AMBON, Siwalimanews – Mantan Sekretaris DPD PDIP Maluku, Bitsael Silvester Temmar mengatakan pernyataan soal diksi tedong sesungguhnya sangat bermakna evaluatif kepada PDIP Maluku.

“Why?mengapa saya katakan demikian, harusnya elit dan kader PDIP Maluku memeragakan kepada masyarakat luas di Maluku karakter atau sifat-sifat utama partai ini sebagaimana tercermin dalam metafor sekaligus lambang, PDIP yakni “banteng kekar”. ungkap Temmar dalam rilisnya kepada Siwalima, pekan kemarin.

Kata Temmar, faktanya berbanding terbalik. Karakter kejujuran dan keberanian sebagaimana disimbolkan dengan “mulut putih” dan seterusnya, malah tidak nampak dalam laku elit dan petugas partai ini.

Selain itu, ketidakmampuan mereka sebagai partai pemenang pemilu dalam menegakkan prinsip check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan baik di provinsi atau kabupaten/kota. Belum lagi kebijakan-kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang mengeja keadilan distributif atau yang bersifat empowering.

“Bias peran ini sebenarnya yang mendorong saya menggunakan diksi metaforik tedong. Diksi ini tidak bermakna merendahkan atau semacamnya. Justru diksi ini karena bersifat evaluatif, seyogianya memaksa elit dan para kader untuk menemukenali prima cause dibalik ketidakberdayaan mengoptimalkan fungsi-fungsi strategik partai ini,” ujar mantan Bupati MTB ini.

Kata Temmar, harusnya metafor “tedong” vis a vis “banteng kekar” lambang resmi PDIP

Menurut Temmar, seyogianya diksi metaforik tedong diletakkan pada perspektif yang objektif, sehingga tidak mengalami apa yang bisa disebut sebagai distorsi semantik yang akhirnya direaksi secara emosional oleh kader partai ini.

Tetapi para praktisi politik di Maluku ini termasuk di PDI Perjuangan lebih memandang politik an sich sebagai art (seni) permainan belaka dari pada sebagai sciences (ilmu) sekaligus, diksi tedong akhirnya disalahartikan; seolah-olah dirinya bermaksudkan merendahkan atau meremehkan partai ini.

Sama juga dengan kritik kebijakan pemerintahan yang dilakukan seolah-olah dirinya sedang berhadap-hadapan dengan Gubernur Maluku. Padahal, justru kritik terhadap kebijakan gubernur adalah ekspresi kejujuran bahkan secara intrinsik adalah bagian dari dukungan kepada gubernur dalam rangka perbaikan kebijakan bagi perbaikan kinerja.

“Jadi memang sangat lucu sekali jika tidak memahami secara proporsional makna diksi metafor itu, tapi kemudian secara emosional merespons diksi itu seolah-olah ada tendensi merendahkan. Padahal tidak ada niat seperti itu,’ katanya sembari menambahkan, dirinya memaklumi kondisi demikian hanya saja dirinya menyayangkan

Karena terlalu terjebak dan terjerembab dalam patron client system yang sudah akut sekali, akibatnya di partai ini tidak akan pernah lahir politisi bernalar. Semua dikendalikan oleh sang patron yang terus dielu-elukan tanpa gagasan visioner apa pun. (S-19)