AMBON, Siwalimanews – Tim penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku dipastikan hari ini, Rabu (13/9), akan menggelar perkara kasus dugaan pelecehan seksual Bupati Maluku Tenggara, M Taher Hanubun.

Kepastian tersebut disampaikan Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Roem Ohoirat kepada Siwalima melalui sambungan selulernya, Selasa (12/9).

Hanubun dilaporkan ke Polda Ma­luku, karena diduga melakukan pele­cehan seksual terhadap wanita 21 tahun berinisial SA, karyawan Cafe Agnia, miliknya, yang terletak di kawa­san Air Salobar, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.

Kabid mengakui, proses hukum dugaan pelecehan seksual tetap dilan­jutkan, sekalipun korban telah men­cabut perkara.

“Benar pencabutan perkara tanggal 5 September 2023 sebagaimana isu beredar di masyarakat, namun proses hukum tetap lanjut,” ujar Kabid.

Baca Juga: Pemilik 25 paket Narkoba Divonis 6 Tahun Penjara

Kata kabid, dengan mengacu pada pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengisyaratkan untuk tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan terkecuali pelakunya adalah dibawah umur.

“Benar pada Rabu 5 September pe­nyidik menerima surat dari pela­por yang isinya pelapor menarik kembali laporannya dan tidak menghendaki proses lebih lanjut, namun tidak serta merta membuat dan mencabut laporan. Ada prose­dur yang diatur undang undang, sehingga penyelidikan sampai saat ini terus dilakukan,” jelasnya.

Ohoirat belum mau berkomentar lebih jauh soal penanganan kasus ini. Karena gelar perkara akan segera dilakukan. “Besok itu gelar perkara, baru disampaikan,” ujarnya singkat.

Pernyataan JMS

Terpisah sejumlah aktivis, LSM  maupun pemerhati kekerasan terha­dap perempuan dan anak, serta pendamping korban saat pelaporan, yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Kawal UU TPKS dan Gerak Bersama Perem­puan Maluku Untuk Kasus Keke­rasan Seksual oleh Bupati Malra, menggelar aksi, menuntut pihak kepolisian untuk segera lindungi korban dari intimidasi.

JMS dalam kasi pernyataan sikapnya di Monumen Martha Chris­tina Tiahahu, Selasa (12/9) sore merasa sangat prihatin dengan ada­nya dugaan intimidasi dari terduga pelaku terhadap korban.

“Tanggal 11 September 2023 pe­laku bersiasat menikahi korban secara siri dan memberikan mahar 1 miliar untuk melarikan diri dari per­tanggungjawaban hukum. Dalam relasi kuasa yang tidak setara, kor­ban berada dalam keadaan terpaksa menikah dengan pelaku,” ungkap Koordinator aksi, Lusi Peilouw saat membacakan pernyataan sikap.

Dijelaskan, berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan, pelaku perkawinan paksa dapat dipidana penjara paling lama sembilan tahun.

Dikatakan, pada 1 September 2023, pihaknya mendampingi korban membuat laporan polisi di SPKT Pol­da Maluku. Polda telah melakukan visum et repertum pada korban dan kasus masuk tahap penyelidikan.

Namun karena korban diduga mengalami intimidasi dari terduga pelaku, maka pada tanggal 6 September 2023 keluarga menyampaikan surat permohonan menarik laporan polisi kepada Polda Maluku.

“Sejak saat itu pula, keluarga tidak bersedia untuk korban didampingi oleh pendamping dan pendamping tidak berkontak sama sekali dengan korban,” paparnya.

Dia menegaskan, kekerasan sek­sual yang dilakukan oleh terduga pelaku seorang pejabat publik de­ngan memaksa korban untuk me­menuhi hasrat seksualnya terjadi hingga berulang, harus menjadi perhatian bersama sebagai wujud dari urgensi UU TPKS.

Karena itu, JSM Kawal UU TPKS mendesak  pertama, Polda Maluku se­gera berkoordinasi dengan Ka­polda Metro Jaya untuk melacak keberadaan korban, lindungi korban dari intimidasi pelaku.

Kedua, pihak kepolisian Maluku tetap melanjutkan proses hukum kasus TSA, segera periksa dan adili Bupati Maluku Tenggara atas kasus perkosaan dan dugaan pemaksaan perkawinan.

Ketiga, pemerintah segera menun­taskan aturan turunan UU TPKS dengan memastikan mekanisme koordinasi dan pemantauan imple­mentasi UU TPKS antara pusat dan daerah, mekanisme layanan terpadu pusat antar pulau atau wilayah, serta mekanisme berjejaring untuk perlin­dungan korban.

Keempat, mendorong LPSK se­gera mengintervensi kasus TSA dan berikan perlindungan bagi korban dan pendamping korban.

