Pada penghujung tahun 2020 atau tepatnya pada tanggal 18 Desember 2020 Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia kembali mengeluarkan kebijakan hukum dalam bentuk peraturan (regeling) yaitu Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Berbeda dengan peraturan sebelumnya (Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020) yang pada saat rencana diterbitkan hingga diberlakukan mendapatkan banyak tanggapan dari berbagai kalangan baik itu tanggapan positif yang sifatnya mendukung maupun tanggapan negatif yang sifatnya tidak mendukung yang digaungkan dalam bentuk protes tanpa memberikan solusi alternatif bagaimana langkah tepat pencegahan dan penanggulangan penyebaran covid-19 di Lapas/Rutan/LPKA. Protes yang digaungkan saat itu tentunya dapat dimaklumi namun tidak harus dibenarkan, kenapa demikian ?. Setidaknya ada 2 alasan kekhawatiran yang muncul saat itu apabila kebijakan asimilasi rumah yang dijadikan pilihan.

Pertama sebagai masyarakat, kondisi yang cukup menakutkan melihat banyaknya mantan pelaku tindak pidana dikeluarkan secara serentak melalui program asimilasi rumah. Menakutkan karena berkaitan dengan terusiknya rasa aman dalam menjalani aktifitas sehari-hari apabila hidup berdampingan dengan mantan pelaku tindak pidana, namun kita sebenarnya lupa bahwa dalam usaha pengamanan masyarakat (social defense) peran masyarakat itu sendiri juga sangat dibutuhkan. Kita tidak boleh kembali pada pemikiran uzur yang menyatakan bahwa social defense itu semata-mata berbentuk pemberian hukuman pada pelanggar hukum (penal policy). Social defense sudah seharusnya tidak terfokus pada pelaku kejahatan dan penjatuhan hukuman yang akan diberikan sehingga membuat pelaku kejahatan semakin jauh dari masyarakat, namun yang harus difokuskan adalah bagaimana mengkondisikan mantan pelaku kejahatan agar dapat hidup secara normal ditengah-tengah masyarakat tanpa merasa diasingkan dan tentunya tetap merasa bertanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat. Pada negara-negara yang hukumnya berkembang, sanksi pidana (penal sanction) dalam bentuk pidana penjara yang berorientasi pada pembalasan (retributif) mulai ditinggalkan dan hanya kasus tindak pidana tertentu yang dapat dikenai jenis hukuman tersebut. Paradigma retributif  mulai diganti dengan rehabilitasi (pemulihan) bahkan telah menjurus ke arah restoratif yang memungkinkan perkara dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi. Sistem pemidanaan di negara kita tentu masih kental dengan paradigma retributif dimana tercemin dari Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan Belanda yang sampai saat ini masih digunakan tetapi negara kita yang sistem pemidanaannya menujuh ke arah restoratif sudah sepatutnya masyarakatnya mulai diperkenalkan dengan pola-pola pemulihan/perbaikan hubungan bukan pembalasan. Peran masyarakat terhadap narapidana yang diberikan program asimilasi rumah guna terciptanya social defense menurut penulis dimulai dengan sifat keterbukaan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana dimana stigma/cap negatif terhadap pelaku tindak pidana (labeling) harus ditinggalkan. Perlu juga diketahui bahwa kebijakan asimilasi rumah bukan serta merta narapidana dibebaskan melainkan narapidana dirumahkan dengan pembimbingan dan pengawasan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Peran masyarakat akan memudahkan pembimbingan dan pengawasan BAPAS yang bermuara pada tercapainya pencegahan pengulangan kejahatan yang merupakan salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana (Mardjono Reksodiputro : Sistem Peradilan Pidana).

 

Kedua kekhawatiran para pelaku tindak pidana korupsi akan disertakan dalam program asimilasi rumah tentunya memancing individu maupun organisasi-organisasi yang selama ini memiliki komitmen besar pada pemberantasan korupsi untuk angkat bicara dan mengkritisi secara keras rencana kebijakan tersebut. Tindak pidana korupsi yang termaksud dalam kejahatan kerah putih (White Collar Crime) dirasakan memberi dampak yang luar biasa besar terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat sehingga membatasi hak-haknya sebagai terpidana merupakan suatu keniscayaan. Pada akhirnya apa yang ditakutkan tidak benar-benar terjadi karena dalam regulasi tersebut pelaku tindak pidana korupsi tidak termasuk dalam kategori yang dapat diberikan program asimilasi rumah. Hal ini sekaligus menunjukan salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi sebagaimana kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan yang telah dikeluarkan terlebih dahulu dimana membatasi pemberian hak terhadap narapidana tindak pidana korupsi.

