WGS untuk Tuberkulosis
MASYARAKAT sudah mengenal penggunaan whole genome sequencing (WGS)untuk mendeteksi adanya kemungkinan varian baru covid-19. Sampai 18 November 2021, Indonesia sudah memasukkan 8.839 sampel WGS virus SARS CoV2 penyebaran covid-19 ke GISAID yang memang mengompilasi data dari seluruh dunia. Angka Indonesia ini, lebih baik dari Malaysia yang memasukkan 4.901 sampel dan Thailand dengan 7.487 sampel. Namun, Indonesia masih lebih rendah dari Singapura yang sudah memasukkan 9.652 sampel, Filipina dengan 12.742 sampel, dan India dengan 78.442 sampel. Yang paling tinggi ialah Amerika Serikat yang pada 18 November 2021 sudah memasukkan 1.608.136 sampel WGS virus covid-19 ke GISAID, disusul oleh Inggris dengan 1.238.935 sampel. Tentu saja, pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) juga dapat dilakukan untuk berbagai penyakit lain. Salah satu di antaranya ialah tuberkulosis (Tb).
Kita tahu bahwa tuberkulosis ialah masalah kesehatan penting dunia dan juga di negara kita. Data dari Global TB Report 2021 menunjukkan bahwa Indonesia ialah penyumbang kasus Tb ketiga terbesar di dunia sesudah India dan Tiongkok. WHO juga membuat tiga daftar negara dengan beban tinggi (high burden countries) masing-masing 30 negara untuk kasus tuberkulosis, 30 negara untuk kasus Tb & HIV, serta 30 negara dengan masalah kasus TB MDR (multi drug resistance) dan resisten rifampisis (RR). Dari daftar itu, maka ada 10 negara yang termasuk dalam tiga kelompok itu sekaligus. Artinya, beban tinggi untuk Tb, Tb & HIV serta Tb MDR/RR, yakni Indonesia ialah satu di antaranya, bersama Tiongkok, Republik Demokratik Kongo, India, Mozambique, Myanmar, Nigeria, Filipina, Afrika Selatan, dan Zambia. Indonesia juga disebut sebagai penyumbang kedua terbesar yang menyebabkan penurunan notifikasi kasus Tb di dunia akibat covid-19 sesudah India. Kalau notifikasi menurun, tentu jadi lebih banyak pasien Tb yang tidak ditemukan, tidak diobati dan tetap menular ke masyarakat di sekitarnya.
Tentang penggunaan WGS untuk tuberkulosis saat ini memang belum digunakan dalam aspek keputusan klinik sehari-hari. Penggunaan WGS sekarang ialah lebih untuk surveilans resistensi obat dan dapat pula untuk pemetaan daerah dengan masalah tertentu (hot spot mapping) sehingga dapat menjadi masukan bagi program pengendalian Tb di suatu negara. WGS juga dapat digunakan sebagai salah satu modalitas analisis epidemiologi tuberkulosis serta juga untuk keperluan riset. Sejauh ini, yang lebih banyak digunakan untuk pemeriksaan WGS ialah dari sediaan kultur kuman Tb. Pemeriksaan WGS langsung dari dahak masih memberi hasil yang belum optimal, hasil penelitiannya masih bervariasi, antara lain dengan tehnologi Deeplex-MycTB assay dari GenoScreen. Resistensi Pada 25 Juni 2021, WHO untuk pertama kalinya menerbitkan buku katalog mutasi kuman tuberkulosis dalam kaitan dengan resistensi obat Tb, yang dianalisis dengan menggunakan pemeriksaan sekuens genomik. Tadinya, yang lebih banyak di identifikasi adalah resistensi terhadap obat rifampisin saja dengan menganalisis fragemen pasangan 81 (81-based pair fragmen) dari gen rpoB.
