AMBON, Siwalimanews – Pejabat Dinas PUPR Kabu­paten Seram Bagian Barat, Jorie Soukotta diperiksa tim penyidik Kejati Maluku dalam kasus dugaan korupsi jalan penghubung antara Desa Rambatu menuju Desa Manu­sa, Kecamatan Inamosol Tahun anggaran 2018.

Jorie merupakan salah satu dari tiga orang saksi yang sudah dijadwalkan penyidik untuk diperiksa. Kedua saksi lain yang sampai hari ini belum memenuhi panggilan jaksa masing-masing, Ronald Renyut dan Guwen Salhuteru yang merupakan pihak ketiga dari PT. Bias Sinar Abadi yang mengerjakan proyek jalan sepanjang 24 kilometer tersebut.

Kepala seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejak­saan Tinggi Maluku, Wahyudi Kareba mengatakan, dari tiga orang saksi yang sudah di­jadwalkan baru satu saksi yang memenuhi panggilan pe­nyidik. Sementara dua lainnya mangkir dari panggilan penyidik.

“Satu saksi sudah memenuhi pa­nggilan dan telah diperiksa Ra­bu (18/10). Dua saksi lain sesuai jad­wal pemanggilan untuk diperik­sa hari ini namun tidak hadir,” ungkap Wahyudi kepada wartawan di ruang kerjanya, Kamis (19/10)

Terhadap kedua saksi itu, lanjut Kareba, tim penyidik akan kembali menjadwalkan pemanggilan yang ketiga kalinya. Meskipun, tidak di­pertegas terkait upaya pemanggi­lan paksa, namun dipastikan tim pe­nyidik akan tetap menjadwalkan pemeriksaan.

Baca Juga: Jaksa Garap 30 Saksi Kasus Dana Covid Maluku, Segera Panggil Sekda

Awalnya, ketiga saksi ini pernah ditetapkan sebagai tersangka. Namun mereka berhasil lolos jeratan hukum atas kemenangan sidang praperadilan melawan pihak Kejaksaan Tinggi Maluku pada Juli 2022 lalu.

Pihak kejaksaan tidak berdiam diri, mereka kembali melakukan upa­ya hukum lanjutan dengan me­nemukan bukti baru dari kasus korupsi yang diduga menggu­nakan APBD sebesar 31 miliar itu.

Alhasil, Kejati Maluku berhasil menjerat mantan Kepala Dinas PUPR Thomas Wattimena yang kini masih dalam proses sidang di Pengadilan Negeri Ambon.

Diketahui, sebagaimana dak­waan sidang Thomas Wattimena, pekerjaan proyek jalan tersebut belum rampung 100 persen, na­mun pencarian anggaran tahap IV dan V bisa dilakukan.

Pembangunan ruas jalan Desa Rambatu-Desa Manusa berasal dari Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2018 dengan nilai pekerjaan dalam kontrak semula Rp29.858 miliar

Kemudian nilainya diubah se­suai addendum sebesar Rp31.428 miliar dengan jangka waktu pe­laksanaan selama 270 hari ka­lender, terhitung sejak tanggal 26 Maret-27 Desember 2018 dan ditangani PT. Bias Sinar Abadi.

Modus operandi dilakukan yakni, Jorie Soukotta selaku PPK dan bendahara Dinas PUPR itu diduga memanipulasi dokumen seolah-olah pekerjaan telah selesai, padahal fakta dilapangan progres pekerjaan baru mencapai 70,90 persen selesai.

Sementara, Guwen Salhuteru juga memanipulasi tanda tangan Ronald Renyut selaku Direktur PT. Bias Sinar Abadi. Dokumen pemba­yaran termin IV dan termin V dimanipulasi berupa Dokumen Berita Acara Pemeriksaan Kema­juan Pekerjaan Nomor 600/11/BA-PKP.IV/PPK-DAK-JS/XII/2018 tanggal 26 Desember 2018 yang ditandatangani oleh Jorie Soukotta selaku PPK dan Ronal Renyut selaku Direktur PT. BSA.

Namun tanda tangan Ronald diduga dipalsukan oleh Guwen Salhuteru yang menyebutkan pada poin kedua pekerjaan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam kontrak dan pe­kerjaan telah mencapai kemajuan sebesar 100 persen, padahal se­cara faktual baru mencapai 70,90 persen.

Selain itu, terdakwa juga menyu­ruh Jorie Soukotta membuat berita acara pembayaran termin IV atau 100 persen dengan dalih alasan untuk pengamanan transfer dana DAK ke Kas Daerah. Nyatanya dalam dokumen pen­cairan dana tertulis telah dilakukan pencairan dana sebesar 100 per­sen sedang­kan fakta di lapangan secara nyata fisik pekerjaan belum selesai.

Keseluruhan dokumen keua­ngan untuk pencairan tersebut juga diketahui oleh Jorie Soukotta se­laku PPK pada 28 Desember 2018 yang digunakan sebagai dasar diterbitkannya SP2D, dimana saat itu Thomas Wattimena tidak mela­kukan pengujian kebenaran formil-materil atas tagihan dimaksud.

Namun Thomas Wattimena justru memerintahkan pembaya­ran kepada bendahara pengelua­ran dan menandatangani SPM meskipun mengetahui progres kemajuan pekerjaan belum men­capai 100 persen. (S-26)