Permenkumham nomor 32 Tahun 2020 yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2021 merupakan evaluasi terhadap Permenkumham sebelumnya. Bagian – bagian yang menjadi penghambat efektifitas program asimilasi rumah dan program integrasi (PB, CB, dan CMB) kemudian diubah dengan lebih memaksimalkan peran pihak-pihak yang terlibat. BAPAS melalui Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang melakukan kegiatan pembimbingan dan pengawasan diperkuat lagi perannya melalui kegiatan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) dan Asesmen (penilaian) Resiko Pengulangan Tindak Pidana yang dilakukan terhadap narapidana yang akan diberikan program asimilasi rumah maupun program integrasi. Pada permenkumham terdahulu ditiadakannya LITMAS membuat PK melakukan pembimbingan dan pengawasan tanpa adanya data primer terkait kesiapan narapidana menjalani program pembimbingan dan hal tersebut dalam beberapa kasus cukup membuat kewalahan PK dalam menentukan program pembimbingan yang dibutuhkan oleh narapidana selama menjalani program asimilasi rumah. Selain itu dimunculkan kembali laporan LITMAS sebagai syarat administratif menghidupkan kembali filter (penyaring) terkait layak atau tidaknya seorang narapidana memperoleh program asimilasi rumah maupun integrasi yang dituangkan dalam bentuk rekomendasi hasil LITMAS. Belum lagi diperkuat dengan adanya kegiatan penilaian terhadap narapidana terkait dengan resiko pengulangan tindak pidana dimana ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah narapidana beresiko tinggi memperoleh program asimilasi rumah maupun integrasi sebagaimana disebutkan pada Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 pasal 5 ayat 4 : “Dalam hal hasil asesmen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menunjukan resiko tinggi, Narapidana/Anak tidak dapat diusulkan dalam pemberian asimilasi” dan pasal 22 ayat 4 : “Dalam hal hasil asesmen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menunjukan resiko tinggi, Narapidana/Anak tidak dapat diusulkan dalam pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Selain peran PK, peran masyarakat juga dimaksimalkan dengan melibatkan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (POKMAS) dalam kegiatan pembimbingan dan pengawasan yang dilaksanakan bersama – sama dengan pembimbingan dan pengawasan BAPAS untuk program asimilasi rumah dan Pembimbingan dan Pengawasan BAPAS dan Kejaksaan untuk program integrasi. Memaksimalkan POKMAS tentunya akan memudahkan peran pembimbingan dan pengawasan BAPAS dikarenakan POKMAS bisa bergerak secara dinamis dan merupakan bagian dari masyarakat.

Baca Juga: Hak Anak untuk Menerima Vaksin Covid-19

 

Evaluasi terhadap regulasi sebelumnya juga sangat terasa dimana pada Permenkumham yang baru dicantumkan kategori narapidana yang tidak dapat diberikan program asimilasi rumah. Asimilasi rumah tidak diberikan kepada narapidana/anak yang melakukan pengulangan tindak pidana (residivis) dan juga narapidana/anak yang terlibat tindak pidana : Pembunuhan (Pasal 339 dan 340 KUHP), Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP), Kesusilaan (Pasal 285 s.d. Pasal 290 KUHP), dan Kesusilaan terhadap anak sebagai korban (Pasal 81 dan 82 UU RI Nomor 35 Tahun 2014). Dengan adanya klasifikasi tindak pidana, tidak diberikannya program asimilasi rumah kepada residivis, dan memaksimalkan peran Pembimbing Kemasyarakatan dan juga POKMAS hal ini tentunya telah menjawab keresahan masyarakat akan dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh program asimilasi rumah. Pasal-pasal pembaharuan dalam Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 bertujuan meminimalisir terjadinya pengulangan kejahatan oleh narapidana/anak yang diberikan program asimilasi rumah/integrasi dan sekaligus juga merupakan bentuk pengejawantahan dari tuntutan masyarakat agar jalannya kehidupan bersama lebih baik dan tertib.( La Ode Rinaldi Muchlis, SH, Pembimbing Kemasyarakatan Pertama Bapas Kelas II Ambon)