Buku katalog Tb pertama dunia ini, menganalisis 38.000 isolat dari 40 negara, sayangnya tidak termasuk Indonesia, yang berhubungan dengan 13 obat antituberkulosis sehingga didapat informasi bukan hanya pada obat rifampisin, tapi juga pada berbagai obat lain yang biasa digunakan untuk mengobati Tb di dunia dan juga di negara kita. Obat ini meliputi kelompok lini pertama, yaitu INH, Etambutol dan Pirazinamid dan lini kedua. Khusus untuk obat lini kedua maka dicakup juga yang grup A, yaitu levofloksasin, moksifloksasin, bedakuilin dan linezolid, yang grup B, yaitu klofazimin dan juga grup C meliputi delamanid, amikasin, streptomisin, etionamid, dan protionamid. Sementara itu, pada dasarnya ada enam manfaat dari program surveilans resistensi obat.
Pertama untuk memperkirakan besarnya masalah penyakit (disease burden), kedua untuk memonitor kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu, ketiga untuk perencanaan pelayanan diagnosis dan pengobatan, keempat untuk menilai efektivitas program intervensi. Kelima, untuk merumuskan regimen terapi yang efektif, dan keenam untuk kebijakan program manajemen resistensi tuberkulosis di suatu negara. Negara kita juga sudah mulai melakukan proyek Indonesian Tuberculosis Whole Genomic Sequencing sejak 2020, yang hingga kini masih berproses. Kegiatan ini merupakan lanjutan dari Survei Resistensi Tb yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) dan penanggung jawab Program Penanggulangan Tuberkulosis di Kementerian Kesehatan. Kalau hasilnya selesai kelak, itu tentu akan bermanfaat bagi pengendalian Tb di negara kita. Sementara itu, program penanggulangan Tb paru yang resisten obat di Indonesia tampaknya masih harus terus ditingkatkan. Data tahun 2020 menunjukkan bahwa penemuan dan notifikasi kasus Tb resisten obat barulah 34% dari estimasi kasus yang ada, dan, dari yang ditemukan maka baru 57% yang kemudian menjalani pengobatannya.
Baca Juga: Pendidikan DamaiSementara itu, berdasar data kohort sejak 2018, keberhasilan pengobatan Tb resisten obat kita adalah sekitar 47%. Belum semua kabupaten/kota memiliki pusat pelayanan untuk penanganan pasien Tb resisten obat, dan, belum semua provinsi memiliki fasilitas pemeriksaan kultur resistensi atau Laboratorium Line Probe Assay (LPA) (2020) Perkembangan ke depan Secara umum whole genome sequencing (WGS) di bidang tuberkulosis saat ini masih merupakan alternatif dari metode probe-based WHO yang utamanya untuk deteksi resistensi obat, diversifitas genetik dan perubahan dinamik transmisi kuman Mycobacterium tuberculosis complex (MTBC) merupakan penyebab penyakit tuberkulosis. WGS punya kelebihan proses yang lebih cepat daripada metode konvensional pemeriksaan fenotipik uji kepekaan obat Tb, serta nilai sensitifitasnya juga tinggi. Pun dapat digunakan sebagai repositori data serta teknologinya tentu dapat digunakan untuk berbagai penyakit lain. Dalam perkembangan ke depan maka diharapkan tingkat resolusinya juga terus meningkat, khususnya untuk melakukan analisa epidemiologik.
Diharapkan juga agar interpertasi data sekuensing dapat lebih mudah dilakukan. Perkembangan riset juga diharapkan mencakup variabilitas genetik yang bila mungkin mengarah ke penemuan vaksin, dan mungkin juga mekanisme baru pengobatan dengan identifikasi mutasi yang relevan. Untuk kemudahan di lapangan, diharapkan dapat dikembangkan alat untuk otomatisasi metode sekuensing. Juga baik kalau dapat dikembangkan teknik otomasi ekstraksi yang lebih mudah, dan tidak berbiaya mahal kalau bisa langsung dari sampel pasien. Perlu pula dirintis, kemungkinan penggunaan WGS dalam pengambilan keputusan klinik dan juga surveilans. Yang paling penting tentunya agar negara dapat terus mengembangkan kapasitas di bidang biologi molekuler dan bioinformatika guna kepentingan kesehatan bangsa.( Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/ Guru Besar FKUI, mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan mantan Dirjen P2P & Ka-Balitbangkes)
Tinggalkan Balasan