AMBON, Siwalimanews – Kejati Maluku tak mau menyerah. Kalah dalam sidang praperadilan, Korps Adhyaksa kembali menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) baru kasus dugaan korupsi pembe­lian lahan PLTG Namlea, Kabupaten Buru.

Dalam kasus yang diduga meru­gikan negara lebih dari Rp 6 miliar itu, Kejati Maluku menetapkan pe­ngusaha Ferry Tanaya dan mantan Kasi Pengadaan Tanah BPN Kabu­paten Buru,  Abdul Gafur  Laitupa sebagai tersangka.

Tanaya melakukan perlawanan hukum. Ia mengajukan prapera­dilan. Langkah yang dilakukan ber­hasil. Hakim Pengadilan Negeri Ambon, Rahmat Selang menga­bul­kan seluruh permohonannya.

Dalam sidang putusan, Kamis (24/9) hakim menyatakan peneta­pan Ferry Tanaya sebagai ter­sangka oleh Kejati Maluku dalam kasus pembelian lahan untuk pem­bangunan PLTG Namlea tidak sah. Begitu pula proses penyidi­kannya.

Hakim juga menetapkan, mem­be­baskan Ferry Tanaya dari taha­nan dan mengembalikan nama baiknya.

Baca Juga: Polresta Lampaui Target Penanganan Kasus Narkoba

Namun Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Maluku, M Rudi me­negaskan, sehari setelah putusan hakim, Sprindik baru langsung di­terbitkan. “Ya, sudah di terbitkan Sprindik­nya. Terbit, sehari setelah putusan,” kata Rudi, kepada Siwalima, Senin (28/9).

Selain Sprindik, surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) juga telah disampaikan ke Ferry Tanaya selaku terlapor.

Pemeriksaan saksi-saksi juga telah diagendakan, termasuk Ferry Tanaya. “Saksi-saksi juga sudah di­jadwalkan. SPDP sudah disam­paikan ke terlapor. Kita proses kembali,” tegas Rudi.

Sebelumnya, Ketua Tim Kuasa Hukum Ferry Tanaya, Herman Koe­doeboen menyebut pihak kejak­saan terlalu cepat bersikap tanpa membaca putusan  hakim prape­radilan Pengadilan Negeri Ambon

Hal ini dikatakannya merespons sikap jaksa yang akan kembali menyidik kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan PLTG di Namlea.

“Praperadilan ini untuk kontrol horizontal biasa. Tidak ada urusan kalah dan menang,” ujar Koedoe­boen, kepada wartawan di Ambon, Sabtu (26/9).

Koedoeboen mengatakan, per­kara praperadilan adalah meka­nisme hukum biasa. Ia enggan me­nggunakan paradigma me­nang dan kalah. Alasannya, penggunaan istilah tersebut akan melahirkan suatu kondisi psikologis emosio­nal. Serta tidak bagus untuk pe­negakan hukum.

“Dan kalau kita emosi mena­nggapi putusan semacam ini, itu akan melahirkan subjektifitas, dan kembali melahirkan subjektifitas baru,” katanya.

Dikatakan, dalam praperadilan yang ada permintaan pemohon di­kabulkan majelis hakim. Ia menye­but, prinsipnya suatu keputusan me­ngandung tiga sifat. Sifat ter­sebut adalah putusan deklarator, putusan konstitutif, dan putusan kondemnator. “Sehingga memak­nai suatu putusan harus betul-betul cermat,” jelasnya.

Ia menjelaskan, putusan dekla­rator adalah penetapan tentang sesuatu hak atau titel maupun status. Sedangkan, putusan konstitutif adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang ber­sifat meniadakan suatu keada­an hukum maupun yang menim­bulkan keadaan hukum baru.

“Penetapan status itu misalnya saya menyebutkan penetapan ter­sangka tidak sah. Tapi jangan lupa, putusan itu memastikan suatu keadaan hukum. Jadi kalau ada tang­gapan putusan ini kan administratif karena berkaitan dengan penetapan tersangka dan bukti yang tidak sah, jadi bisa diulang itu tidak bisa,” kata Koedoeboen.

Ia melanjutkan, hal itu bisa dili­hat dalam amar putuan majelis ha­kim. Dalam hakim memastikan status hukum dari tersangka adalah tidak sah.

“Jadi tidak bisa diubah, tidak mudah setiap putusan. Kalau mau lagi, silakan aja,” tandas Koedoe­boen.

Koedoeboen mengatakan, fakta hukum adalah buku sempurna. Dalam persidangan, jaksa menye­butkan tanah yang dijual Ferry Tanaya adalah aset negara, tetapi tidak didasarkan pada dokumen. Namun hanya berdasarkan pen­dapat ahli. Padahal, ahli tidak bisa berbicara tentang fakta, tapi tentang keahliannya terhadap suatu hal.

“Bagaimana dia bisa menggu­nakan itu untuk mengatakan ini bu­kan milik Tanaya? Makanya dalam sidang, saya tanyakan dokumen apa yang digunakan, dan apa ada buku aset? Kalau tidak ada ba­gaimana anda bisa mengatakan itu milik negara,” katanya.

Karena itu, wajar hakim prapera­dilan mempertimbangkan bahwa terdapat pertentangan sikap antara tugas preventif dan prepersif.

“Nilai hukum ini tetap mengikuti. Jadi kita harus membedakan putusan-putusan dengan sikap semacam ini. Kalaupun terus-menerus diperdebatkan di publik, saya juga akan terus suarakan. Tapi saya tidak mau emosi,” ujar Koedoeboen. (Cr-1)