AMBON Siwalimanews – Pemerintah pusat, mapun provinsi serta kabupaten, maupun TNI dan Polri diminta untuk segera menetapkan agenda dan langkah-langkah strategis, untuk pemulangan masyarakat adat Negeri Kariu ke negeri asal mereka.

Pasalnya, masyarakat adat Negeri Kariu, memiliki hak atas negeri dan petuanannya, untuk itu agenda pemulangan masyarakat Kariu ke negeri asalnya, adalah wajib hukumnya, dan tidak harus ditentukan oleh kelompok masyarakat manapun dan dengan syarat apapun.

“Petuanan dan Negeri Kariu benar-benar adalah sah milik masyarakat hukum adat Negeri Kariu sesuai pendaftaran tanah-tanah dati pada tahun 1823, yang kemudian disalin dalam register dati tahun 1956,” ungkap Sekretaris Negeri Kariu, Estevanus Leatomu, saat memberikan keterangan pers kepada wartawan di Ambon, Sabtu (12/3) kemarin.

Selama ini kata Leatomu, penggiringan opini oleh sekelompok orang, bahwa masyarakat hukum adat Negeri Kariu tidak memiliki hak kepemilikan atas petuanan dan negerinya, itu adalah upaya pemutarbalikan fakta dan pembohongan publik, yang melanggar hak asasi manusia yang melekat pada masyarakat Negeri Kariu.

“Salah satu fakta sejarah yang membuktikan tentang hak kepemilikan petuanan masyarakat hukum adat Negeri Kariu sejak masa Portugis, Belanda dan sampai sekarang, masih ada sisa-sisa gedung gereja lama Kariu, yang saat ini masih berdiri di dalam pemukiman masyarakat Pelauw,” ucap Leatomu.

Baca Juga: Bandara Pattimura Raih Penghargaan Best Airport

Beberapa fakta hukum yang menegaskan hak kepemilikan tanah masyarakat hukum adat Negeri Kariu ungkap Leatomu yakni, berdasarkan putusan PN Ambon No. 85/1968-Prdt. Tertanggal 17 Agustus 1970: sesuai putusan PT Maluku Nomor: 60/1970/PT/./Prdt, tertanggal 21 Maret 1973, putusan mahkamah agung RI Nomor: 674/K/Sip/1974 tertanggal 12 Januari 1997.

Diketahui bahwa, Johannis Takaria (orang Kariu) telah memenangkan gugatan terhadap hak kepemilikan bidang-bidang tanah yang ada di dalam pemukiman Pelauw sekarang, yang semula dikuasai oleh Sukaha Latupono (orang Pelauw) dan Sup Alim Talaohu (orang Pelauw).

“Sementara pada tahun 2010 Rajak Sahubawa (orang Pelauw) membeli sebidang tanah milik ahli waris Dominggus Radjawane (orang Kariu) dan Franky J. M. Radjawane (orang Kariu), dimana tanah yang dijual-belikan tersebut berada di dalam pemukiman masyarakat negeri Pelauw sekarang,” bebernya.

Menurutnya, berdasarkan surat-surat dati yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat Negeri Kariu menurut Sekretaris Negeri, bahwa petuanan Ory yang sekarang menjadi pemukiman masyarakat dusun Ory adalah, tanah dati milik masyarakat hukum adat Negeri Kariu yang disebut Dati Ory.

“Ini berdasarkan register dati tahun 1823 yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat Negeri Kariu, bahwa petuanan Uwa Rual sudah sejak lama menjadi hak milik masyarakat Kariu,” tegasnya.

Terhadap hal itu kata Leatomu, ada catatan sejarah yang membuktikan, bahwa sudah lama kelompok masyarakat Pelauw melakukan perampasan dan penguasaan terhadap petuanan-petuanan masyarakat hukum adat negeri Kariu dengan cara kekerasan, bahkan perang.

Pertama pada tahun 1933 terjadi perampasan dengan kekerasan atas tanah negeri lama Kariu saat ini menjadi pemukiman Pelauw. Kedua, pada tahun 1935 terjadi perampasan Aman Teput Negeri lama Tupalessy.

Ketiga pada tahun 1949, terjadi perampasan Amanahaur, Keempat, pada tahun 1953 terjadi perampasan Nimeilrua kelapa 2 yang disebut Hunimoki. Kemudian, pada tahun 1963 perampasan Lawata, Waihala, Amanhuwe dan  Amalatu.

Selanjutnya, pada tahun 1957 Silas Pariury (orang Kariu) dibunuh karena yang bersangkutan adalah sosok yang selalu melarang, menghadang dan melawan pergerakan masyarakat Pelauw yang ingin merebut dan menguasai petuanan masyarakat Kariu di dati Hunimoki milik masyarakat negeri Kariu.

Kemudian di tahun 1966, masyarakat Pelauw melakukan perampasan terhadap tanah milik masyarakat hukum adat Kariu di dati Lawata, Amahue, Kohomuan dan Hatuwei.

“Catatan sejarah juga telah membuktikan, bahwa petuanan masyarakat hukum adat Negeri Kariu yang saat ini berada dalam pemukiman Pelauw pernah dijual dan dihibahkan, baik kepada pemerintah maupun pribadi orang Pelauw,” cetusnya.

Pada tahun 1976-1979 lanjut Leatomu sebagian tanah milik warga Kariu di negeri lama yang berada di dalam pemukiman Pelauw, saat itu dijual oleh warga Kariu untuk membangun Polsek Pulau Haruku, Kantor Camat Pulau Haruku, Rumah dinas Camat Pulau Haruku dan kantor PLN Pulau Haruku.

Sementara lahan lainnya, dihibahkan untuk membangun SMP dengan sebutan SMPN Pelauw-Kariu. Berdasarkan fakta sejarah dan bukti hukum tentang hak kepemilikan oleh masyarakat hukum adat negeri Kariu “Sebagaimana dijelaskan tersebut, maka kami tegaskan, bahwa Negeri Kariu beserta petuanannya adalah sah milik Kariu, sesuai hukum adat maupun undang-undang yang berlaku di NkKRI dan bukan milik sekelompok masyarakat lainnya,” ucapanya.

Oleh karena masyarakat hukum adat Negeri Kariu memiliki hak atas Negeri dan petuanannya, lanjut Leatomu, maka agenda pemulangan masyarakat hukum adat Kariu ke negeri asalnya adalah wajib hukumnya, dan tidak harus ditentukan oleh kelompok masyarakat manapun dan dengan syarat apapun. (S-21)