HARI Kebebasan Pers Sedunia nyaris luput dari perhatian para wartawan. Tidak ada acara atau peringatan khusus pada 3 Mei lalu. Bahkan, tak ada liputan menonjol untuk mengenang bahwa kebebasan pers ialah panji-panji yang senantiasa dijunjung tinggi oleh insan pers. Apalagi, kini para wartawan merasa gamang karena kebebasan pers itu mulai terkikis oleh banjir informasi yang berlimpah di era internet.Menurut sejarahnya, Hari Kebebasan Pers Sedunia itu ditetapkan pada peringatan Deklarasi Woodhook, 3 Mei 1993. Ketika itu, ditegaskan bahwa wartawan harus menjunjung tinggi kemerdekaan dalam mencari berita, menerima informasi dari publik, menyusun, dan menyebarkan berita ke masyarakat.

Dalam peringatan Hari Pers Sedunia kali ini dicanangkan beberapa langkah, seperti mera­yakan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers, menilai kondisi kebebasan pers, membela media dari gangguan atas kemerdekaan pers, dan memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang kehilangan nyawa saat tugas jurnalistik.Di Indonesia, kebebasan pers dijamin UU No 40/1999 tentang Pers, bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembre­delan, atau pelarangan penyiaran. Untuk menja­min kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasinya.

Ancaman kekerasanWalau ada UU yang melindungi, dalam pelaksanaan tugas jurnalistik, wartawan sering mendapat hambatan. Kekerasan terhadap wartawan sering terjadi. Padahal, kebebasan pers bukan hanya untuk kepentingan wartawan. Kebebasan pers juga berkaitan dengan hak-hak asasi publik untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar dari media massa.Karena itu, pelanggaran kebebasan pers sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM. Kemerdekaan pers merupakan unsur penting dalam penegakan hak asasi mansia internasional (Wiebke Lamer, 2018). Bahkan, kebebasan pers di era internet telah menjadi fokus perdebatan tentang hak asasi internasional dalam komunikasi.Pelanggaran kebebasan pers terjadi berupa penghalangan dan pelarangan dalam penghimpunan informasi, penulisan berita, sampai penyiarannya. Tak sedikit wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik mengalami aksi kekerasan, bahkan sampai pembunuhan.

Kita lihat laporan UNESCO tentang pelanggaran kebebasan pers itu. Dalam laporan untuk kurun 2010-2021, lembaga internasional itu mencatat ada 970 wartawan dari seluruh dunia terbunuh dalam tugas jurnalistik. Di antaranya lima orang dari Indonesia. Mereka ialah Leiron Kogoya (April 2021 dalam insiden penembakan Trigana Air), Martua Siregar (2019 dalam sengketa perkebunan kelapa sawit), Muhammad Yusuf (Juni 2018 karena tulisan sengketa perusahaan kelapa sawit), Ridwan Salamun (Agustus 2010 meliput bentrok antarwarga di Maluku Tenggara), dan Herliyanti (April 2006 memberitakan korupsi anggaran).

Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga mencatat telah terjadi tindak kekerasan terhadap 580 jurnalis dalam rentang 2011-Maret 2021. Jenis pelanggaran kebebasan pers berupa kekerasan fisik, pengusiran, atau pelarangan peliputan, ancaman teror, perusakan alat, atau data hasil liputan, dan lain-lain. Ancaman dari dalamKini, ancaman kebebasan pers bukan hanya berupa kekerasan yang datang dari pihak luar. Di era digital ini, informasi berlimpah ruah juga bisa menjadi ancaman bagi kebebasan wartawan dalam mencari serta menyampaikan berita yang baik dan benar.

