Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Ambon pekan lalu melakukan demontrasi mengkritik kinerja Pemerintah Provinsi yang dinilai tidak transparan dalam pengelolaan penggunaan dana pinjaman dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp700 miliar.

Dana SMI bukanya diperuntukan bagi masyarakat terdampak covid, te­tapi lebih kepada pembangunan infrastruktur yakni pembangunan trotoar dan jalan rabat beton.

Selain mengkritisi pengunaan dana SMI, mahasiswa GMKI juga mengkritik proyek Penataan Kawasan dan Rehabilitasi Gedung Islamic Center ke pembangunan cafe PKK yang menguras APBD 2020 sebesar Rp3 miliar.

Dua proyek tersebut dinilai tidak berpihak karena tidak memberi manfaat untuk pengembangan ekonomi namun lebih kepada pencitraan pemerintah. Pengelolaan keuangan negara baik itu APBD, DAK atau DAU maupun dana pinjangan SMI haruslah transparan dan akuntabel sesuai dengan Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan prosedur yang berlaku tepat, cepat dan transparan serta berdayaguna yang administrasinya berjalan secara benar dan mempunyai nilai akuntabilitas tinggi dan pelaporan pertanggungjawaban tersebut sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Baca Juga: Operasi Merah Putih Tangkal Radikalisme dan Separatisme

Desakan GMKI untuk meminta pemprov transparan terhadap pengelolaan dana pinjaman SMI 700 miliar maupun APBD, merupakan hal yang wajar sebagai bagian dari pengawasan publik.

Apalagi pengelolaan dana tersebut lebih banyak diorentasikan pada pembangunan infrastruktur ketimbang penanganan Covid-19 yang sampai saat ini masih terus berlangsung.

Hal ini sepatutnya dijawab oleh pemprov, karena itu merupakan bagian dari dinamika menyampaikan aspirasi dari rakyat apalagi itu jamin dalam pasal 28 UUD 1945.

Sikap dari GMKI ini merupakan ketidakpuasan  yang  disampaikan kepada publik, terhadap realitas yang sebenarnya terjadi.

Karena itu, tuntutan GMKI ini diharapkan bisa segera dijawab oleh pemprov, apakah pengelolaan dana SMI yang digunakan untuk membangun infrastruktur di Maluku ini sudah sesuai ataukah tidak?, dan apakah pembangunan café di Gedung Islamic Center itu berdampak langsung bagi pengembangan ekonomi masyarakat khususnya UMKM ataukah tidak?, ataukah pembangunan café ini hanya merupakan bagian dari pencitraan pemerintah saja?.

Berbagai pertanyaan inilah yang seharusnya dijawab oleh pemprov. Mekanisme untuk menjawabnya juga butuh peran dari DPRD sebagai lembaga aspirasi rakyat untuk memanggil pemprov baik itu gubernur, sekda maupun instansi terkait lainnya.

DPRD Maluku tidak boleh diam, tetapi harus segera menyikapi aksi demontrasi dari GMKI sebagai bagian dari penyampaian aspirasi, untuk selanjutnya mempertanyakan pengelolaan dana SMI maupun APBD yang diperuntukan bagi pembangunan sejumlah infrastruktur di Maluku dari pemprov.

Dan jika ternyata ditemukan pengelolaan dana pinjaman SMI ataupun APBD tidak tepat sasaran dan tidak berdampak bagi masyarakat, maka DPRD sebagai wakil rakyat harus berani mengkritik pemerintah. Dengan begitu upaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa, transparan dan akuntabel bukan hanya ucapan semata, tetapi itu betul-betul bisa dijalankan oleh pemerintah. Hal inilah yangt tentu saja diharapkan oleh masyarakat. (*)