Pelaksana tugas Direktur RSUD Haulussy, Adonia Rerung berjanji akan membenahi RSUD Haulussy menjadi lebih baik.

Rumah sakit berplat merah itu menjadi bermasalah pasca dipimpin oleh Nazaruddin sebagai direktur.

Ratusan tenaga kesehatan baik pegawai hingga dokter melakukan aksi demonstrasi menuntut jasa pelayanan nakes sejak 2020-2023 senilai Rp26 miliar tak kunjung dibayar pihak rumah sakit.

Nilai tersebut merupakan kewajiban yang harus dibayarkan rumah sakit kepada 600 pegawai RS Haulussy yang terdiri dari jasa layanan BPJS, medical check up dan dana Covid-19.

Akibat sudah empat tahun hak-hak belum dibayarkan, ratusan nakes ini melakukan aksi mogok kerja sehingga resmi ruang pelayanan intalasi gawat darurat pada RS Haulussy sempat ditutup.

Baca Juga: Tunggu Langkah Kejati di Kasus BP2P

Mirisnya lagi, RSUD Haulussy milik masyarakat Maluku ini mengalami kekosongan obat-obat diantaranya, epinefrin inj, Tab KSR, tab Bicnat, tab gabapentin 100 mg, tab sifrol 0,375 mg, tab buscopan, tab clopidogrel, tab dulcolac, Novorapid flexpen, norepinefrin inj, combivent, heparin, carbamazepine, THP, clobazam, petidin, midazolam.

Kekurangan obat ini membuat DPRD Maluku melalui Komisi IV meminta, Plt Direktur RSUD Haulussy, Adonia Rerung menyelesaikan hutang obat.

Pasalnya, pergantian Direktur RSUD Haulussy bukan hanya sekedar mengganti yang lama tetapi semua pola dan manajemen harus menjadi perhatian.

Sebagai rumah sakit milik pemerintah daerah, maka semua persoalan yang selama ini terjadi di RSUD Haulussy harus diperbaiki.

Hutang obat RSUD Haulussy itu harus diselesaikan, agar pihak ketiga kembali mensuplai kebutuhan obat-obatan guna menunjang pelayanan.

Harus diakui, penyelesaian hutang obat tidak semua membalik telapak tangan tetapi harus ada upaya perbaikan. Sepanjang hutang obat tidak diselesaikan, maka pihak ketiga juga berkeberatan untuk mensuplai obat ke rumah sakit.

Disisi yang lain kebijakan pemasanan obat yang tidak menggunakan e-katalog harus diubah, hal ini yang membuat rumah sakit berplat merah ini tidak sanggup membayar sehingga menyebabkan terjadinya hutang.

Padahal selama ini manajemen RSUD dalam membeli obat biasanya menggunakan sistem e-katalog, dimana harga obat yang ditetapkan rendah sehingga tidak memberatkan rumah sakit.

Sebagai rumah sakit pemerintah yang melayani BPJS, mestinya seluruh obat diambil dengan e-katalog sesuai arahan pemerintah yang harganya dibawah jika dibandingkan dengan pihak ketiga.

Kita berharap, Plt Direktur RSUD Haulussy Adonia Rerung secepat mungkin dapat menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di RSUD Haulussy ini sehingga proses pelayanan kesehatan bisa berjalan dengan baik.

Selain masalah hutang obat, manajemen juga bisa dibenahi secara baik, sehingga tata kelola didalam rumah sakit berjalan maksimal. Hak-hak nakes dan pegawai yang belum diselesaikan harus menjadi perhatian serius.

Kita berharap RSUD Haulussy dibawah pimpinan Adonia Rerung sebagai Plt Direktur mampu membawa rumah sakit ini kearah lebih baik, dan menjadi pusat rujukan bagi rumah sakit lainnya. Semoga.(*)