Baca Juga: Idul Fitri, Kenaikan Isa Almasih dan Etik Pelampauan Diri

Dengan adanya banjir informasi di era internet, jurnalis mengalami bias dan kegamangan. Mereka gamang dengan kerja jurnalistik yang nyata dan kerja jurnalistik yang tanpa makna. Sebut saja informasi yang bias dengan berita hoaks, berita bohong, berita palsu, dan lain-lain, baik di media sosial maupun media massa ‘kuning’.Disebut demikian karena berita-beritanya telah melenceng dari karya jurnalistik dan jauh dari substansinya. Informasi yang mereka sajikan semata menonjolkan aspek sensasi, sadis, bohong, fitnah, insinuatif, cabul, dan jauh dari kebenaran serta realitas. Selain itu, di masa pandemi, kerja jurnalis juga dininabobokkan dengan kerja dari rumah atau di depan komputer. Wartawan tidak perlu lagi turun ke lapangan. Mereka bisa mendapat informasi dan menulis berita dari rumah. Wartawan yang bertugas di suatu kementerian, misalnya, kini tidak lagi harus datang ke kantor menteri setiap hari.

Humas kementerian akan mengirim press release. Kalau ada konferensi pers, si wartawan tinggal membuka Zoom. Menteri menggelar konferensi pers dengan Zoom. Wartawan tinggal menyusun berita dari rumah.Perilaku tidak meliput langsung di tempat kejadian itu menjadi cara kerja sebagian jurnalis. Mereka merasa tidak perlu turun ke lapangan untuk membuat liputan, melakukan reportase, menemui narasumber dan saksi mata, menyaksikan dan mengalami kondisi lapangan, melakukan wawan­cara, dan lain-lain.Cara kerja seperti itu tentu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan pers yang selama ini dijunjung tinggi.

Wartawan memiliki kebebasan dalam menghim­pun informasi, menemui dan mewawancarai nara­sumber, melakukan investigasi, meliput tempat kejadian, melaporkan kondisi nyata masyarakat di akar rumput, dan membuat berita yang baik dan benar.Tanpa turun ke lapangan, wartawan boleh dibilang tidak melaksanakan atau tidak menjunjung tinggi kebebasan pers. Wartawan merasa puas diri mengolah informasi yang diterima melalui daring, press release, atau sekadar menyambar berbagai informasi dari media sosial atau media massa lainnya. Wartawan seperti itu tidak melaksanakan kebebasan pers untuk menyajikan infnormasi yang baik dan benar kepada khalayak. Sol sepatu aus‘Pelanggaran’ kebebasan pers oleh wartawan yang bermalas-malas turun ke jalan ini tentu saja merugikan khalayak yang menjadi konsumen informasinya. Berita yang disajikan tidak memadai, sebagai informasi yang nyata dan benar.

Dalam kebebasan pers terkandung unsur tanggung jawab untuk menyampaikan informasi yang benar. Sementara itu, masyarakat juga memiliki hak mendapatkan informasi yang benar dari media massa.Cara kerja jurnalis yang semakin jarang turun ke jalan untuk mendapat informasi itu secara tak langsung mengingkari prinsip-prinsip kebebasan pers. Apalagi, kalau wartawan hanya merangkai berita dari depan komputer tanpa datang, melihat, merasakan, dan mengalami suatu kejadian di lapangan.Pembuatan berita yang baik dan benar atau investigasi, harus dilakukan dengan turun ke lapangan. Karena itu, di era internet, banjir informasi berlimpah, dan tak sedikit yang jauh dari kebenaran, wartawan justru harus turun ke lapangan. Mereka harus melakukan verifikasi, cek dan recek, serta menggali informasi yang benar.

“Penting agar para jurnalis kembali turun ke jalan sampai sol sepatunya aus,” kata Paus Fransiskus dalam pesannya pada peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55 tanggal 16 Mei 2021. Dalam pesan bertema Datang dan melihat itu, wartawan harus menunjukkan tanggung jawab profesinya dengan menggali informasi yang benar di lapangan.Kebebasan pers harus diperjuangkan dengan tanggung jawab untuk memperoleh dan menyajikan berita yang benar kepada khalayak.

Pada Hari Peringatan Kebebasan Pers Internasional ini kita diingatkan bahwa para korban kekerasan terhadap kebebasan pers gugur di lapangan liputan. Mereka tidak bermalas-malas hanya memungut berita yang hanyut di atas banjir informasi dari dunia internet.( Margana Wiratma, Wartawan, Anggota Komisi Komunikasi Sosial KWI)