Kejaksaan Tinggi Maluku telah mengusut tuntas kasus dugaan korupsi di Balai Latihan Kerja (BLK) Kota Ambon.

Dalam kasus ini, mantan Bendahara Bendahara BLK Ambon, Leuwaradja.H.M  Ferdinandus telah diproses hukum dan dihukum 8 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Ambon pada 16 Oktober 2023 lalu.

Selain pidana bandan, dia juga divonis membayar denda Rp500.000.000, subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti sebesar Rp.2.030.873.555 dengan ketentuan, jika dalam waktu satu bulan tidak diganti sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan jikalau harta benda terdakwa tidak mencukupi untuk menutupi uang pengganti dimaksud, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 tahun penjara.

Diketahui, pada Tahun 2021 BLK Ambon menerima anggaran rutin dari Kementerian Ketenagakerjaan yang masuk dalam DIPA BLK Ambon sesuai revisi terakhir Nomor: 026.13.2.219228/2021 tanggal 28 Desember 2021 sebesar Rp27,840,050.000. Namun sesuai realisasi belanja pada BLK Ambon Tahun Anggaran 2021 adalah sebesar Rp27.593.662.761.

Dalam proses penyidikan, tim penyidik Kejati Maluku menemukan fakta-fakta hukum memalsukan bukti-bukti pengeluaran, tidak melampirkan bukti pertanggungjawaban yang sah dan membuat bukti-bukti pengeluaran dengan menaikan harga pembelanjaan tidak sesuai dengan yang sebenarnya.

Baca Juga: Bidikan Jaksa di Kasus Command Center

Mendapatkan hukuman berat tersebut, tentu saja mantan bendahara BLK Kota Ambon ini tidak terima, dia kemudian bernyanyi dan menuding Kejati Maluku tebang pilih serta bertindak diskriminasi dalam penanganan kasus dugaan korupsi

Pasalnya, dalam proses pengadaan barang di BLK Ambon sehingga terjadinya dugaan mark up sebagaimana temuan jaksa, bukan dia saja yang terlibat, tetapi ada atasannya baik itu pejabat pengadaan tahun 2021, maupun kuasa pengguna anggaran.

Mirisnya mantan bendahara ini dijerat dan menjalani semua proses hukum, sementara para pejabat lainnya di BLK yang harus juga diperiksa dan dijerat justru dibiarkan bebas.

Nyanyian mantan bendahara BLK ini harusnya direspon oleh Kejati Maluku, dengan memeriksa juga pejabat pengadaan barang tahun 2021 dan KPA BLK Kota Ambon. Sebagai bendahara tentu saja dia tidak sendiri dalam melakukan mark up dan ada mungkin dia diarahkan untuk melakukan tindakan tersebut, apalagi itu demi kepentingan kantor. Sehingga Kejati tidak boleh bertindak diskriminasi.

Di Sisi yang lain jika mantan bendahara ini dituduh juga melakukan korupsi pengadaan barang dan jasa apakah ini hal yang benar, sementara yang bersangkutan bukanlah pejabat pengadaan barang?.

Sangatlah miris jika tim penyidik Kejati Maluku hanya menjerat dia sendiri dalam kasus korupsi BLK Ambon, sementara KPA dan pejabat pengadaan itu diloloskan. Mestinya mereka juga dipanggil diperiksa dan untuk membuktikan apakah KPA dan pejabat pengadaan tidak terlibat?.

Karena itu, nyanyian mantan bendahara BLK Ambon yang telah divonis 8 tahun penjara ini harus disikapi secepatnya oleh Kejati. Jangan sampai tuding jaksa bertindak diskriminasi dan tebang pilih menjadi sebuah hal yang benar. Karena hanya bendahara dijerat dan para pejabat di BLK diloloskan.

Hal ini bisa menimbulkan opini publik bahwa kejaksaan melindungi para pejabat di BLK Ambon dan menjerat mantan bendahara yang secara langsung tidak memiliki kuasa dan kewenangan penuh untuk melakukan tindakan mark up itu jika tidak ada arahan atau perintah atasan. Apalagi laporan pertanggungjawaban proyek itu bukan saja dibuat oleh bendahara, dan KPA serta pejabat pengadaan barang juga pasti mengetahuinya.(*)