Tak terasa kita telah tiba di hari ke tiga puluh di Bulan Juni. Seperti kata Sapardi Djoko Damono dalam sepilihan sajak “Hujan Bulan Juni” membariskan kata dalam puisi – puisi refleksi, diantaranya; Hujan Turun Sepanjang Jalan, Hujan dalam Komposisi 1, 2 dan 3, Percakapan Malam Hujan, dan Sihir Hujan. Ada puluhan bahkan seratusan puisi tentang hujan. Hari ini, Bulan Juni di tahun dominasi angka dua; dua ribu dua puluh dua akan segera berlalu. Hujan masih rajin mengguyur membasahi bumi. Pagi cerah, Sore Hujan. Begitulah Hujan Bulan Juni.

Disepanjang Bulan Juni, mimbar – mimbar Gereja Protestan Maluku menyampaikan homili dengan tema sentral “Dipenuhi Roh Kudus Untuk Menatalayani Ciptaan”. Dengan tema ini, Bulan Juni menjadi fokus penguatan umat untuk memahami Keagungan Sang Kreator dalam seluruh Karya Cipta yang luar biasa dan memeliharanya sebagai iman yang pro hidup. Tak tanggung – tanggung Pemberitaan dalam ahad terakhir berbicara tentang tanggung jawab manusia sebagai mitra Allah untuk mengelola alam dengan Bacaan Alkitab dari Kejadian Pasal 2, ayat 8 sampai 25, judulnya; Manusia dan Taman Eden. Dengan napas panjang pemberitaan selama empat minggu, diharapkan umat dapat mengerti tanggung jawab menjaga lingkungan dan alam ciptaan dari ancaman kiamat ekologi yang ditimbulkan oleh manusia.

Dalam dunia orang Maluku, kita tentu kagum dengan produk budaya generasi terdahulu yang melahirkan hukum adat tentang Sasi untuk menjaga keseim­ba­ngan lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingku­ngan buatan manusia. Mengenai kearifan lokal Sasi seba­gai modal sosial dan modal spiritual, maka se­benarnya ada persamaannya dengan konsep pemba­ngunan berkelanjutan yang menekankan pada aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. (Munasinge, 1993, dalam Rogers, 2007).

Pada aspek ekonomi, pelaksanaan Sasi mampu memak­simalkan pendapatan masyarakat sebagai petani yang ber­gantung sepenuhnya dari hasil kegiatan bercocok tanam yang selama ini dilakukan, baik itu dengan cara dijual ataupun dikonsumsi secara lang­sung. Selanjutnya pada aspek ekologi, pelaksanaan Sasi yang selama ini dipraktekan mampu menjaga ketahanan dan kekokohan sumber daya alam agar tetap stabil. Artinya dengan pelaksanaan Sasi, mem­buat masyarakat saat ini dapat mencukupi kebu­tuhannya, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, serta membuat masyarakat tetap merasa bertang­gungjawab menjaga kualitas lingkungan.

Sedangkan pada aspek budaya, pelaksanaan Sasi tetap bertahan ditengah konteks masyarakat yang se­makin modern. (Nampasnea, 2016). Adalah penga­ma­tan common sence dan kecintaan warga mas­yarakat pada lingkungan alam yang mendorong lahirnya hukum adat sasi ini. (Emil Salim dalam Eliza Kissya, 2013).

Baca Juga: Maluku Provinsi yang Miskin dan Tidak Inovatif?

Selain hukum adat sasi dalam dunia orang Maluku, adalah J.P. Rahail seorang Kepala adat Maur Ohoiwut di Kecamatan Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara mengisahkan suatu hukum Tata Guna Tanah dan Laut Tradisional un­tuk memberikan gambaran tentang Pandangan masyarakat Kei terhadap seluruh kekayaan alam Laut dan Darat yang dikelola dalam falsafah masyarakat Kei bagi ke­seimbangan alam dan keber­lanjutan kehidupan (ekosistem) yang tertata baik. Bat Batang Fitroa Fitnangan adalah Bahasa Kei (Evav) yang berarti menjaga laut dan darat. Sesungguhnya kalimat ini merupakan penggalan dari syair tua Kei yang memberi ‘kode etik’ bahwa laut dan darat serta segenap kekayaan yang ter­kandung didalam­nya, bahkan terma­suk ulat-ulat dan cacing-cacing, harus dipelihara dan dija­ga. Semua makluk tersebut memiliki hak hidup sama seperti yang lain, karena saling menghidupi sebagai satu mata rantai kehidupan.

Masyarakat adat Kei telah lama mempraktekan sebuah pola manajemen tata guna lahan wilayah laut dan darat secara berkeadilan dan berkelanjutan. Pola pengaturan manajemen pemanfaatan lahan wilayah laut dan darat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan dan sekaligus menjaga jaminan keberlangsungan hidup. Relasi dan hubungan manusia dan alam dalam hal ini merupakan relasi sejajar yang saling menguntungkan, take and give atau saling timbal balik.

