AMBON, Siwalimanews – Faradiba Yusuf divonis dengan hukuman berat oleh majelis hakim dalam kasus korupsi dan TPPU di BNI Ambon dengan pidana 20 ta­hun penjara, denda 1 miliar subsider 6 bulan penjara.

Hakim juga menghukum Faradiba membayar uang penganti Rp 22 miliar, subsider 7,6 tahun penjara.

Faradiba adalah aktor utama pen­jarahan dana nasabah di BNI Ambon. Untuk memuluskan kejahatan­nya, dia didukung oleh sejumlah kepala cabang pembantu, anak angkatnya dan pejabat BNI Wilayah Makassar.

Faradiba melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Ten­tang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pence­gahan dan Pemberantasan Tindak Pida­na Pencucian Uang, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.

Sementara itu, anak angkat Faradiba, Soraya Pelu, terdakwa Marce Muskita selaku KCP Masohi, Krestiantus Rumahlewang selaku KCP Tual, Joseph Resley Maitimu alias Ocep selaku KCP Kepulauan Aru dan Andi Yahrizal Yahya alias Callu selaku KCP Mardika dihukum 18 tahun penjara, denda 500 juta subsider 6 bulan.

Baca Juga: Berkas Korupsi Raja Porto Segera Masuk Pengadilan

Majelis hakim juga menghukum empat kepala cabang itu, membayar uang pengganti. Terdakwa Kres diwa­jibkan membayar uang peng­ganti Rp.50 juta, terdakwa Marce Rp 75 juta subsider 5,6 tahun, terdakwa Yosep Rp. 398 juta subsider 5,6 tahun penjara, dan terdakwa Andi Rp 35 juta.

Majelis hakim menyatakan, para terdakwa terbukti bersalah melaku­kan tindak pidana korupsi dan TPPU di BNI Ambon.

“Menyatakan terdakwa Faradiba Yusuf  telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersa­lah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” tandas ketua majelis hakim,Pasti Tarigan saat membacakan putusan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi dan TPPU di BNI Ambon, Selasa (11/8). di Pengadilan Tipikor Ambon.

Putusan hakim terhadap Faradiba Yusuf sama dengan tuntutan jaksa. Sementara itu, putusan hakim itu lebih berat dari tuntutan jaksa bagi keempat kepala cabang.

Sebelumnya, JPU Kejati Maluku meminta majelis hakim menghukum Faradiba 20 tahun penjara, denda Rp. 1 miliar subsider 6 bulan penjara, membayar uang pengganti Rp. 49,72 miliar, subsider 10 tahun penjara.  Sehingga akumulasi hukuman pi­dana yang harus dijalani Faradiba selama 30,6 tahun penjara.

Anak angkat Faradiba, Soraya Pelu juga dituntut hukuman penjara yang sama oleh jaksa. Sementara ter­dakwa Marce Muskita selaku KCP Masohi dituntut 11 tahun, Krestian­tus Rumahlewang selaku KCP Tual dituntut 13 tahun, Joseph Resley Maitimu alias Ocep selaku KCP Kepulauan Aru dan Andi Yahrizal Yahya alias Callu selaku KCP Mar­dika dituntut 15 tahun penjara.

Mendengar putusan hakim, Fara­diba dan Soraya Pelu melalui pena­sehat hukumnya Jonathan Kainama menyatakan banding, Sementara keempat kepala cabang menyatakan pikir-pikir.

Jumlah kerugian dalam kasus ini sesuai hasil audit BPK sebesar Rp 58,9 miliar. Faradiba Yusuf menikmati Rp. 49,72 miliar. Sementara Marce Muskita alias Ace Rp. 75 juta, Kres­tiantus Rumahlewang alias Kres mendapat Rp. 50 juta, Joseph Resley Maitimu alias Ocep  Rp. 100 juta,  Andi Yahrizal Yahya alias Callu Rp. 35 juta, dan Soraya Pelu sebe­sar Rp. 9,5 miliar.

Sidang berlangsung secara on­line. Terdakwa Faradiba Yusuf, So­raya Pelu alias Aya, dan Marce Mus­kita alias Ace berada di Lapas Perem­puan. Sedangkan terdakwa Kresti­an­tus Rumahlewang alias Kres, terdakwa Joseph Resley Maitimu alias Ocep, terdakwa Andi Yahrizal Yahya alias Callu berada di Rutan Kelas IIA Ambon.

Sementara itu, penasehat hukum terdakwa para korban kejahatan Faradiba mengatakan, akan mela­porkan kasus ini dalam perkara lain. Pasalnya, dalam putusan tersebut tidak menyinggung pergantian uang nasabah.

