AMBON, Siwalimanews – Andi Wuluanfianti Rahawa­rin, mahasiswa Unpatti yang merupakan korban penyeka­pan dan penganiayaan, resmi melaporkan dosen FISIP Un­patti, Olivia Rumlus ke Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Senin (28/6) malam.

Ditemani ibunya, Rahawarin mendatangi SPKT Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease guna melaporkan sang dosen itu. “Semalam sudah di­terima laporannya di SPKT Pol­resta Ambon,” kata Kassubag Humas Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, Ipda Izack Leatemia kepada Siwalima Selasa (29/6).

Leatemia mengatakan, usai di­laporkan persoalan tersebut se­lanjutnya akan diserahkan ke ba­gian reskrim untuk ditindaklanjuti. “Baru dilaporkan semalam, nanti selanjutnya ke satuan reskrim, baru ada pemanggilan pemerik­saan terhadap korban maupun terlapor,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, bukan­nya menjadi contoh dan teladan se­bagai pendidik, perilaku tak ter­puji dilakukan staf pengajar pada FISIP Unpatti Olivia Rumlus. Warga Wainitu Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon ini tega menganiaya Andi Wu­luanfianti Rahawarin yang merupakan mahasiswi jurusan administrasi di universitas tempat ia mengajar.

Mirisnya, tak hanya menganiaya, tapi Rumlus dibantu anaknya Andre Rumlus dan beberapa keluarga nekad menyekap wanita 20 tahun tersebut di rumah salah satu ke­luarganya di Desa Passo Keca­matan Baguala kota Ambon.

Baca Juga: Dosen FISIP Unpatti Aniaya Mahasiswa Hingga Babak Belur

Informasi yang berhasil dihim­pun Siwalima dari korban, penga­niayaan dan penyekapan terjadi pada 24 Juni tengah malam hingga 25 Juni 2021 pagi.

Korban menjelaskan, peristiwa berawal dari anak gadis pelaku ber­inisial GR (16) mengajak ber­temu dengan korban di kawasan pasar minggu Transit Passo de­ngan tujuan ada yang ingin dibicarakan.

Mengiyakan pertemuan itu, korban yang adalah sahabat anak pelaku itu pergi menuju lokasi di­mak­sud. Sayangnya, sampai di sana korban tidak dapat menemui GR. Karena menunggu lama kor­ban akhirnya memilih kembali ke kosan temannya di kawasan Passo.

Dalam perjalanan balik ke kosan itulah, korban berpapasan dengan pelaku dan anaknya Andre. Kedua otak dibalik penyekapan dan pe­nganiayaan ini kemudian member­hentikan korban dan menanyakan  keberadaan GR.

Anak pelaku yakni Andre yang saat itu diduga tengah dikuasai minuman beralkohol menuduh korban  membawa lari adiknya GR. Andre juga sempat melakukan pemukulan terhadap korban.

“Saat diberhentikan kakak GR menuduh beta (saya) yang mem­bawa lari  GR, disitu beta dapa pukul (dipukul), beta sempat bilang kalau mau tahu GR di mana mari beta antar, setelah itu dong (me­reka) ikut beta ka pasar Minggu,” jelas korban kepada wartawan dengan dialeg Ambon yang kental Minggu (27/6).

Tiba di pasar minggu GR sudah berada di lokasi tersebut, melihat korban datang bersama kakak dan ibunya, GR sempat bersembunyi sambil menangis. Pelaku dan anak laki-lakinya kemudian menginti­mi­dasi serta memukul korban. Mere­ka terus menuduh korban sebagai biang GR jarang pulang ke rumah.

“Dong (mereka) tuduh beta (sa­ya) yang bawah kabur GR, padahal dia yang hubungi buat ketemu, se­telah dong pukul beta, dong bawa beta dan GR ke salah satu rumah di Pas­so untuk diinterogasi,” ung­kapnya.

Dikatakan, selama interogasi pe­laku dan anaknya Andre dibantu beberapa keluarga lain melakukan penganiayaan terhadap korban. Bahkan intimidasi dan penyiksaan terhadap korban berlangsung sekitar pukul 01.00 WIT hingga pukul 09.00 WIT.

“Dong bawa beta itu sekitar jam 1 malam, setiap dong tanya (inte­rogasi) dong pukul ada yang jam­bak rambut ada yang tampar. Beta sempat melawan, tapi dong banya, sampe jam 9 pagi baru dong kasi pulang beta,” jelasnya.

Akibat dari perlakuan tersebut, korban harus pulang dengan sejumlah memar dan luka di wajah dan lengan. Keluarga korban yang mengetahui tidak terima dengan apa yang dialami korban.

Usai korban pulang ke rumah, ibu korban Hapsa Rahawarin me­ng­ambil inisiatif untuk melaporkan kasus tersebut di Polsek Baguala. Namun bukannya mendapat per­lin­dungan hukum laporan ibu kor­ban tidak ditanggapi serius. Polisi justru mengarahkan korban dan ibunya menyelesaikan persoalan tersebut secara kekeluargaan.

“Setelah kejadian beta anak masih trauma, setelah dia kondisi mulai stabil malamnya katong (kita) lapor ke Polsek Baguala. Polisi tidak arahkan katong untuk visum, tapi arahkan untuk selesai­kan secara kekeluargaan. Kalau­pun mau secara kekeluarga polisi juga seng mampu hadirkan para pelaku, intinya beta seng mau dan mau prosesnya jalan,” tukasnya.

Hapsa mengatakan pihaknya akan kembali menempuh jalur hu­kum lain dengan melapor Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease.

“Beta mau kepastian hukum, hari Senin besok (hari ini Red) beta akan lapor ke Polresta Ambon,” tegasnya.

Sementara Kapolsek Baguala AKP Morlan Hutuhean yang dikon­firmasi terkait kasus tersebut, me­ngaku sudah mengecek ke SPK, namun tidak ada laporan dimak­sud. Dirinya mengatakan sudah memberikan arahan kepada ang­gota untuk merespon seluruh laporan masyarakat. “Saya sudah cek SPK 1 dan 2 tidak ada laporan tersebut, saya sementara cek SPK 3.  Sesuai arahan saya seluruh la­poran masyarakat harus direspon piket, dan sampai saat ini belum ada komplain masyarakat ke saya,” ujar Kapolsek.

Ditanya soal arahan untuk pe­nyelesaian secara kekeluargaan, Kapolsek mengaku mediasi selu­ruhnya tergantung korban, namun tidak menjadi tugas pokok polisi sebagai juru mediasi.

“Tidak pernah polisi pak jadi juru mediasi, semua dari korban. Kalau korban mintanya demikian polisi tidak bisa mengharuskan supaya buat laporannya,”jelas Kapolsek berdalih. (S-45)