AMBON, Siwalimanews – Tim penyidik Ditreskrimum Polda Maluku terus berupaya maksimal menuntaskan kasus dugaan pelecehan seksual Bupati Malra, M Taher Hanubun.

Hanubun dilaporkan ke Polda Ma­luku, karena diduga melakukan pele­cehan seksual terhadap wanita 21 tahun berinisial SA, karyawan Cafe Agnia, miliknya, yang terletak di kawa­san Air Salobar, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.

Kabid Humas Polda Maluku, Kom­bes M Rum Ohoirat mengatakan, pihaknya meminta agar saksi-saksi yang dipanggil koo­peratif.

Hal ini kata Kabid, tiga karyawan Cafe Agnia tempat sebelumnya pelapor bekerja, telah dipanggil namun tidak memenuhi panggilan penyidik.

“Sudah dilakukan klarifikasi terha­dap salah satu saksi yaitu kakak pela­por pada hari Jumat kemarin. Namun 3 saksi yang adalah karyawan Cafe Agnia tempat pelapor sebelumnya bekerja sudah diundang 2 kali yaitu, untuk hari Selasa dan Jumat kemarin, namun me­reka tidak hadir. Terkait ketidak hadiran tersebut, penyidik akan mengambil langkah-langkah lain,” ungkap Ka­bid dalam rilisnya kepada Siwalima, Senin (10/9) malam.

Baca Juga: Pemilik 25 paket Narkoba Divonis 6 Tahun Penjara

Kabid mengingatkqn semua pihak, baik yang diduga mengetahui kasus ini maupun pihak keluarga untuk kooperatif dan membantu proses penuntasan kasus ini.

“Kami ingatkan bahwa di dalam ketentuan pasal 19 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, disebutkan bah­wa setiap orang yang dengan se­ngaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyelidikan, penun­tutan, dan atau pemeriksaan di si­dang pengadilan terhadap tersang­ka, terdakwa atau saksi dalam per­kara Tindak Pidana Kekerasan Sek­sual, dipidana dengan pidana pen­jara paling lama 5 (lima) tahun,” tegasnya.

Kata Kabid, Kapolda Maluku, Irjen Lotharia Latif telah memerin­tahkan Dirkrimum dan penyidik untuk menanggani kasus ini secara profesional, termasuk mengambil langkah-langkah tegas.

“Bapak Kapolda sudah memerin­tahkan kepada Dirkrimum dan pe­nyidik untuk menangani secara pro­fesional terhadap kasus tersebut, termasuk mengambil langkah tegas kepada semua pihak yang berusaha untuk menghalangi kasus ini,” tegasnya.

Kabid membenarkan, pelapor me­ngajukan surat pencabutan laporan kasus tersebut, namun penyidik akan tetap melakukan proses.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU No 12 Tahun 2022 bah­wa, perkara  tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan pe­nyelesaian diluar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.

“Benar pelapor ada mengajukan surat pencabutan laporan kasus tersebut, namun penyidik akan tetap melakukan proses karena didalam ketentuan pasal 23 UU RI Nomor 12 tahun 2022 bahwa perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian diluar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam UU,” cetusnya.

Janji Kapolda

Sebelumnya, Kapolda Maluku Irjen Pol Lotharia Latif telah memerintahkan penyidik untuk menangani kasus tersebut secara profesional.

Semua proses penanganan dilakukan secara transparan dengan melibatkan instansi terkait, baik psikolog dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (TP2TPA) sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Kapolda juga meminta, jangan ada pihak yang coba-coba mengintervensi pihaknya dalam penyelidikan kasus ini.

Orang nomor satu di Polda Maluku ini bahkan mengingatkan siapapun yang mengancam atau menekan pelapor.

“Kami juga mengingatkan kepada siapa pun untuk jangan coba-coba mengancam atau menekan pelapor, atau coba-coba intervensi kasus yang sedang ditangani ini. Bahkan siapa pun yang akan menghambat proses ini kami tidak segan-segan untuk menindaknya,” tegas Kapolda di Ambon, Rabu (6/9) lalu.

Dukungan Perempuan

Gerakan Bersama Perempuan Maluku (GBPM), mendatangi Polda Maluku untuk memberi dukungan kepada polisi guna mengusut kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh Bupati Hanubun.

Aktivis  perempuan, Lusi Lusi Peilouw, bersama Insany Syahbarwati kepada Siwalima, Kamis (7/9) mengatakan, GBPM memberi dukungan kepada pihak kepolisian, agar mengabaikan upaya pencabutan laporan kekerasan seksual tersebut.

