PUBLIK telah menyadari bahwa pendidikan vokasi sejak beberapa tahun lalu mengalami krisis karena banyak lulusannya tidak memperoleh pekerjaan yang diharapkan di Industri dan Dunia Kerja (Iduka), bahkan banyak pula yang sama sekali menganggur. Data Sakernas tahun 2019 menunjukkan 8,63% (1.731.743 orang) dari total jumlah penganggur berdasarkan latar belakang pendidikan adalah lulusan SMK. Ini adalah angka tertinggi bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya. Persoalan ini merupakan dampak dari sejumlah masalah yang berkelanjutan dalam dunia pendidikan vokasi. Antara lain adalah kompetensi siswa dan pendidik, kurikulum dan metodologi ajar yang kurang tepat, atau laboratorium serta sarana dan prasarana yang tertinggal jauh dari kemajuan teknologi yang sangat pesat.

Ihwal tersebut jamak ditemui di institusi-institusi pendidikan vokasi. Bahkan institusi pendidikan vokasi negeri yang ditopang oleh negara pun tidak luput dari permasalahan pendanaan, yang utamanya dibutuhkan untuk memperta­hankan mutu pendidikan. Kendala-kendala tersebut, salah satunya, bermuara pada rendahnya otonomi lembaga pendidikan vokasi (SMK dan Politeknik) dalam menjalin kerja sama dengan industri dan masyarakat, yang umumnya melibatkan urusan keuangan . Otonomi dalam bekerjasama dengan Iduka merupakan kunci bagi peningkatan kompetensi siswa/mahasiswa, yang akan menjadikan mereka relevan dengan tuntutan pasar kerja. Tidak hanya itu, kerja sama dengan para pihak di luar lingkungan pendidikan sejatinya akan membantu mendorong produksi serta komersialisasi barang dan jasa oleh para pembelajar muda, dan inilah yang merupakan penyelaras dan penyemangat pendidikan vokasi.

‘Pernikahan’ Dunia Pendidikan Vokasi dengan Iduka

Pengecualian tampak pada SMK dan Politeknik yang memiliki kolaborasi erat dengan perusahaan-perusahaan di Iduka. Tidak hanya lulusan mereka lebih cepat diserap di pasar kerja, siswa/mahasiswanya juga menikmati kegiatan belajar-mengajar yang memadai, didukung fasilitas, sarana-prasarana, kurikulum dan tenaga pengajar yang ‘kekinian’. Dukungan dari pihak swasta ini otomatis menebarkan kompetensi kerja kepada peserta didik, sesuai kebutuhan perusahaan sponsor. Terdapat sejumlah SMK di bawah naungan Kementerian Perindustrian dan sejumlah SMK yang diselenggarakan oleh yayasan swasta, yang tampak menikmati manfaat-manfaat tadi dengan optimal. Ini merupakan contoh nyata sebuah simbiosis mutualisme yang perlu terjadi antara kedua sektor tersebut.

Seiring kenyataan bahwa kolaborasi antara pendidikan dan Iduka adalah suatu keniscayaan, maka Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Diksi) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat program untuk ‘menikahkan’ pendidikan vokasi dengan sektor Iduka. Tentu saja tujuannya adalah untuk meningkatkan relevansi kompetensi peserta didik, serta untuk mendorong keberterimaan mereka di pasar kerja secara lebih cepat dan lebih tepat. ‘Pernikahan’ ini juga bisa digunakan sebagai kesempatan untuk melakukan reformasi terhadap sejumlah hal dalam pendidikan vokasi, antara lain: kurikulum yang dibuat bersama-sama antara SMK/Politeknik dan Iduka, berjalannya program magang industri berbasis proyek (PBL), hadirnya perwakilan industri sebagai pengajar atau dosen di kelas, terselenggaranya sertifikasi kompetensi bagi lulusan sesuai standar Iduka, tersedianya berbagai program beasiswa yang didanai oleh sponsor swasta, mengalirnya bantuan peralatan belajar dan praktik, tergagasnya riset bersama, dan seterusnya.

Baca Juga: Vox Point: Peristiwa Sigi Mengganggu Keutuhan NKRI

‘Pernikahan’ yang mesra dan ideal seperti di atas hanya bisa berhasil bila tercipta saling pengertian dan kerja sama yang baik di antara kedua belah pihak. Mari kita ambil satu contoh saja, yaitu program magang mahasiswa di sektor Iduka. Mengingat jumlah siswa SMK dan mahasiswa Politeknik sangat besar sehingga mungkin melebihi kapasitas yang tersedia bagi penerimaan tenaga magang di perusahaan, maka kerap kali magang dilaksanakan secara berkelompok. Konsekuensinya adalah berkurangnya perhatian dan kualitas bimbingan pengasuh program magang kepada pesertanya. Adaptasi berjalan menjadi lebih lambat, kesempatan untuk menyerap ilmu pengetahuan dan keterampilan kerja di lingkungan yang aktual pun menjadi lebih rendah. Banyak terjadi mismatch antara bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan serta harapan siswa/mahasiswa, dengan tugas dan pekerjaan yang diberikan oleh pengasuh program magangnya. Mereka misalnya justru ditugaskan sebagai kurir pengantar surat, membantu melakukan fotokopi dokumen, membuatkan minuman dan membelikan makanan bagi staf, menunggu giliran untuk menggunakan alat kerja sehingga hanya bisa mengobservasi rekannya bekerja, dan masih banyak lagi.

