PERTUMBUHAN ekonomi kuartal I Singapura di luar dugaan tumbuh positif. Dari perkiraan masih akan kontraksi minus 0,5%, ternyata pertumbuhan di kuartal I mampu bergerak positif 0,2%. Ini tentunya membesarkan hati pemerintah Singapura, yang untuk pertama kali tahun lalu, mengalami resesi, yakni pertumbuhan ekonomi mereka mengalami kontraksi minus 5,4%. Dengan modal pertumbuhan yang positif tersebut, Singapura merasa yakin pertumbuhan mereka tahun ini akan sesuai dengan perkiraan, yakni tumbuh antara 4% hingga 6%. Dengan kondisi penanganan covid-19 yang lebih baik dan kuartal II akan bisa dilakukan pembukaan kembali Singapura, perekonomian ‘Negeri Singa’ ini diperkirakan akan semakin menggeliat. Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi Singapura, menurut Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura, ditopang oleh sektor manufaktur. Setelah mampu tumbuh 10,3% pada kuartal IV tahun lalu, pada kuartal I tahun ini sektor ini masih bisa tumbuh lagi 7,5%. Sektor konstruksi walaupun tumbuh negatif, tetapi jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Apabila, pada kuartal IV tahun lalu sektor ini mengalami kontraksi minus 27,4%, pada kuartal I tahun ini kontraksinya menurun menjadi minus 20,2%.

Pembatasan jumlah orang yang bekerja membuat kegiatan kontruksi tidak bisa pulih secepat seperti yang diharapkan. Sektor industri jasa, meski masih mengalami kontraksi, sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun lalu. Bidang informasi dan komunikasi serta keuangan dan asuransi sudah tumbuh sangat baik, hanya industri perhotelan dan penerbangan yang masih tertekan sangat dalam. Pembukaan kembali Singapura pada semester II diperkirakan bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Bahkan, banyak pengamat memperkirakan pertumbuhan ekonomi Singapura akan tumbuh secara signifikan di semester II karena tahun lalu kontraksinya sangat dalam. Circuit breaker yang diterapkan mulai 7 April hingga 1 Juni 2020 membuat perekonomian Singapura nyaris berhenti dan itu ditandai dengan kontraksi sampai minus 14,4% pada kuartal II tahun lalu.

Berhati-hati Upaya pembukaan kembali Singapura sekarang ini menjadi perhatian utama pemerintah. Berbagai persiapan terus dilakukan agar pembukaan kembali Singapura tidak membuat upaya penanganan covid-19 yang sudah dilakukan secara susah payah selama lebih satu tahun ini menjadi sia-sia. Dimulai, dari pembangunan fasilitas dan pembukaan Changi@Connect. Untuk menghidupkan Bandar Udara Changi yang kehilangan pengunjung sampai 98%, Singapura mengizinkan mereka yang akan melakukan pertemuan bisnis untuk datang ke Changi. Orang asing, yang akan melakukan pertemuan bisnis difasilitasi masuk Singapura. Namun, kegiatannya hanya terbatas dilakukan di Bandara Changi. Semua fasilitas pertemuan disediakan dan tamu asing dipersilakan untuk kembali ke negaranya begitu selesai melakukan pertemuan bisnis. Memang, tawaran ini tidak cukup menarik warga asing untuk memanfaatkannya. Namun, Singapura mulai belajar untuk menghadapi event-event besar yang akan segera diselenggarakan di Singapura, seperti Shangrilla Dialogue yang akan dilaksanakan pada Juni mendatang, serta World Economic Forum yang rencananya digelar pada Agustus. Secara unilateral, Singapura juga mengizinkan warga dari negara-negara yang angka kasus covid-19-nya rendah untuk bisa berkunjung ke Singapura.

Ada lima negara yang diberikan izin masuk ke Singapura, yakni Australia, Brunei Darussalam, Tiongkok, Selandia Baru, dan Taiwan. Namun, tawaran ini tidak cukup banyak dimanfaatkan oleh turis dari kelima negara itu karena mereka memang tidak harus menjalani karantina ketika tiba di Singapura. Namun, ketika kembali ke negaranya, itu harus menjalani karantina antara 14 hari hingga 21 hari. Untuk itulah, Singapura mencoba untuk membuat travel bubble dengan negara yang kasus penularannya rendah. Salah satu, yang sedang dibahas adalah travel bubble antara Singapura dan Hong Kong. Travel bubble ini sebenarnya pernah disepakati pada November tahun lalu. Namun, Singapura menunda pelaksanaannya menyusul meningkatnya kasus covid-19 di Hong Kong. Sekarang ini, salah satu materi yang dibahas dari travel bubble antara Singapura dan Hong Kong ialah pada pengaturan penghentian kesepakatan apabila terjadi peningkatan kasus.

