Drama persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan lahan untuk pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mesin dan Gas (PLTMG) di Dusun Jikubesar Desa Sawa Kecamatan Namlea Kabupaten Buru tahun 2016 berakhir dengan putusan bebas murni (vrijspraak).

Hakim menjatuhkan putusan itu pada Jumat (6/8), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ambon. Dalam putusan tersebut hakim mengatakan tuduhan jaksa penuntut umum Kejati Maluku kepada terdakwa Fery Tanaya  tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Setidaknya, dalam kasus ini, Fery Tanaya unggul 1:0 atas Kejati Maluku. Sebelumnya pada bulan Juni 2020  pengusaha asal Pulau Buru itu ditetapkan tersangka dengan tuduhan dugaan mark up anggaran pembelian lahan untuk pembangunan proyek PLTMG di Namlea.

Pada  31 Agustus 2020 dia ditahan. Menolak penetapan dan penaha­nan tersebut, Tanaya melalui tim kuasa hukumnya kala itu, Hendri Lusikooy dan Herman Koedoeboen mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Ambon pada 10 September 2020.

Langkah praperadilan Tanaya berhasil. Hakim tunggal Rahmat Selang pada 24 September 2020 membatalkan surat perintah penyidikan (Sprindik) Kejati Maluku nomor Print-01/S.1/FD.1/04/2019 tertanggal 30 April 2019. Sehari setelah putusan tersebut, Kejati Maluku kemudian menerbitkan lagi Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru pada 25 September 2020, sekaligus melayangkan Surat Pemberi­tahuan Penyidikan (SPDP) kepada Tanaya.

Baca Juga: Pertanyakan Tutupnya Kasus Dugaan Gratifikasi

Untuk membuktikan tindak pidana korupsi yang dilakukan Tanaya, Kejati Maluku meminta ulang, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Maluku melakukan audit kerugian negara.  Audit yang pertama dengan tuduhan mark up pada 17 Maret 2020 Rp 6 miliar, dan hasil audit kedua dikeluarkan BPKP pada bulan Desember 2020 juga kerugian negara  yang sama Rp 6 miliar, tapi kali ini tuduhan bukan lagi mark up, melainkan tanah yang diklaim Tanaya milik negara.

Kejati kemudian melakukan gelar perkara dan ekspos setelah memenuhi cukup bukti yang kuat, alhasilnya Tanaya kembali ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Januari 2020 dengan tuduhan menjual tanah negara kepada PLN.

Selain Tanaya, tim penyidik Kejati Maluku juga menetapkan kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Buru, Abdul Gafur Laitupa sebagai tersangka. Kejati menerbitkan surat penetapan tersangka dengan nomor B-212/Q.1/Fd.2/01/2021 kepada Feri Tanaya dan nomor  B-213/Q.1/Fd.2/01/2021 kepada Abdul Gafur Laitupa.

Fery Tanaya tidak terima dituduh jual tanah negara kepada PLN. Ia lalu kembali melayangkan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Ambon. Kali ini Fery menyerah, sebab hakim akhirnya menolak permohonan Fery.

Alhasil, perkara pokok dugaan korupsi anggaran pembangunan proyek PLTMG di Namlea itu tetap bergulir di Pengadilan Tipikor Ambon dengan tuduhan Fery menjual tanah negara.

Fery Tanaya akhirnya bernafas lega sebab hakim menjatuhkan vonis bebaas murni kepadanya. Meskipun belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, sebab dalam kasus ini Kejati Maluku melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Untuk diketahui, lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa itu adalah milik Ferry, dan dibeli oleh PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Kejati Maluku mengklaim tanah tersebut tanah negara. Padahal tidak hanya lahan Fery yang dibeli PLN, melainkan lahan milik warga lainnya juga di Dusun Jikubesar yang berdekatan langsung dengan lahan Fery tidak masuk kategori lahan milik negara. Anehnya, Kejati  hanya menetapkan Fery Tanaya selaku pemilik lahan sebagai tersangka.

Sesungguhnya ini penegakan hukum yang langka. Ada dugaan diskriminasi yang  dilakukan Kejati Maluku. Lucunya Fery punya tanah hak kepemilikan dikantongi. Jaksa mengklaim itu tanah negara. Mirisnya kalau tanah tersebut bermasalah, seharusnya demi keadilan jaksa dalam hal ini Kejati Maluku harus menyeret pihak PLN juga sebagai tersangka, sebab PLN yang membeli dari Fery,

Semoga kedepannya Kejati Maluku tidak lagi mengulangi perbuatan yang sama kepada rakyat. Mungkin saja kebetulan Fery Tanaya pengusaha besar dan jaksa mengabaikan rakyat atau warga lain yang tanahnya juga ikut dibeli PLN. (**)