Kini bukan hanya politik uang yang diharamkan, kemeriahan dan kerumunan massa yang memicu penularan covid-19 juga mutlak diharamkan di pilkada. Protokol kesehatan ialah acuan utama yang pantang dilanggar agar pesta demokrasi itu tak malah menjadi bencana. Dunia dan Indonesia kini tengah bergumul melawan pandemi yang terus menelan korban.

Bangsa Indonesia kini tengah terancam karena tatanan sosial yang berubah di masyarakat akibat pandemi dengan berbagai prasangka dan stigma yang ditumbuhkan sebagai mekanisme survivalitas diri. Butuh kedisiplinan kolektif untuk menyelamatkan bangsa dari sengkarut tersebut, termasuk memaklumi bahwa segala euforia berbasis aksi-aksi kerumunan di pilkada kali ini tidak lagi menjadi tontonan di pilkada.

Rakyat tidak boleh bergerombol, arak-arakan dengan yel-yel histeria saat kampanye. Begitu juga para elite, termasuk calon kepala daerah harus menahan nafsu penggalangan elektoral untuk tidak memobilisasi massa di panggung- panggung kampanye.

Ini yang harus diperhatikan para calkada, ambil contoh kampanye pasangan calon Bupati Seram Bagian Timur Abdul Mukti Keliobas dan Calon Wakil Bupati Seram Bagian Timur Muhammad Idris Rumalutur, yang melibatkan ribuan massa di Lapangan Negeri Kataloka, Jumat (27/11), bisa menimbulkan bencana di kabupaten tersebut.

Covid-19 tidak hanya mendatangkan kehancuran pada kesehatan global, tetapi juga mengganggu tatanan demokrasi di seluruh dunia. Gangguan itu sudah pasti termasuk penyelenggaraan pesta demokrasi saat ini yang ‘menggunting’ cara-cara lazim yang sudah dilaksanakan sejak zaman demokrasi dipraktikkan 26 abad yang lalu.

Baca Juga: Janji Irjen Refdi Andri Tuntaskan Korupsi

Saat ini, tidak sedikit yang menggunakan istilah ‘pesta demokrasi’ sebagai dalih untuk membenarkan politik kerumunan sebagai sebuah keniscayaan berdemokrasi. Padahal, dalam kondisi darurat pandemi seperti saat ini, istilah tersebut tidak bisa lagi dimaknai limitatif. Ruang partisipasi dan kebebasan rakyat menyampaikan ekspresi dan pilihan secara fi sik yang jelas tidak dimungkinkan ketika dunia membutuhkan ‘jarak fisik’ untuk menyembuhkan dirinya dari wabah.

Perubahan perilaku politik yang empati pada situasi krisis (pandemi) menjadi sebuah kenormalan baru agar pranata berdemokrasi tetap kongruen dengan gerak peradaban manusia. Karenanya, alih-alih mengeliminasi hak partisipasi publik dalam pilkada, pelarangan kegiatan berkerumun oleh masyarakat sejatinya sebuah etika baru yang dibutuhkan untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dan peradaban dari pandemi.

Di masa kontestasi seperti sekarang, para elite, parpol, kepala daerah, dan calon kepala daerah sebagai sentrum perubahan dalam ekosistem politik berkewajiban moral memberikan teladan, taat terhadap aturan pencegahan pandemi. Paslon dan tim sukses harus menjamin bahwa protokol pencegahan covid-19 dalam pilkada tidak dikangkangi olehnya sehingga mengorbankan rakyat. Potensi pengerahan massa dari tiap paslon tentu akan makin besar menjelang kampanye dan pemungutan suara.

Moralitas paslon Sejujurnya, kursi kekuasaan kerap membuat politisi meng­halalkan segala. Kekuasaan seperti ‘binatang buas’ karena selalu tunduk pada dua posisi ekstrem yang bertentangan, yakni gandrung menguasai, tetapi tidak pernah siap untuk dikuasai. Termasuk dikuasai hukum dan aturan main yang ada.

Politik membutuhkan moral agar naluri politik tidak menciptakan ‘serigala bagi sesama’. Sebaliknya, moral ditegakkan melalui tindakan-tindakan politik, baik itu melalui aturan hukum, lembaga negara, maupun berbagai upaya di dalam membangun kesejahteraan umum Artinya, sikap politik dan kekuasaan terutama bagi para paslon yang sedang berkontestasi di pilkada harus mengabdi pada cita-cita moral, keselamatan bersama, bukan pada kekuasaan temporal.

Seorang pejabat mestinya menularkan kejernihan sikap dan spirit moral kepada rakyat di saat bangsa ini berjibaku melawan penyakit corona. Bagaimanapun pilkada di era pandemi ini menjadi ajang pemurnian moralitas calon pemimpin di hadapan rakyat. Paslon yang memancing kerumunan massa dalam kampanye, sejatinya tidak hanya harus dirundung, tetapi juga tidak boleh dipilih di pilkada 9 Desember nanti karena tidak memenuhi kualifikasi moral dan integritas. (*)