AMBON, Siwalimanews – Maraknya penggunaan bahan kimia seperti merkuri dan sianida pada pertambangan tanpa izin atau Peti di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru sangat berpengaruh pada sektor perikanan.

Padahal Maluku sudah dipersiapkan menjadi Lumbung Ikan Nasional (LIN) bersama dengan Maluku Utara. Bahkan pemerintah pusat mengelontorkan anggaran tidak sedikit yakni Rp1,5 triliun.

“Sejumlah negara mulai menolak impor tuna dari Indonesia dengan alasan konsentrasi merkuri pada ikan tuna Indonesia telah melampaui ambang batas,” kata Ahli Kimia Anorganik pada Fakultas MIPA Universitas Pattimura, Profesor Yusthinus Male, kepada wartawan, Rabu (7/12).

Untuk itu, dirinya mengingatkan Pemprov Maluku tidak menutup mata terhadap maraknya aktivitas Peti di Gunung Botak, Kabupaten Buru.

Male dikukuhkan dalam Rapat Terbuka Luar Biasa Senat Universitas Pattimura yang dipimpin Ketua Senat, Profesor Simon Nirahua, mengeluh lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menyebabkan Peti dengan menggunakan merkuri berdampak pada berbagai sektor salah satunya perikanan.

Baca Juga: Tertinggi di Indonesia, Inflasi Maluku Capai 1,13 Persen

“Negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak impor ikan dari Indonesia. Ikan yang dimaksud adalah tuna yang merupakan komoditi utama yang berasal dari perairan Maluku. Konsentrasi merkuri pada ikan-ikan di Maluku telah melampaui ambang batas yang ditetapkan,” tegas Male.

Atas dasar itu ia menghimbau kepada Pemprov Maluku dan kabupaten kota jangan menutup mata terhadap aktivitas Peti.

“Masifnya penggunaan bahan kimia sianida dan merkuri di Maluku disebabkan hasil riset membuktikan bahan baku sianida dan merkuri yakni sinabar yang terdapat di Desa Luhu, Seram Bagian Barat kandungannya sanga berkualitas di dunia,” jelasnya.

Lanjutnya pasokan bahan baku merkuri dan sianida terbesar didunia juga berasal dari Maluku. Karena itu jika kedepan tidak diantisipasi oleh pemerintah dalam hal pengawasan dan penegakan hukum, bukan tidak mungkin kasus Minamata di Jepang akan dialami masyarakat Maluku khusus di Pulau Buru.

“Belajar dari pengalaman kasus Minamata di Jepang. Dam­-paknya tidak sekarang, tetapi harus menunggu 10 sampai 20 tahun baru merasakannya. Jadi, kasihan anak-anak cucu kita yang akan merasakan dampak tersebut,” ungkapnya.

Pada orasi ilmiahnya, Male menyoroti tentang “Penataan Wilayah Pertambangan Rakyat untuk Meminimalisir Dampak Negatif Peti di Pulau Buru”.

“Tingginya minat pembeli merkuri dari Indonesia dikarenakan material sinabar dari Gunung Tembaga memiliki kandungan yang cukup tinggi. Padahal, material dari Gunung Tembaga akan terbawa aliran sungai sampai ke laut dan berpotensi mengkontaminasi ekosistem perairan.

Hasil analisa kadar merkuri pada sedimen perairan laut di pesisir Teluk Piru menunjukan kadar merkuri cukup tinggi. Ini tentu saja membutuhkan perha­tian lebih lanjut karena ekosistem Teluk Piru mirip dengan Teluk Kayeli di pulau Buru yakni kepadatan tumbuhan mangrove sehingga sangat berpotensi untuk terjadinya metabolism sinabar menjadi metal merkuri yang sangat beracun oleh aktivitas mikroba,” bebernya.

Sebagai orang Maluku, ia mengajak semua pihak  baik pemerintah maupun swasta untuk memikirkan konsekuensi dampak dari aktivitas PETI yang kian marak di sejumlah wilayah di Maluku.

Sementara itu, Rektor Universitas Pattimura, Profesor, M.J Sapteno dalam sambutannya pada acara pengukuhan tersebut meminta semua stakeholder tidak mengabaikan informasi ilmiah dari perguruan tinggi. “Jangan diabaikan, sebab ber­-bicara bahan kimia ini mengarah kepada kehidupan berkelanjutan. Olehnya pemerintah daerah harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi dan lainnya guna menghindari dampak negatif bagi masyarakat. (S-07)