Salah satu yang dirancang adalah penundaan travel bubble akan dilakukan apabila dalam satu minggu penuh terjadi peningkatan kasus di atas lima orang. Semua pengaturan ini dilakukan karena Singapura tidak ingin pembukaan kembali wilayahnya dari kunjungan orang asing akan menimbulkan peningkatan kasus penularan covid-19. Sekarang ini, kondisi penularan di antara komunitas sangat rendah, dan, bahkan dalam dua pekan terakhir tidak ditemukan kasus baru sama sekali. Mereka tidak ingin, kerja keras dari seluruh masyarakat untuk mengendalikan penularan dan stimulus ekonomi hingga S$90 miliar tahun lalu menjadi sia-sia.

Baca Juga: Covid-19 dan Industri 4.0

Tawaran kepada Indonesia Di samping travel bubble, yang akan segera diberlakukan dengan Hong Kong, Selandia Baru, dan Australia, Wakil Perdana Menteri Singapura Heng Swee Keat menawarkan pembahasan travel bubble dengan Indonesia kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Kedua negara harus menunjuk tim yang akan membicarakan masalah teknis, penerapan travel bubble di antara kedua negara. Belajar dari pengalaman travel bubble dengan Australia, Hong Kong, dan Selandia Baru, pekerjaan rumah yang harus dilakukan adalah mengendalikan kasus penularan covid-19 di setiap negara. Australia dan Selandia Baru merupakan negara yang paling terdepan dalam penanganan covid-19. Singapura, bahkan sangat ingin melakukan travel bubble, karena yakin perjalanan warga dari negara-negara itu sangat kecil kemungkinannya menimbulkan kasus penularan baru. Australia dan Selandia Baru memang tidak ragu untuk menerapkan lockdown di negaranya apabila muncul satu kasus baru.

Indonesia merasakan sektor pariwisata merupakan sektor yang paling terpukul oleh pandemi covid-19. Bali, boleh dikatakan terhenti kegiatan ekonominya karena terbatasnya jumlah wisatawan yang datang ke Pulau Dewata. Semua orang sangat berharap bisa dilakukan travel bubble ke Bali agar pariwisata dan mereka yang hidup dari pariwisata bisa beraktivitas kembali.

Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan, untuk menghidupkan kembali pariwisata. Ada dua langkah yang bisa dilakukan, yakni menetapkan secara unilateral pembukaan kembali Indonesia dari kunjungan warga asing. Kedua, membuat travel bubble dengan negara-negara yang potensial dan menjadi sumber utama pariwisata bagi Indonesia. Penetapan secara unilateral memang paling mudah untuk dilakukan. Namun, pengalaman Singapura, penetapan pembukaan wilayah secara uniteral tidak otomatis membuat wisatawan mancanegara mau berkunjung. Masih ada kehati-hatian dan rasa waswas apabila tidak mendapat perlindungan hukum dari negaranya. Sebab, mereka pasti harus kembali ke negaranya dan tanpa ada perlindungan hukum, maka mereka harus menjadi pemeriksaan seperti pesakitan. Cara yang lebih pasti, dan bisa berjangka panjang ialah membuat kesepakatan travel bubble. Namun, konsekuensinya Indonesia harus bisa memastikan bahwa pengendalian covid-19 sudah baik dan secara ilmiah bisa ditunjukkan data yang menggambarkan kasus penularan yang ada sangat rendah. Dalam kaitan rencana travel bubble dengan Singapura, memang sulit, apabila ingin dimintakan antara Singapura dan Indonesia.

Lebih baik dipakai pendekatan pembukaan secara bertahap dengan daerah-daerah yang memang memungkinkan dikendalikan penularan covid-19. Apabila sekarang Indonesia mau menawarkan Bintan, Nongsa Batam, serta Nusa Dua, Ubud, dan Sanur Bali, kepala daerah di ketiga daerah itu harus mampu mengendalikan penularan covid-19 di daerahnya. Harus bisa ditunjukkan kepada Singapura bahwa penanganan covid-19 yang dilakukan di tiga daerah itu sama dengan yang diterapkan oleh Singapura, termasuk dalam penggunaan digital tracing untuk bisa cepat mengetahui orang yang melakukan kontak erat dengan mereka yang terinfeksi covid-19 dan segera mengarantina mereka yang memang positif agar penularannya bisa diputus. Apabila Indonesia mampu mengendalikan covid-19, tidak ada alasan bagi negara lain untuk menolak melakukan travel bubble dengan Indonesia. Negara ini terlalu indah untuk tidak dikunjungi dan setelah lebih satu tahun terpenjara oleh covid-19, banyak orang yang ingin melakukan perjalanan.

Di Singapura sendiri, lebih dari 90 ribu warga ikut cruise nowhere, yakni perjalanan kapal pesiar selama tiga hari, dua malam sekadar berkeliling Singapura dan kembali ke Pelabuhan Singapura. Seperti halnya Singapura, memang dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan untuk bisa keluar dari situasi pandemi covid-19. Buah dari kesabaran dan konsistensi menerapkan kebijakan itu membuahkan hasil dengan menggeliatnya kembali perekonomian Singapura.( Suryopratomo, Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura )