SETAHUN nakhoda perikanan di bawah Edhy Prabowo, yang kemudian berakhir karena kasus lobster, hingga sampai saat ini ada pengganti yang baru Wahyu Trenggono, sektor perikanan belum memperlihat desain tata kelola yang prospektif dan futuristis walaupun dianggap membawa angin segar dengan banyaknya perubahan kebijakan dari periode sebelumnya. Hal yang diperlukan bukanlah sebuah antitesis dari platform pembangunan perikanan masa lalu, melainkan sebuah transformasi yang diharapkan mampu menciptakan sebuah sistem usaha perikanan yang berkontribusi pada ekonomi nasional. Walaupun dalam RPJM 2020-2024 sudah dijelaskan platform dasar pembangunan dan indikator pencapaiannya, yang masih terlihat sampai saat ini paradigma pembangunan perikanan masih ‘bisnis as usual/BAU’ yang bersifat cost centre dari revenue centre. Belum terlihat sebuah mekanisme integrasi hulu-hilir dalam pencapaian target pembangunan.

Berdasarkan paparan pada rapat koordinasi program Maritim-Kemenko Marvest 27 oktober lalu terlihat kinerja perikanan dan kelautan masih sangat rendah. Target penangkapan untuk produksi 2020 diproyeksikan sebesar 7,7 juta dengan pendapatan nelayan Rp3,9 juta per bulan belum tergambar dengan baik. Begitu juga target produksi budi daya mencapai 7,45 juta ton per tahun, dengan pendapatan Rp3,45 juta per bulan, serta pencapaian investasi yang baru mencapai 4,59 triliun (angka sementara) dan target konsumsi ikan sebesar 56,39 kg per kapita belum terukur. Secara makro, dapat dimaklumi pencapaian pertumbuhan 2,1 pada kuartil ketiga (sektor pertanian termasuk perikanan) kuartil 3 (Q3) dan mencapai 1,06% pada kuartil keempat (Q4) 2020 yang menunjukan sebuah daya tahan sektor yang sangat baik. Namun, peluang ini seharusnya ditangkap Kementerian Perikanan dan Kelautan secara baik. Tandanya ialah belum terlihat sebuah grand design pencapaian tujuan pembangunan perikanan yang ditarget 12T untuk tangkap.

Outlook 2021 Menuju 2021-2024 penulis melihat beberapa hal yang perlu dijadikan sebagai landasan bekerja pencapaian kinerja pembangunan perikanan yaitu, pertama, operasionalisasi pembangunan berbasis wilayah pengelolaan perikanan. Kedua, perbaikan sistem pendataan dan perikanan baik penangkapan, budi daya, maupun bahan baku pengolahan. Ketiga, mekanisme penciptaan lapangan kerja yang menjadi target UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam perikanan dan kelautan. Pertama, Kementerian Kelautan dan Perikanan harus memahami konsep pembangunan ekonomi perikanan berbasis wilayah pengelolaan perikanan (WPP Based Economy).

