AMBON, Siwalimanews – Sidang kasus perbuatan melawan hukum antara Penggugat, Hengky Su­tanto dan Tergugat I yaya­san Al-Hilal serta Tergugat II Pemerintah Provinsi Maluku akhirnya dilaksa­na­kan oleh Pengadilan Negeri Ambon.

Dalam sidang yang di­pim­pin hakim ketua Orpa Marthina didampingi ha­kim anggota Rahmat Se­lang dan Nova Salmon itu menghadirkan saksi dari yayasan Al-Hilal sebagai Tergugat I, Salem Basa­lamah, Senin (11/12)

Saksi Salem Basalamah saat dicecar majelis hakim berujung pengacara Fachri Bachmid keluar tinggalkan ruang sidang. Selintas terlihat hakim ketua Orpha Martina bingung dengan sikap sang penga­cara.

Fachri meninggalkan ruang si­dang, karena menilai majelis hakim tidak fair. Menurutnya, seharusnya majelis hakim cukup bertanya, guna memastikan siapa harus bertang­gung jawab dalam perkara tersebut.

Hal itu diungkapkan pengacara Yayasan Al-Hilal, Fachri Bacmid kepada Siwalima usai persidangan mengaku kesal dengan sikap hakim.

Baca Juga: Ketua DPRD Maluku Polisikan Anak Buah MI

“Jadi persidangan ini sebenarnya kami harapkan bahwa bisa terlaksana dengan cara yang fair, objektif, independen dan tentunya imparsial. Tetapi dalam pemeriksaan saksi-saksi kami menemukan kejanggalan yang sesungguhnya jujur kami sa­ngat keberatan terhadap persida­ngan tadi, ada sedikit tendensi potensi tidak imparsial,” ujarnya.

Bachmid mengungkapkan, salah satu anggota majelis hakim saat menanyakan saksi telah mengambil satu kesimpulan tertentu yang dalam konklusi di hukum acara itu dilarang,.

Menurutnya, hakim sebenarnya hanya cukup mengelola persida­ngan menanyakan saksi informasi memverifikasi data-data yang ter­ungkap dalam persidangan karena saksi itu telah disumpah.

‘Kalau saksi telah disumpah jadi harus dianggap sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Tugas hakim adalah menggali sejauhmana infor­masi pengetahuan yang saksi dapatkan atau yang saksi ketahui tentang suatu peristiwa perbuatan hukum karena ini adalah perbuatan hukum perdata,”paparnya.

Idealnya hakim, lanjut dia hanya terfokus pada menanyakan saksi pengetahuan-pengetahuan tentang apa yang terjadi di masa lampau.

Namun yang terjadi, lanjut dia. majelis hakim berkesimpulan mem­bangun konklusi-konklusi misalnya karena perkara ini berkaitan dengan ada jual beli, yang adalah perbuatan yang sifatnya melawan hukum. Perbuatan jual beli itu pada haki­katnya adalah sesuatu yang berten­ta­ngan dengan prinsip-prinsip hukum yang dilakukan dengan cara-cara tidak benar, sehingga penjual­nya itu sendiri sebenarnya berda­sarkan putusan pengadilan sudah menjalani hukuman pidana.

“Jadi sebenarnya peristiwa hu­kum ini sudah sempurna bahwa ada penjual tanah objek yang bukan kewenangannya dan bukan miliknya itu dilakukan secara melawan hak sehingga, berdasarkan bukti-bukti itu pengadilan di tingkat pengadilan pidana sudah menjatuhkan putusan dan dia divonis bersalah dua tahun. Dengan demikian seluruh rangkaian perbuatan hukum jual beli itu secara hukum telah sempurna bahwa berda­sarkan terhadap prinsip-prinsip yang tidak benar,” tegasnya.

