AMBON, Siwalimanews – Penyuap mantan Walikota Ambon itu hanya dituntut 2,6 tahun penjara, ditambah denda 100 juta rupiah.

Sekalipun terbukti menyuap mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Ko­rupsi, menuntut Kepala Perwakilan Regional Alfamidi Ambon, Amri  dengan pidana ringan.

Amri dituntut 2,6 tahun penjara, denda Rp100.000.000 dengan ketentuan, apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan.

Tuntutan KPK tersebut dibacakan oleh Taufiq Ibnugroho cs dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (17/11, dipim­pin majelis hakim yang diketuai Nanang Zulkarnaen Faizal.

“Menuntut Terdakwa dengan pidana 2,6 tahun penjara, membayar denda 100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan,”  jelas Taufig

Baca Juga: Hakim Tolak Prapradilan Tersangka Kasus Persetubuhan

KPK menyatakan, terdakwa Amri terbukti secara sah meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Jo.Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Selain tuntutan 2,6 tahun Penjara, terlebih dahulu KPK juga memper­hatikan hal yang memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan, terdakwa tidak membantu pemerin­tah dalam menuntaskan korupsi, kolusi dan nepotisme serta terdakwa berkelit dan tidak kooperatif dalam persidangan.

Hal meringankan, terdakwa belum pernah dihukum. Sidang selanjut­nya ditunda, Kamis (24/11) depan dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pledoi oleh ter­dakwa.

Ditahan KPK 

Terbukti menyuap mantan Wali­kota Ambon, penyidik KPK menahan Kepala Perwakilan Regional Alfamidi, Ambon.

Amri yang hampir empat bulan dijadikan tersangka oleh KPK, akan ditahan selama 20 hari kedepan, sejak 7 September sampai 26 September.

Penahanan terhadap Amri meru­pakan upaya paksa yang dilakukan lembaga anti rasuah ini. KPK menemukan adanya bukti kuat atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait persetujuan izin prinsip pemba­ngunan cabang retail tahun 2020 di Kota Ambon.

“Karena kepentingan proses penyidikan, penyidik melakukan upaya paksa penahanan untuk tersangka AR selama 20 hari pertama, terhitung 7 September 2022 s/d 26 September 2022,” jelas Juru Bicara Ali Fikri kepada Siwalima, Kamis (8/9) lalu.

Menurut Fikri, KPK menahan Amri di Rutan KPK pada Pomdam Jaya, Guntur, Rabu (7/9).

KPK menyebutkan, dalam kons­truksi, AR sebagai sebagai salah satu karyawan PT AM Alfamidi di Kota Ambon, ditunjuk oleh PT Midi Utama Indonesia dengan tugas salah satunya, melakukan peng­urusan izin prinsip pembangunan beberapa cabang retail di Kota Ambon untuk tahun 2020.

Selain itu, agar proses pengurus­an izin dimaksud dapat segera di terbitkan, AR diduga berinisiatif melakukan pendekatan dan komu­nikasi dengan RL yang menjabat Walikota Ambon periode 2017 sampai dengan 2022, karena salah satu kewenangan yang ada pada RL yaitu memberikan persetujuan izin prinsip pembangunan cabang retail di Kota Ambon.

Kemudian, AR diduga menawar­kan sejumlah uang pada RL untuk mempermudah dan mempercepat terbitnya persetujuan izin prinsip pembangunan cabang retail yang kemudian disetujui RL.

Selanjutnya, RL memerintahkan Kadis PUPR Pemkot Ambon untuk segera memproses dan menerbitkan berbagai permohonan izin yang telah diajukan AR diantaranya, Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).

Fikri menyebutkan, dalam setiap dokumen izin yang disetujui dan diterbitkan tersebut, RL meminta agar uang yang diserahkan AR besarannya minimal Rp25 juta yang kemudian ditransfer melalui rekening bank milik Andrew Erin Hehanussa (AEH), pegawai honor Pemkot Ambon, yang adalah orang kepercayaan RL.

Khusus untuk penerbitan terkait persetujuan prinsip pembangunan 20 gerai usaha retail, AR diduga kembali memberikan uang kepada RL sekitar sejumlah Rp500 juta yang diberikan secara bertahap melalui rekening bank milik AEH.

Atas perbuatannya tersebut, tersangka AR disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1)

huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(Mg-1)