Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite, Solar, dan BBM non-subsidi jenis Pertamax akan menggerus daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat sedang menurun akibat tingginya inflasi yang terjadi karena kenaikan harga berbagai kebutuhan dan jasa.

Yang paling terdampak akibat kenaikan harga BBM adalah konsumen karena biaya kenaikan tersebut akan dibebankan kepada mereka, baik kenaikan biaya logistik maupun kenaikan biaya lainnya. Jika daya beli masyarakat yang lemah ini semakin turun, maka bisa dipastikan industri, baik barang atau jasa akan mengurangi produksi. Tentunya hal ini yang membuat pertumbuhan ekonomi akan terganggu.

Kita pahami sungguh bahwa keputusan Pemerintah Indonesia menaikan harga BBM sangatlah berat, karena beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah semakin membengkak, akibat kenaikan harga minyak dunia yang kian tinggi.

Karena itu, pemerintah harus mampu menjaga daya beli masyarakat agar tidak semakin menurun. Terkait dengan bantuan sosial yang rencananya akan dikucurkan pemerintah, hal itu memang seharusnya dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat.

Kendati banyak penolakan dari masyarakat agar BBM jangan naik, namun hal ini harus tetap dilakukan.

Baca Juga: Kenaikan BBM Tuai Kritik

Dilihat dengan kacamata positif, di Maluku misalnya, organisasi kemahasiswaan maupun pemuda memprotes kenaikan harga BBM. Masyarakat menolak karena kenaikan ini justru sangat memberatkan masyarakat.

Disisi yang lain, kenaikan BBM ini mengindikasikan bahwa, komunikasi publik yang dilakukan pemerintah belum berhasil mengirim pesan bahwa kenaikan harga BBM adalah perlu untuk ekonomi yang lebih sehat dan kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Mengapa harus naik? Memproduksi BBM harus terlebih dahulu membeli minyak mentah dari luar negeri, karena produksi minyak dalam negeri tidak mencukupi. Kemudian ada ongkos produksi yang harus dibayar untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM bersih, yang tidak mengotori lingkungan. Maka ada biaya yang harus dibayar, yang disebut sebagai harga keekonomian.

Jika harga ini yang digunakan Pertamina sebagai patokan untuk menjual Pertalite, maka konsumen akan protes. Untuk menghindari hal itu, pemerintah menetapkan harga yang lebih rendah dari harga keekonomian. Selisih antara harga keekonomian Pertamina dengan harga yang ditetapkan pemerintah ini disebut sebagai subsidi BBM. Yang menjadi masalah adalah, konsumsi BBM meningkat terus sehingga subsidi yang dikeluarkan pemerintah juga meningkat.

Subsidi itu sangat berarti, mengingat anggaran pemerintah yang setiap tahun dibelanjakan sebesar Rp 3.000 triliun. Sayangnya pemberian subsidi telah salah sasaran, 70 persen pemakai BBM bersubsidi adalah kelompok mampu, yang tidak sangat perlu bantuan pemerintah.

Dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, maka besar subsidi menjadi berkurang. Dana yang semula akan digunakan untuk menambah subsidi dapat dialihgunakan untuk keperluan yang lebih penting, seperti membangun sekolah dan rumah sakit.

Pemahaman seperti ini yang harus diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat, sehingga perlu ada solusi agar daya beli masyarakat tidak menurun tetapi pemerintah berupaya maksimal sehingga bisa berjalan dengan baik, dan bantuan yang diberikan nantinya tepat sasaran. Semoga (*)