BNPP Gelar Rakor Pencegahan Perkawinan Anak
AMBON, Siwalimanews – Badan Nasional Pengelolaan Pebatasan dalam hal ini Kedeputian Bidang Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Perbatasan melalui Asisten Deputi Infrastruktur Pemerintahan menggelar rapat fasilitasi Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan penanganan perkawinan anak usia dini di kawasan perbatasan negara
Kegiatan yang merupakan tindak lanjut dari arahan Mendagri yang juga kepala BNPP digelar secara secara hybrid yang dipusatkan di Grand Mercure Harmoni, Jakarta, Rabu (1/2).
Rapat yang dibuka oleh Deputi Bidang Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Perbatasan Letjen TNI Purn Jefry Apoly Rahawarin didampingi Asisten Deputi Infrastruktur Pemerintahan dan Asisten Deputi Ekonomi Kesra itu menghadirkan narasumber masing-masing, Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos Pepen Nazaruddin, Staf Khusus Mendagri Bidang Pemerintahan Desa dan Pembangunan Perbatasan, Kemendagri Hoiruddin Hasibuan, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kemen PPPA Rohika Kurniadi Sari, Dit Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kemenag Agus Suryo Suripto, dan Kadis Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Nunukan Faridah Aryani.
“Kegiatan ini juga diikuti oleh Kepala BPPD Nunukan, Kepala Dinas Pendidikan Nunukan, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Nunukan, Kepala Kantor Agama Nunukan, pejabat dan staf pada Ditjen Rehabilitasi Sosial Kemensos, pejabat dan staf pada Asisten Deputi Pemenuhan Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian PPPA serta pejabat dan staf di lingkup Kedeputian III BNPP,” tulis humas BNPP dalam rilisnya yang diterima redaksi Siwalimanews, Kamis (2/2).
Dalam rapat itu Dirjen Rehabilitasi Sosial Pepen Nazaruddin menjelaskan, dampak dari pernikahan dini antara lain, tidak mampu melakukan pemenuhan fungsi rumah tangga dengan baik, sehingga menimbulkan masalah baru seperti anak terlantar, anak berhadapan dengan hukum, dan berbagai masalah sosial anak lainnya.
Baca Juga: Banding Thomas Keliombar DitolakPeran Kemensos dalam upaya pencegahan perkawinan anak yakni sosialisasi dan melakukan pendampingan, dengan tersedianya fasilitas seperti pendampingan oleh (pekerja sosial, relawan sosial, dan pendamping sosial), serta pusat rehabilitasi sosial (lembaga kesejahteraan sosial anak, UPTD sosial, sentra, dan sentra terpadu).
“Adapun pelaku yang telah menikah dibawah umur diwajibkan untuk mengikuti assessment untuk mengetahui kebutuhannya atas permasalahan sosial yang dialami,” ucap Pepen
Selain itu, program Kemensos melalui atensi, yaitu pencegahan (pekerja sosial goes to school, pekerja sosial goes to community, temu penguatan anak, temu Penguatan keluarga, kemudian bantuan sosial perbatasan berupa, bantuan kebutuhan anak pemenuhan nutrisi, pemenuhan hak sipil anak, layanan kesehatan, permainan, serta bantuan sarpras untuk aksesbilitas pendidikan serta pendampingan kasus anak.
Sementara staf khusus Mendagri Bidang Pemerintahan Desa dan Pembangunan Perbatasan Hoiruddin Hasibuan menjelaskan, salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini, yaitu kurangnya pengetahuan orang tua terkait dampak dari pernikahan dini dan tingkat pendidikan yang rendah, serta kurangnya sarana dan prasarana di kawasan perbatasan, salah satunya dibidang pendidikan.
“Tingginya angka pernikahan dini merupakan dampak dari infrastruktur pendidikan di kawasan perbatasan beberapa masih terkendala jauhnya akses, sehingga anak-anak yang tidak melanjutkan pendidikan memilih menikah muda,” ujarnya.
Untuk itu, Pemkab Nunukan perlu melakukan pendidikan khusus untuk menciptakan kedepannya anak-anak tersebut dapat mengikuti sekolah kedinasan, sehingga setelah selesai pendidikan kembali ke perbatasan, anak tersebut bisa menjadi cerminan baru dan dapat merubah presepsi masyarakat khususnya orang tua.
Disamping itu, sosialisasi dan pendampingan merupakan program yang ada di kemensos yang dapat dimanfaatkan dan komunikasi lebih intens bersama Pemkab Nunukan dengan kementerian terkait, agar program dapat teralisasi di kawasan perbatasan khususnya.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian PPPA Rohika Kurniadi Sari mengaku, pencegahan perkawinan anak merupakan salah satu arahan presiden kepada Kementerian PPPA tahun 2020-2024. Perkawinan anak adalah pelanggaran hak anak yang dampaknya akan terlihat lima tahun ke depan, sehingga harus dihentikan. Di satu sisi hal ini merupakan ancaman terhadap pembangunan manusia.
“Dari sisi pendidikan pernikahan anak usia dini akan berpengaruh pada tidak tercapainya wajib belajar 12 tahun. Anak yang menikah di bawah umur 18 tahun maka besar resiko hanya akan lulus SMP dan tidak meneruskan ke jenjang SMA. Data dari Bappenas menunjukkan bahwa 47,90% perempuan berusia 20-24 tahun putus sekolah karena menikah pada usia kurang lebih 18 tahun,” ucapnya.
