PEMERINTAH telah melakukan upaya restrukturisasi badan usaha milik negara (BUMN) dengan program rightsizing (perampingan jumlah), yakni dibentuk beberapa BUMN dalam sektor khusus menjadi holding company. Praktiknya, peng-holding-an BUMN dilakukan melalui shareholder action dengan pola stand alone, yakni melakukan perubahan penyertaan modal negara pada BUMN sehingga satu BUMN yang ada dipertahankan untuk kemudian menjadi induk per­usahaan holding BUMN. Pola pembentukan holding BUMN itu tidak dilakukan dengan membentuk entitas baru (new company).

Holding BUMN demikian ialah model operating holding company, yang induk perusahaan menjalankan kegiatan usaha. Kedudukan perusahaan anak BUMN Perubahan penyertaan modal negara dalam rangka pembentuk­an holding BUMN mengakibatkan terjadinya perubahan persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh negara secara langsung pada perusahaan anak BUMN. Perubahan ini menimbulkan interpretasi hukum yang berbeda-beda.

Sebagian para ahli hukum menganggap bahwa entitas perusahaan anak BUMN pada struktur holding BUMN bukan lagi BUMN. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa entitas perusahaan anak BUMN itu tetap merupakan BUMN. Interpretasi demikian pasti didasarkan pada ketentuan BUMN yang berbentuk perseroan terbatas, yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia. Maka, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 untuk menyatakan bahwa perusahaan anak BUMN pada struktur holding tetap dikendalikan oleh negara dan diperlakukan sama dengan BUMN. Namun, pendapat Mahkamah Konstitusi RI pada 2019 mengeneralisasi konteks anak perusahaan BUMN, yakni apabila komposisi kepemilikan negara melalui pe­nyertaan modal secara langsung tidak berjumlah seluruhnya atau sebagian (51%) ialah bukan BUMN.

Pada masa datang, perlu dilakukan redefinisi dan penentuan status terhadap pengertian perusahaan anak BUMN dapat diakomodasi. Objektifnya terda­patnya definisi dan status yang jelas mengenai perusahaan anak BUMN atau perusahaan terafiliasinya. Hal ini ialah salah satu elemen hukum untuk menciptakan jalannya holding company BUMN secara kondusif. Potensi Piercing the corporate veil Prinsip hukum perusahaan di Indonesia telah dikonstruksi berdasarkan doctrine of separate legal personality of a company. Artinya, antara perseroan dan pemegang saham ada suatu tabir (veil) pemisah. Di sini prinsip tanggung jawab pemegang saham holding BUMN dan perusahaan anak BUMN terpisah dan terbatas atas kewajiban perusahaan. Namun, dalam keadaan tertentu, tabir pemisah pemegang saham dengan perseroan dapat disingkap sesuai dengan doktrin piercing the corporate veil.

Doktrin piercing the corporate veil, yang dikenal juga dengan doktrin alter ego, mengajarkan bahwa pemegang saham atau induk perusahaan bertanggung jawab sampai kepada harta pribadi atas kewajiban perusahaan akibat perusahaan dipengaruhi pemegang saham. Hal ini dapat terjadi apabila pemegang saham menjadi alter ego, yang keberadaan pemegang saham menjadi bagian perusahaan dan menganggapnya miliknya sendiri atau apabila pengendalian induk perusahaan terhadap perusahaan anak menyebabkan perusahaan anak kehilangan kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum.

Baca Juga: Mudik Awal Vs Mudik Virtual Merekonstruksi Gaya Hidup

Berdasarkan putus­an berbagai pengadilan per­usahaan anak kehilangan kemandirian dapat terjadi karena keterlibatan pemegang saham dalam kegiatan operasional sehari-hari, determinasi langsung oleh pemegang saham terhadap putusan-putusan, dan kebijakan-kebijakan perseroan yang penting, atau perseroan tidak benar-benar diberlakukan sebagai badan hukum mandiri. Dengan demikian, dalam konteks piercing the corporate veil atau alter ego dalam holding company BUMN, perlu pengaturan penentuan fakta atas derajat pe­ngendalian holding BUMN atau pemegang saham terhadap perusahaan anak BUMN, yang menyebabkan ketidakmandirian perusahaan anak BUMN dalam menjalankan instruksi holding BUMN. Mengingat negara sebagai pemegang saham langsung yang memiliki porsi saham minoritas, ditambah dengan saham preferens klasifikasi A Dwi Warna, memberikan wewenang kontrol dan pengendalian secara langsung oleh negara. Pembaruan hukum Semestinya, kedudukan anak perusahaan BUMN dan piercing the corporate veil atau alter ego dalam kerangka holding company BUMN dikonstruksikan secara spesifik dalam Undang-Undang BUMN.

Sekaligus juga dalam BUMN itu diartikulasikan dasar-dasar pembenaran bagi holding BUMN dan negara sebagai pemegang saham langsung untuk hal-hal tertentu dapat melakukan pengendalian anak BUMN. Dengan demikian, akan dapat ditentukan derajat pengendalian holding BUMN dan negara, yang menyebabkan ketidakmandirian perusahaan anak BUMN, dan menentukan sejauh mana dominasi holding BUMN terhadap pengurus­an perusahaan anak BUMN tidak termasuk dalam kategori menghilangkan kemandirian perusahaan anak BUMN.

Pengaturan piercing the corporate veil dalam kerangka holding company BUMN dalam UU BUMN akan menjadi lex specialis atau penge­cualian dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mengatur piercing the corporate veil. Mengadopsi pemikiran holding company BUMN tersebut diharapkan dapat membuat holding company BUMN berdaya saing tinggi,  dan lebih berperan strategis, baik sebagai agent of business, dan sekaligus agent of development. oleh: Bismar Nasution   Guru Besar Hukum Ekonomi USU. (*)