Sangat ironis bahwa mismatch bahkan sudah terjadi sejak tahap magang. Di sisi lain, institusi SMK dan Politeknik perlu lebih aktif melakukan pivot dan inovasi agar bisa menawarkan SDM, produk dan jasa yang penuh daya tarik bagi Iduka. SMK dan Politeknik Negeri harus bisa memanfaatkan seluruh sumber­dayanya secara efektif dan efisien. Antara lain dengan meng­gabungkan program latihan di bengkel atau laboratorium, untuk membuat produk atau jasa yang dibutuhkan oleh Iduka dan masyarakat.

Potensi Semi Otonomi Keuangan bagi Pendidikan Vokasi

Kendala utama bagi tekad baik seperti di atas adalah peraturan Kementerian Keuangan yang tidak memberi wewenang kepada satuan kerja seperti SMK dan Politeknik Negeri untuk memperoleh pendapatan dari penjualan produk dan jasa. Hasil latihan praktik biasanya berakhir menumpuk di gudang dan menjadi sampah, padahal ada biaya pengadaan materi dan energi yang tinggi untuk menghasilkannya. Seandainya, SMK dan Politeknik diizinkan untuk menjual produk atau jasa dan diberi keleluasaan untuk memutar roda usahanya, maka latihan praktik bisa disesuaikan dengan produk dan jasa yang diinginkan Iduka atau yang dibutuhkan oleh masyarakat. Misalnya, latihan praktik mengelas bisa memenuhi kebutuhan masyarakat umum untuk pagar rumah, tralis, menara, dan sebagainya. Latihan praktik tata boga bisa langsung diarahkan untuk suplai roti, kue-kue kering, atau katering makanan hangat bagi pelanggan.

Semuanya tentu perlu didukung unit yang mengelola pemasaran atau kerjasama – layaknya simulasi bisnis dan wirausaha yang sebenarnya. Pendapatan dari penjualan produk dan jasa ini dapat dimanfaatkan untuk kembali membeli bahan, merawat atau menambah peralatan kerja, atau membayar sumber daya energi –dan bukan untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Jadi ini bisa diposisikan sebagai usaha nirlaba, di mana semua pendapatan dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan vokasi agar berjalan dengan lancar dan berkelanjutan. Memang tidak mudah untuk membentuk pasar dan mengikat pelanggan bagi produk dan jasa yang ditawarkan oleh SMK dan Politeknik, tetapi kepercayaan konsumen dapat dibangun dengan terus meningkatkan mutu, memformulasikan harga yang kompetitif, dan memastikan ketepatan waktu produksi sesuai yang dijanjikan (QCD).

Institusi SMK dan Politeknik tidak perlu menargetkan produksi dalam jumlah massal di tahap awal, tetapi bisa memulainya dengan langkah-langkah kecil yang aman. Sayangnya, segala kegiatan yang menyangkut keuangan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan vokasi milik pemerintah harus mendapat izin dari Kementerian Keuangan, karena semua operasionalisasinya menggunakan uang negara. Jika dihasilkan pendapatan dari kegiatan lembaga, maka meski dana tersebut tidak disetorkan kepada pemerintah, tetaplah wajib dilaporkan dan dipertang­gungjawabkan melalui audit secara berkala. Segala rencana pemanfaatan dana hasil keuntungan dari kegiatan lembaga oleh karenanya perlu diketahui oleh pemerintah.

Jika pendidikan vokasi Indonesia ingin lebih gesit dalam merespons perkembangan zaman, maka lembaga pendidikan vokasi negeri (milik pemerintah) perlu diberi status semi-otonomi dalam hal pengelolaan keuangannya. Modelnya serupa dengan status Badan Layanan Umum (BLU), namun persyaratannya bisa disesuaikan, tidak serta merta sama persis bebannya seperti yang dikenakan pada BLU di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Semua tunjangan yang sudah ada hendaknya jangan dianulir, dan alih-alih insentif tambahan dapat diberikan bagi lembaga yang menunjukkan kinerja tinggi. Status semi otonomi dalam hal keuangan di lembaga pendidikan vokasi ini dipercaya akan mendatangkan manfaat yang besar, karena akan menumbuhkan semangat inovasi dalam memperbaiki mutu pendidikan.

Lembaga yang berhasil dengan baik dapat diberi apresiasi berupa tambahan dana praktik yang diperlukan untuk perluasan produksi dan jasa, agar lebih saleable. Ini dapat diwujudkan mulanya dengan program piloting dengan menyertakan lembaga pendidikan vokasi yang mempunyai potensi, baik dari sisi SDM maupun sarana dan prasaranya. Penyusunan program ini perlu melibatkan Iduka agar produk dan jasa yang akan dihasilkan tepat sasaran, dan membuka kolaborasi yang berkelanjutan.

Pemerintah perlu meninjau lebih dalam inovasi yang dapat dilakukan untuk mengakselerasi kemajuan dunia pendidikan vokasi Indonesia. Sehingga para lulusannya dapat betul-betul berkontribusi pada pembangunan sektor Iduka dan ekonomi nasional pada umumnya.( M Iskandar Nataamijaya, Mantan Direktur Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Konsultan Ahli bagi Pengembangan Pendidikan Vokasi)