Salah satu faktor yang menyebabkan pernikahan dini dianggap wajar kata Rohika adalah, masyarakat salah menafsirkan agama, budaya, dan adat istiadat sebagai pembenar praktik perkawinan anak usia dini.
Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Nunukan Faridah Aryani mengaku, sejumlah langkah telah dilakukan atas kasus tingginya pernikahan dini tersebut, dengan melakukan MoU antara Pengadilan Agama dengan Dinsos PPPA.
Dinas Kesehatan hanya mengacu pada UU No 16 tahun 2019 tentang syarat untuk memberikan dispensasi pernikahan melaui asesment psikolog untuk mengetahui layak atau tidak melakukan pernikahan, melalui dokter, dan peksos, dimana psikolog diambil dari dinas PPPA sendiri;
“Kemudian, melakukan kolaborasi bersama BKKBN di setiap sekolah melalui program PIK 3 genre, forum anak di sekolah dan membentuk desa ramah anak dan perempuan,” ucapnya.
Di tahun 2022, tercatat ada 23 orang yang terdaftar dispensasi perkawinan anak, meskipun ada beberapa yang melaporkan telah melakukan nikah siri, namun belum mendapatkan rekomendasi dari Dinas Sosial PPPA karena tidak memenuhi kriteria assesment psikolog.
Pihaknya juga telah lakukan pemetaan penyebab tingginya kasus pernikahan dini di Nunukan, diantaranya, presepsi masyarakat yang belum memahami UU No 16 tahun 2019, faktor adat yang beranggapan lebih baik nikah muda daripada berzina, anggapan bahwa sudah bekerja, sehingga sanggup berkeluarga, serta masih menggunakan tafsir agama, budaya, dan adat sebagai pembenar praktik perkawinan anak usia dini.
“Selain beberapa hal tersebut faktor remaja telah menghasilkan uang dari rumput laut dan teknologi gadget sangat mempengaruhi tingginya angka pernikahan anak, apalagi pemberitaan media tentang Kampung Janda merupakan ilustrasi ketakutan dengan menanjaknya kasus Pernikahan Anak di Kawasan Perbatasan Negara khususnya di Kab. Nunukan.
Sedangkan staf Bina KUA dan Keluarga Sakinah pada Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Agus Suryo Suripto nmenjelaskan, data permohonan dispensasi kawin mengalami pelonjakan yang sangat tinggi dari tahun 2019 ke 2020, dimana semuanya berjumlah 24.865 permohonan menjadi 64.000 permohonan.
Salah satunya disebabkan adanya perubahan aturan dari UU No. 1 tahun 1974 menjadi UU No. 16 tahun 2019 yang mengatur batas usia minimal wanita menikah dari semula 16 tahun menjadi 19 tahun.
“Program Kemenag yang dapat dijadikan solusi dalam mencegah kawin anak diantaranya, Bimbingan Remaja Usia Sekolah, Bimbingan Remaja Usia Pra Nikah (BRUN), Bimbingan Perkawinan (Bimwin), dan Pusaka Sakinah,” tutur Suryo.
Dari rapat ini, maka yang perlu di tindak lanjuti yakni, Kemensos siap berkolaborasi melalui program-program khusus di kawasan perbatasan bersama Pemda dan BNPP mengenai upaya pencegahan nikah dini melalui sosialisasi dan pendampingan.
Hal yang perlu diinventarisir dahulu adalah pilar mana yang bisa dilakukan inventarisir/assessment dalam hal ini pendampingan bisa dilakukan oleh pendamping sosial, tenaga kesejahteraan sosial, relawan sosial, dan pendamping sosial yang ada di Kementerian Sosial;
Semenatara terkait banyaknya kasus pernikahan dini, perlunya digemborkan sosialisasi masif di daerah kepada orang tua dan anak-anak melalui camat dan seluruh instansi yang berhubungan seperti dinas sosial, BKKBN, dokter, pengadilan agama, dan komponen lain yang berkaitan.
“Apabila sudah terbentuk pola ataupun pemecahan masalah tersebut dapat menjadi pedoman berkelanjutan ke depannya,” tandasnya.
Selain itu, pemenuhan sarana dan prasarana tidak kalah pentingnya dalam hal ini dengan dibangunnya Boarding School dan sanggar kegiatan belajar untuk remaja perempuan yang telah putus sekolah serta adanya dukungan moda transportasi untuk menunjang peningkatan pendidikan di kawasan perbatasan;
Program dari kementerian PPPA dan Kemenag beragam dan sudah dilakukan maping permasalahan-permasalahan yang menyebabkan pernikahan dini. Program ini perlu disesuaikan dengan masing-masing wilayah, sehingga dapat diimplementasikan.
Untuk itu, diharapkan agar program ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu di Nunukan yang tentunya berkolaborasi dengan Pemkab Nunukan agar menjadi pilot project. Kedeputian Bidang Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Perbatasan melalui Keasdepan Infrastruktur Pemerintahan sesuai arahan Mendagri untuk memantau dan menindaklanjuti pembahasan rapat hari ini dengan Pemkab Nunukan.
“Pemda diharapkan agar terus memberikan sosialisasi secara masif dengan stakeholder terkait dengan melibatkan masyarakat. Hasil rakor ini akan menjadi atensi dan rekomendasi oleh pemangku kebijakan di Nunukan dan di monitor oleh Kedeputian III BNPP melalui peninjauan lapangan pada awal semester II tahun 2023,” jelasnya.(S-06)
Tinggalkan Balasan