Dikatakan, pembeli (penggugat -red) mengajukan gugatan ke Peng­adilan Negeri Ambon, dalam hal untuk meminta pembatalan terhadap beberapa akta ataupun surat yang dikeluarkan dari Gubernur Maluku tentang pembatalan penyerahan aset kepada yayasan waakaf pada saat itu, yang semestinya diketahui oleh pemerintah daerah adalah dikembalikan kepada yayasan Al-Hilal dan bukan yayasan Waakaf.

Karena dengan kesalahan itu Gu­bernur pada saat itu Albert Ralahalu sudah membatalkan penyerahan itu dan menerbitkan objek sengketa baru keputusan tata usaha yang baru untuk diserahkan kepada Yaya­san Al-Hilal dan bukan yayasan Wakaf al ilal.

“Yayasan Wakaf Alilal itu yayasan yang tidak punya hak dan kewe­angan untuk mengelola dan menjual aset-aset milik Al-Hilal Ambon,” cetusnya.

Dengan demikian penggugat ini atau pembeli dalam hal ini meng­gugat seolah-olah ada kerugian yang diderita atas tindakan pembe­lian yang dilakukan pada saat itu. Sehingga persoalan inilah yang saat ini disengketakan di Pengadilan Negeri Ambon.

“Dan tadi terungkap hakim me­ngambil kesimpulan seolah-olah hukum harus melindungi pihak pembeli. Padahal kita masih mempersoalkan pembeli ini bisa saja terindikasi atau potensial melakukan pembelian dengan cara atau etika buruk atau dengan cara itikad tidak baik, karena patut diduga yang dia beli itu objek sengketa atau objek yang bukan menjadi kewenangan Yayasan wakaf, tapi Al- Hilal.

Jadi itu milik orang lain bukan milik orang yg menjual itu,” paparnya.

Karena yang menjual itu dilaku­kan dengan cara kejahatan. Itu bisa dikonfirmasi dengan putusan peng­adilan sampai di tingkat Mahkamah Agung sehingga yang bersang­kutan dihukum untuk menjalani hukuman pidana penjara kurang lebih 2 tahun dan uang ganti rugi yang harus diserahkan kepada yayasan Al-Hilal sebanyak 3 miliar, dan sampai saat ini tidak diserahkan kepada Yayasan Al-Hilal.

“Kami tidak mau dirugikan dengan suatu proses yang tidak fair. Kami ingin memastikan bahwa persida­ngan ini peradilan ini harus dila­ngsungkan dengan cara yang bermartabat dengan cara yang independen yang parsial, sehingga keadilan untuk masyarakat betul-betul dapat dicapai,” tambahnya.

Sementara itu, Salim Basalamah menambahkan jika yang seharusnya menanyakan soal objek sengketa ialah, penjual sebab kalau sudah dibeli dan salah sasaran kan rugi pembelinya.

“Tadi saya sebagai saksi ada bebe­rapa yang mengganjal, harusnya pihak pembeli Hengky Sutanto sebelum membeli tanah itu yang dasarnya SK gubernur yang pada rapat-rapat tahun 2010 itu belum ada Yayasan wakaf dan saudara umarat ningrum itu mengatasnamakan Yayasan wakaf, tapi penyerahan Pemprov kepada aset-aset tersebut kepada Yayasan wakaf Al Hilal atas informasi dari saudara umar Atta­mimi ini bahwa pembinanya yayasan Al-Hilal sudah meninggal dan di­alihkan,” cetusnya.

BPN tidak menanyakan itu, He­ngky Sutanto juga tidak mena­nyakan itu.

Ini kan kejanggalan. Yayasan baru berdiri 2011, rapat di dprd 2010 atas yayasan Al Hilal, wakaf berdiri 2011 tapi penyerahan atas nama yayasan wakaf, kalau Dia berbicara itu pe­limpahan dari yayasan Pemprov BPN dan Pak Hengki sebagai pe­milih harus meminta akta pelimpahan, ini tidak ada, ini penyimpangan hukum. (S-26)