Kurang lebih tiga tahun, tiga terpidana korupsi di Bank Maluku Malut masuk daftar pencarian orang (DPO) Kejati Maluku. Namun hingga kini, mereka belum juga berhasil ditangkap.

Tiga terpidana itu adalah Direktur Utama CV Harves Heintje Abraham Toisuta,  mantan Kepala Devisi Renstra dan Korsec Bank Maluku Petro Tentua, dan Direktur PT Nusa Ina Pratama, Yusuf Rumatoras. Mereka bebas berkeliaran, sementara koruptor lain meringkuk di penjara.

Alasan Kejati Maluku belum bisa melacak keberadaan ketiga terpidana dinilai menunjukan lemahnya penegakan hukum di kejaksaan.

Bagaimana tidak, para terpidana kasus korupsi lainnya berhasil ditangkap, sementara tiga terpidana korupsi Bank Maluku yang sudah tiga tahun masuk DPO hingga kini belum berhasil ditemukan. Padahal Kejati Maluku memiliki jaringan sampai dengan kejagung dan bisa melacak keberadaan para terpidana itu.

Selain lemahnya penegakan hukum. Kejati Maluku juga dinilai tidak serius dan bersungguh-sungguh dalam menangkap tiga terpidana korupsi tersebut. lembaga adhyaksa ini terkesan melindungi tiga terpidana itu, ketimbang berupaya maksimal melacak keberadaan mereka. Bila perlu membangun koordinasi dan kerja sama dengan pihak TNI/Polri khususnya bagian intelejen untuk bisa melcak posisi tiga terpidana.

Baca Juga: Menunggu Gebrakan Rorogo Zega

Hal ini penting dalam rangka penegakan hukum itu sendiri, tetapi disisi yang lain memberikan rasa keadilan bagi para terpidana korupsi lainnya.

Proses penegakan hukum juga tidak bisa tembang pilih, ketajaman pedang hukum tidak harus ditancapkan pada oknum-oknum tertentu saja, sedangkan yang lainnya dikejar. Asas hukum equality before the law, sebagaimana tersirat dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan “semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.

Makna equality before the law atau persamaan dihadapan hukum memberikan arti bahwa, setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah.

Asas ini juga tertuang dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan-bedakan orang.

Sayangnya dalam praktek hukum itu sendiri, aparat penegak hukum tidak sepenuhnya menegakan asas tersebut. alhasilnya banyak kasus korupsi dikejar, diusut, diadili hingga ke pengadilan, tetapi masih juga ditemukan  koruptor yang bebas berkeliaran.

Karena itu wajar, jika sejumlah kalangan baik akademisi dan praktisi hukum di negeri ini yang mengkritik kinerja Kejati Maluku yang terkesan melindungi tiga koruptor Bank Maluku itu.

Alasan klise yang sering digunakan oleh Kejati Maluku yakni, masih terus berupaya mencari tiga terpidana korupsi Bank Maluku itu, bukanlah sebuah alasan hukum yang rasional dalam sebuah penegakan hukum. Inti dari penuntasan kasus korupsi selain mengejar kerugian negara itu bisa dikembalikan oleh para koruptor kepada negara, tetapi juga memberikan efek jera yang pada akhirnya akan berdampak tidak munculnya koruptor-koruptor baru yang kian bertambah.

Jika aparat penegakan hukum itu lemah dalam menegakan hukum dan bertindak adil, justru memberikan ruang terjadinya kasus korupsi semakin bertambah. Hal inilah yang seharusnya diwaspadai oleh kejaksaan sendir.

Kita berharap, upaya kejaksaan untuk menemukan tiga terpidana koruptor Bank Maluku itu bukan sekedar ucapan semata, tetapi bisa dibuktikan dengan sebuah tindakan hukum yang nyata yang memberikan keadilan hukum bagi para koruptor lainnya. (*)