialisasi ke warga itu dihadiri ketua-ketua RT sekaligus menye­tujui kegiatan pembangunan limbah me­dis, itu pembohongan publik. Fakta­nya ketua-ketua RT tidak terlibat dalam kegiatan sosia­lisasi dan me­reka pun menolak,” beber Luhulima.

Ia juga mengungkapkan, pernya­taan kadis bahwa masyarakat harus membuat dokumen kajian lingku­ngan sangatlah bertolak belakang dan sengaja memancing emosi warga Suli.

“Aneh, koq kami disuruh buat dokumen UKL UPL. Harusnya do­kumen kajian lingkungan yang biasa disebut UKL UPL itu merupakan dokumen publik yang harus diberi­kan kepada kami masyarakat supaya kami mengetahuinya. Apakah betul mereka sudah buat dokumen ter­sebut. Sampai saat ini dinas lingku­ngan hidup tidak memberikan ke­pada kami yang namanya dokumen lingkungan itu,” tandas Luhulima.

Awalnya, lokasi pembangunan sesuai pengumuman tender LPSE Kementerian LHK berlokasi di Wayame dan bukan di Suli.

“Kita memiliki bukti bukti lokasi yang ada di Wayame. Dari sosialisasi yang kita ketemu di kantor Guber­nur, dikatakan dinas bahwa di Wa­yame itu hanya wacana belum pembangunan padahal tendernya sudah keluar di Wayame. Dan pengusulan perubahan lokasi itu baru dibuat pada tanggal 9 Agustus dan ditanda tangani wagub Malu­ku,” ungkapnya.

Sekretaris Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Desa Suli Nataniel Lainsamputty menambah­kan, persoalan pembangunan fasi­litas limbah medis di Suli tidak sesuai tahapan dan cacat prosedur.

“Kenapa kami bilang cacat, karena sesuai UU 32 Tahun 2009 maupun PP 22 tahun 2001 serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang penyele­nggaraan perlindungan dan penge­lo­laan lingkungan hidup bahwa jenis usaha yang berisiko tinggi itu wajib mengantongi AMDAL,” ujar Nataniel.

Dia  sangat menyesalkan pernya­taan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku karena beralasan proyek pembangunan fasi­litas limbah medis tanpa AM­DAL tersebut merupakan kebijakan pemerintah pusat.

“Saat pertemuan di kantor Gu­bernur Maluku beberapa hari lalu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup mengatakan karena ada pendekatan kebijakan, ini tidak bisa. Terkait dengan pengelolaan limbah B3 ini sudah diatur jelas regulasinya,” kata Nataniel.

Menurutnya, dinas yang bertang­gung jawab atas proyek tersebut harusnya paham bahwa proyek yang memiliki dampak risiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan maupun kesehatan masyarakat harus diperhatikan.

Tokoh masyarakat Suli, Jimmy Sitanala menyesalkan proses pen­tahapan proyek itu diabaikan oleh pemda melalui dinas lingkungan hidup.

Kami sangat menyesalkan ini, dinas lingkungan hidup seharusnya memberi contoh kepada masyarakat bahwa proyek pemerintah itu harus mentaati apa yang diamanatkan oleh peraturan pemerintah atau menteri terkait,” kata Sitanala.

Mantan Wakil Ketua DPRD Maluku Tengah ini mengaku, telah melayangkan surat penolakan se­cara resmi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan juga Komisi IV DPR.

“Apalagi ini proyek dari ling­kungan hidup harusnya menjadi garda terdepan untuk melindungi masyarakat dan lingkungan hidup, kita masyarakat mendorong dan mensuport tapi kita lihat semua aturan diabaikan, jadi kita tetap satu komitmen, menolak,” tegasnya.

Proyek Urgen

Sebelumnya, Kepala Dinas Ling­kungan Hidup Maluku, Roy Siauta Kepada Siwalima, Kamis (21/10) siang mengaku, proyek pemba­ngunan fasilitas limbah B3 meru­pakan kebutuhan yang urgen.

Proyek tersebut kata dia, akibat dari situasi pandemi yang dihadapi negara ini. “Pandemi Covid-19 merupakan bencana nasional non alam, dimana negara harus hadir guna menangani bencana nasional tersebut,” katanya.

“Seluruh rumah sakit di Maluku sendiri tambahnya, sampai sekarang tidak memiliki insinerator. Pada waktu pandemi, Maluku khusus Kota Ambon kesulitan, olehnya mendorong pemerintah pusat untuk proyek pembangunan fasilitas limbah B3 harus ada di Ambon.

“Itu berarti ketika ada intervensi negara tentang rencana kegiatan apapun, bukan berarti  meniadakan aturan, tapi mengesampingkan aturan. Karena ini bencana. Proyek ini hadir karena bencana nasional Covid-19. Otomatis aturan normatif tidak bisa dipakai saat ini. Dengan demikian ketika rencana  pemba­ngunan insinerator ini dibangun oleh pemerintah, sesuai dengan tugas dan fungsi, kementerian hanya menyediakan pembanguan alat dan kantornya, sementara pe­merintah daerah menyediakan lahan dan anggaran untuk operasional,” beber Siauta.

Dikatakan, kehadiran proyek ini sangat penting bagi warga di Ma­luku untuk menangani persoalan limbah medis.

“Masyarakat tidak perlu khawatir karena alatnya ini sangat canggih dan ramah lingkungan, jadi tidak ada masalah,” yakinnya.

Soal kebijakan pembangunan fasilitas limbah B3 di Negeri Suli yang dilakukan tanpa mengantongi AMDAL terlebih dahulu itu terjadi lantaran situasi pandemi Covid-19.

“Jadi arahan kementerian ke kami nanti pada saat mau operasional baru bikin dokumen AMDAL,” ujar Siauta.

Ia berharap warga Negeri Suli memahami kondisi tersebut dan mendukung pembangunan fasilitas limbah B3. Karena fasilitas itu akan sangat berguna dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat di Maluku. Meskipun saat ini pembangunan proyek itu dihentikan lantaran aksi demo yang dilakukan warga Suli beberapa waktu lalu, namun Siauta berharap ada pengertian penuh dari warga setempat. (S-32)