“Penetapan hakim tidak menye­butkan. Namun fakta hukum dimuat. Jadi itu menjadi pintu masuk. Kalau di amar dalam barang bukti itu termasuk bukti setoran ke nasabah. Artinya itu perintah untuk perkara lain,” kata PH para korban nasabah, Lutfi Sanaky usai persidangan.

Dia menyebutkan, telah melapor­kan kasus tersebut ke Ditreskrimsus dengan kasus kejahatan perbankan. Dia tidak melaporkan  dengan pe­nggelapan, karena menurutnya itu adalah tanggungjawab bank.

Peran Welliam Dibeberkan

Sementara itu, pada persidangan lainnya, terdakwa kasus dugaan korupsi dan TPPU di BNi Ambon, Welliam Alfred Ferdinandus menja­lani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Ambon, Selasa (11/8).

Dalam sidang itu, Jaksa Penuntut Umum M. Rudy Cs membeberkan peran Welliam dalam membantu Faradiba Yusuf membobol uang nasabah di BNI Ambon.

Sidang dilakukan secara online melalui sarana video conference. Majelis hakim,  jaksa dan penasehat hukum terdakwa bersidang di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon. Sedang­kan terdakwa berada di Rutan Kelas II A Ambon.

Majelis hakim diketuai Pasti Tarigan, didampingi Berhard Panjai­tan dan Jefry S Sinaga selaku hakim anggota. Sedangkan penasehat hu­kum adalah Markus Manuhutu.

Dalam dakwaannya, Jaksa Penun­tut Umum M. Rudy membeberkan peran Welliam. Dia menyebut, Wel­liam turut membantu Faradiba Yusuf melakukan tindak pidana korupsi. Dia telah melakukan penarikan tunai tanpa sepengetahuan nasabah, tran­saksi setor tunai tanpa uang fisik, dan transfer RTGS tanpa uang fisik atas permintaan Faradiba.

Pada 13 September 2019, Welliam menerima transaksi setor tunai tanpa uang dari nasabah Jonny de Quelju sebesar Rp. 125 miliar. Saat itu, dia menjabat menjadi Asisten Pelaya­nan Uang Tunai Kantor Kas Mar­dika. Dia juga memberikan password kepada Faradiba untuk otorisasi transaksi perbankan melalui kewe­nangan Andi.

Pada 17 September 2019, Welliam melakukan penarikan uang nasabah sebanyak 5 kali, masing-masing se­besar Rp. 5 miliar dari rekening BNI atas nama nasabah Jonny de Quelju. Atas transaksi tersebut, ia menerima uang Rp. 10 juta dari terdakwa Fara­diba Yusuf melalui terdakwa Andi Yahrizal selaku KCP Mardika.

Pada 19 September 2019, Welliam melakukan penarikan tunai sejumlah Rp. 5 miliar tanpa sepengetahuan na­sabah Jonny de Queljuw. Penari­kan uang tersebut kemudian digu­nakan untuk ditransfer ke Tata Ibra­him Rp. 2,1 miliar tanpa disertai uang fisik, RTGS ke rekening Jonny senilai Rp. 500 juta sebagai cash­back, penarikan tunai Rp. 2,3 miliar dan diserahkan ke Soraya Pelu, serta uang Rp. 100 juta yang diserahkan ke Faradiba. Faradiba lalu mem­berikan Rp. 15 juta kepada Andi, dan Rp. 10 juta ke Welliam.

Saat menjabat sebagai teller di Tual, Welliam juga melakukan RTGS tunai tanpa disertai fisik ke rekening atas nama Soraya Pelu senilai Rp. 3 miliar dengan keterangan membayar bahan baku mebel.

Selain itu, dalam rentang waktu 27 September 2019 hingga 1 Oktober 2019, dia juga yang melakukan penyetoran uang senilai Rp. 19,8 miliar BNI KCP Tual. Uang itu ditransfer ke rekening terdakwa Soraya Pelu dan Jonny De Quelju sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi RTGS ke BCA.

Perbuatan terdakwa diancam Pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ko­rupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Juga pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pem­berantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1). KUH Pi­dana jo Pasal 64 ayat (1) KUH­Pidana.

Terdakwa juga dikenakan subsi­der sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam pasal 3 jo pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembe­rantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Juga pasal 5 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pen­cegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Perbuatan terdakwa juga diancam Pidana dalam Pasal 9 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberan­tasan Tindak Pidana Korupsi. (Cr-1)