Pandangan hidup atau falsafah masyarakat Kei mengenai ling­kungan dan sumber daya alam sekitarnya sudah terangkum da­lam syair-syair adat yang terus dipelihara dan dihidupi. Syair-syair itu menjadi dasar hukum adat Larvul Ngabal yang berlaku umum di seluruh kepulauan Kei (Nuhu Evav). Untuk memahami lebih dalam Bat Batang Fitroa Fitnangan, silangkan baca Bukunya yang ditulis oleh J.P. Rahail tahun 1995.

Mengingat maraknya ekspansi bisnis, maka Bat Batang Fitroa Fitnangan dengan segala kekayaan nilai yang ter­kandung didalamnya dapat menjadi “pagar” bagi keles­tarian dan keberlanjutan alam bagi generasi kini dan akan datang. Oleh karena itu, Bat Batang Fitroa Fitnangan harus terus dihidupi dan dimaknai ditengah-tengah perubahan zaman dan modernisasi.

Ditengah disrupsi teknologi, orang – orang Ihamahu tetap melakoni ajaran leluhur dengan menjaga alam secara harmoni. Orang Ihamahu memiliki praktik menebang sagu dan makan papeda yang paling unik, dari yang ada selama ini. Mereka menebang sagu dengan konsekwensi jangan sampai ada anakan sagu yang rusak.

Karena itu, pohon sagu yang hendak ditebang wa­jib dibersihkan terlebih dulu dengan cara dipotong setiap pelepah sagu diujung pohon, diturunkan dengan tali satu per satu sampai kudung diatas, setelah itu mengatur bantalan tempat pohon sagu itu dirobohkan dengan cara menariknya dengan tali sambil dipotong pada pangkal pohonnya sehingga arah robohnya dapat diatur sesuai rencana. Dengan demikian tidak ada pohon sagu lain yang dikor­bankan. Barang siapa yang melanggar ketentuan menebang pohon sagu, niscaya konsekwensi hukum adat akan ditanggungnya.

Jika anda ingin menikmati sensasi beda makan papeda yang paling unik, silahkan mengunjungi Negeri Ihamahu di Pulau Saparua. Anda akan diajak ke dusun sagu tempat para petani sagu bekerja. Disana ada air panas yang sudah disiapkan untuk mengolah sagu menjadi papeda. Ikan bakar dan kelapa sisi tersedia dengan colo-colo di piring makan. Ups… tapi anda tidak akan makan papeda di dalam piring itu. Papeda yang akan dimakan sebelumnya direndam dalam air yang sedang mengalir, yang digunakan oleh petani untuk mengolah sagu. Selanjutnya anda makan papeda sambil kaki berendam dalam air. Anda tidak menggunakan colo-colo, anda akang mengangkat papeda dari dalam air mengalir itu dan langsung menelannya bersama ikan kelapa sisi dan colo-colo. Anda akan makan dengan nikmat sambil main kaki di dalam air. Apakah anda kuatir? Jangan salah, air kali atau sungai yang selalu digunakan untuk makan papeda seperti itu adalah “piring makan” orang Ihamahu. Tidak ada seorang­pun yang yang merusak atau memecahkan piring makan­nya. Orang Ihamahu punya cara untuk menjaga agar hutan, air kali atau sungai tetap bersih sebagai piring makan. Itulah hikmat lokal sekaligus modal spiritual yang diwarisi oleh orang Ihamahu turun temurun. Silahkan ke Ihamahu dan rasakan selarasnya manusia dengan dunia sagu (Baca; alam).

Tentu pergumulan menjaga ekosistem alam sebagai rumah bersama bukanlah perkara gampang. Kita harus terus mengkampanyekan sadar sampah sambil merefleksikan segelintir orang yang menaruh seluruh hidup dan masa depan keluarga dan rumah tangganya dari sampah. Mereka yang bekerja berkubang kotor siang dan malam supaya kita dapat menyaksikan keindahan kampung dan kota. Namun di banyak tempat arogansi penguasaan hutan dan lahan terus menggila di Seram, Aru, Wetar, Taliabu dan Obi. Eksploitasi atas nama pembangunan membenamkan masa depan masyarakat adat pada dasar keprihatinan yang entah kapan berujung. Para pemodal terus mendominasi, penguasa main mata dan rakyat menjerit tak bersuara ibarat si bisu yang dipaksa telan air antawali. Pahit namun tak dapat bersuara. Kita butuh gerak bersama dari mimbar altar ke mimbar pasar supaya ketidakadilan ekologi dapat diminimalisir.

Selamat Berlalu Bulan Juni dua ribu dua puluh dua. Sebelum terus berlalu, hendak beta akhiri refleksi ini dengan SAJAK 1; Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdiang pada suku kata yang gosok-menggosok dan membara. “Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini”!

Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam: “Tetapi begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beterbangan dan menyesakkan udara dan…” Sapardi Djoko Damono, 1973. Oleh: Pendeta Rido Kwalomine.