Janji Kapolda

Sebelumnya, Kapolda Maluku Irjen Pol Lotharia Latif telah memerintahkan penyidik untuk menangani kasus tersebut secara profesional.

Semua proses penanganan dila­ku­kan secara transparan dengan me­libatkan instansi terkait, baik psi­kolog dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (TP2TPA) sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Kapolda juga meminta, jangan ada pihak yang coba-coba menginter­vensi pihaknya dalam penyelidikan kasus ini.

Orang nomor satu di Polda Maluku ini bahkan mengingatkan siapapun yang mengancam atau menekan pelapor.

“Kami juga mengingatkan kepada siapa pun untuk jangan coba-coba mengancam atau menekan pelapor, atau coba-coba intervensi kasus yang sedang ditangani ini. Bahkan siapa pun yang akan menghambat proses ini kami tidak segan-segan untuk menindaknya,” tegas Kapolda di Ambon, Rabu (6/9) lalu.

Untuk diketahui, Bupati Hanubun dilaporkan 1 September 2023, atas dugaan kekerasan seksual terhadap perempuan berinisial TA (21).

Korban menyampaikan laporan ke SPKT Polda Maluku, Jumat (1/9), dengan nomor laporan TBL/230/IX/2023/MALUKU/SPKT sebutkan, peristiwa yang menimpa TA terjadi di kafe milik istri  bupati tersebut di Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon pada April 2023 sekitar pukul 15.00 WIT.

Saat itu korban dipanggil dan diminta untuk memijat terduga pelaku di kamar yang terletak di lantai tiga, yang berlanjut pada tindakan pelecehan seksual. Setelah itu, terjadi lagi tindakan yang lebih dari pelecehan pada Juli 2023.

Perbuatan  yang sama berupaya dilakukan pada  Agustus 2023 namun korban berhasil melarikan diri. Hal ini kemudian berujung pada pemecatan dirinya.

Sejak kasus ini bergulir hingga saat ini Hanubun belum bisa dikonfirmasi. Siwalima sudah berulang kali coba menghubunginya melalui pesan tertulis WhatsApp dan sambungan telepon, namun belum memperoleh balasan hingga berita ini naik cetak.

Sikap Komnas Perempuan

Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Latuconsina, menegaskan, dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Hanubun, tak bisa diselesaikan melalui jalur restorative justice.

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Sabtu (2/9), Latuconsina mengatakan, kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang pejabat publik atau tokoh publik, sama sekali tidak dibenarkan.

Restorative justice jelasnya, adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang berfokus pada pemulihan, rekonsiliasi, dan restorasi hubungan yang rusak akibat tindakan kriminal.

“Pendekatan ini menekankan upaya untuk mengatasi akar masalah dan dampak psikologis, sosial, dan emosional yang dihasilkan oleh tindakan kriminal, baik bagi korban, pelaku, maupun masyarakat secara keseluruhan. Dimana prinsip utamanya adalah menggeser fokus dari hukuman dan pembalasan semata kepada penyelesaian masalah dan pemulihan,” bebernya.

Latuconsina bilang, dalam pendekatan restorative justice, terjadi dialog antara korban, pelaku, dan komunitas untuk membahas konsekuensi tindakan kriminal dan mencari solusi yang sesuai untuk semua pihak.

Dia menjelaskan, bahwa Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, ditujukan bagi setiap orang dan korporasi tanpa terkecuali, dan terdapat pemberatan atau penambahan 1/3 hukuman pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 ayat (1) huruf c.

Artinya, ini untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidak berulangan kekerasan seksual tersebut.

“Kasus ini harus dikawal, sebab terduga pelaku adalah pejabat publik yang tidak menutup kemungkinan dapat mempengaruhi akses keadilan terhadap korban dan pandangan aparat penegak hukum serta masyarakat, dengan alibi bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah kekerasan seksual. Nanti yang terjadi impunitas terhadap pejabat publik tersebut, namun terhadap korban, tidak terpenuhi hak atas keadilan dan kebenaran serta pemulihannya. Oleh sebab itu, untuk mencegah hal ini terjadi, UU TPKS itu harus diterapkan,” tegas mantan Wakil Walikota Ambon itu.

Ditanya pandangan jika suatu ketika korban kembali menarik laporannya dengan alasan penyelesaian secara kekeluargaan, Latuconsina sekali lagi menegaskan, bahwa untuk kasus kekerasan seksual, tidak dibenarkan diselesaikan secara kekeluargaan atau melalui jalur restorative justice.

“Artinya, bahwa proses hukum tetap harus dilakukan. Kalau itu terjadi, maka akan muncul anggapan, bahwa apa yang dilakukan pelaku bisa diselesaikan dengan hanya ganti rugi dan pelaku kembali bebas, sementara korban tidak mendapatkan pemulihan. (S-10)