“Hari ini kami memasukan surat pernyataan sikap yang langsung diterima Ditkrimum Andri Iskandar. Kami menilai korban berada pada posisi lemah karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara dirinya yang adalah karyawan dan terduga pelaku sebagai boss.

Sehingga korban tidak memiliki kekuatan dan perlawanan  saat peristiwa tersebut terjadi,” ujarnya.

Akibat dari semua peristiwa itu, lanjut dia, korban mengalami gangguanp sikologi berupa trauma dan depresi. Dari sisi terduga pelaku, jabatan publik sebagai seorang kepala daerah dengan kekuatan kekuasaan dan uang, berpotensi sangat besar untuk menghambat proses hukum, membungkam suara korban dan saksi.

Karena itu, GBPM menyatakan dukungan dengan beberapa poin yang diterima  Direktur Reserse Kriminal Umum, Kombes Andri Iskandar yaitu pertama, mengapresiasi dan menaruh harapan sepenuhnya pada profesionalitas Polda Maluku dalam penanganan kasus ini hingga tuntas.

Kedua, kami akan terus mendukung aparat penegak hukum untuk teguh menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalitas, tidak akan lemah dan lengah memberikan keadilan yang menjadi hak korban.

Ketiga, mengingatkan Polda Maluku tentang salah satu mandat UU Nomor 12 tahun 2022, yakni tidak membenarkan penerapan restorative justice pada kasus kekerasan seksual, karena ini sama halnya dengan membunuh jiwa Korban

Keempat, kami mendorong kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI untuk mengintervensi kasus ini sesuai kewenangannya, mengingat ancaman terror sudah menerpa korban, keluarga korban dan pihak-pihak peduli pada penegakan hukum terhadap terduga pelaku.

“Kami mendesak Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan jajaran sebagai representasi negara hadir memberikan perlindungan pada korban dan saksi, pemulihan korban secara komprehensif dan memastikan reintegrasi sosial,” ujarnya.

Lebih lanjut kata dia, terkait isu pencabutan laporan pihaknya akan mempertanyakan sikap pihak kepolisian yang menangani perkara dimaksud.

“Kalau seandainya keluaraga korban berupaya untuk mencabut laporan dan menghentikan proses hukum kasus tersebut, maka kami akan pertanyakan komitmen Polda Maluku karena merujuk pada UU kekerasan seksual Nomor 12 Tahun 2022 dimana salah satu mandatnya adalah tidak membenarkan adanya restorative justice,” tuturnya.

Kata dia, pasal ini adalah pasal perjuangan para aktivis soal kekerasan terhadap perempuan. Dan ini lexspesialis sehingga dalam KUHP tidak ada percobaan pencabutan laporan yang akan dilakukan, meski masih bersifat informasi maka Polda harus menerapkan norma dan aturan hukum yang berlaku.

Ditanya soal indikasi pencabutan laporan dirinya menjelaskan bisa saja ada indikasi indikasi intimasi korban dan keluarganya.

“Pengalaman kami ada beberapa intimidasi terhadap korban dan hal yang sama juga kemungkinan demikian terjadi pada kasus ini, dikarenakan kekuatan jabatan, uang dan sebagainya dan ini adalah tindakan melemahkan hukum apalagi seorang bupati yang punya kuasa,” katanya.

Untuk diketahui, Bupati Hanubun dilaporkan 1 September 2023, atas dugaan kekerasan seksual terhadap perempuan berinisial TA (21).

Korban menyampaikan laporan ke SPKT Polda Maluku, Jumat (1/9), dengan nomor laporan TBL/230/IX/2023/MALUKU/SPKT.  disebutkan, peristiwa yang menimpa TA terjadi di kafe milik istri  bupati tersebut di Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon pada April 2023 sekitar pukul 15.00 WIT.

Saat itu korban dipanggil dan diminta untuk memijat terduga pelaku di kamar yang terletak di lantai tiga, yang berlanjut pada tindakan pelecehan seksual. Setelah itu, terjadi lagi tindakan yang lebih dari pelecehan pada Juli 2023.

Perbuatan  yang sama berupaya dilakukan pada  Agustus 2023 namun korban berhasil melarikan diri. Hal ini kemudian berujung pada pemecatan dirinya.

Sejak kasus ini bergulir hingga saat ini Hanubun belum bisa dikonfirmasi. Siwalima sudah berulang kali coba menghubunginya melalui pesan tertulis WhatsApp dan sambungan telepon, namun belum memperoleh balasan hingga berita ini naik cetak. (S-10)