Konsep pembangunan perikanan berbasis WPP akan mendorong sebuah sistem perikanan presisi, mulai presisi ruang produksi, budi daya, penangkapan, bahan baku, sampai kontribusi ekonomi. Jika diperhatikan, skenario pertumbuhan ekonomi dalam RPJM 2020-2024 termasuk perikanan sebesar 5,7 pada 2021, 6,0 pada 2022, 6,3 pada 2023, dan dan 6,5 pada 2024, maka dengan menjadikan WPP sebagai basis akan mudah menyiapkan proses pencapainya. Secara sederhana untuk penangkapan, jika alokasi stok setiap WPP menjadi batasan pencapaian pertumbuhan, kontribusi tiap-tiap WPP bisa dilacak. Berdasarkan hitungan penulis, kontribusi WPP 571 sebesar 2,12%, WPP 572 sebesar 6,20%, dan WPP 573 sebesar 6,33%. Kemudian, WPP 711 sebesar 3,83%, WPP 712 sebesar 6,70, WPP 713 sebesar 5,88%, WPP 714 sebesar 3,94, WPP 715 sebesar 6,21%, WPP 716 sebesar 2,98, WPP 717 sebesar 5,27%, serta WPP 718 sebesar 13,18%. Dengan alokasi kuota stok pada MSY yang jadikan ukuran, penguatan pembangunan pendukung dapat diarahkan pada WPP yang berkontribusi besar dalam ekonomi nasional. Proses ini juga sekaligus untuk budi daya perikanan dan penyediaan bahan baku industri pengolahan ikan. Untuk memastikan bahwa kinerja pembangunan perikanan terukur dengan baik mulai stok ataupun ruang, WPP Based Economy menjadi platform yang tidak bisa ditunda operasionalisasinya. Praktik operasionalisasi kelembagaan WPP perlu dipersiapkan dengan baik, bahwa mekanisme pengelolaan perikanan berbasis WPP bukan ansich soal LPP (lembaga pengelola perikanan), melainkan pada keterlibatan multipihak karena yang dibutuhkan sebenarnya ialah sebuah mekanisme bersama dalam merancang mekanisme investasi antarpihak dalam WPP tersebut. Keterlambatan operasionalisasi WPP bukan soal ada tidaknya LPP, melainkan grand design hulu-hilir serta partisipasi pemangku kepentingan.

Bagian kedua menuju 2021 yang perlu dipersiapkan ialah sistem pendataan yang dapat diandalkan dan presisi. Praktik perikanan presisi adalah perikanan yang mampu mengukur stok, mengukur input teknologi, mencapat produksi untuk bahan baku, serta merancang tenaga kerja bidang usahah perikanan. Selain itu, juga mampu mengukur alokasi ruang untuk budi daya di laut (mariculture), serta daratan (brackish water aquaculture) seperti udang. Dengan sistem pendapataan yang baik dan real time, manajemen perikanan akan dapat dilakukan dengan presisi, serta pencapaian target ekonomi dapat diprediksi secara baik secara real time. Memperhatikan hal tersebut, mekanisme one data harus dievaluasi kembali karena banyak proses yang tidak mampu menunjang mekanisme pendataan yang real time. Bagian ketiga yang tidak boleh dilupakan ialah mekanisme penciptaan lapangan kerja sesuai dengan amanat UU No 11 tentang Cipta Kerja. Walaupun yang dilhat banyak soal kewenangan, izin dan mekanisme berusaha, yang paling penting ialah proses menciptakan lapangan kerja perikanan tersebut baik tangkap budi daya maupun pengolahan.

Penulis melihat dengan 2 segmen usaha perikanan yang tradisional dan industri, seharsnya proses penciptaan lapangan kerja dirancang menurut kedua proses ini. Penciptaan lapangan pekerjaan bukan soal ada atau tidaknya investor yang mau berinvestasi, melainkan lebih pada pengakuan atas profesi nelayan, pembudi daya ikan tradisional sebagai lapangan kerja. Dengan komposisi nelayan tradisional dan pembudi daya yang sangat besar, mekanisme cipta kerja bukan mendorong mereka menjadi dikelola industri besar atau koorporasi, melainkan memastikan nelayan memiliki kecintaan terhadap profesinya, yang diakui dan diterima sebagai sebuah lapangan kerja.

Dalam memperkuat semangat Hari Perikanan Dunia 21 November lalu, maka 2021 grand design perikanan yang maju dan presisi, harus dengan memperhatikan ketiga hal di atas. Jika tidak, perikanan akan terus terjebak pada sebuah sektor pembangunan yang lebih banyak pada cost centre dan bukan revenue centre. Akibatnya, program pembangunan hanya akan terfokus pada paket-paket pembangunan yang bersifat bisnis as usual, pencapaian target per dirjen, tanpa ada lompatan yang berarti dalam menyambut sektor ini sebagai penghela ekonomi nasional. Kita berharap tuah sakti Pak Trenggono mampu membawa perubahan yang membumi dalam memajukan perikanan dan kelautan.( Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB))