Raja Porto Dituntut 1,6 Tahun Penjara
AMBON, Siwalimanews – Raja Negeri Porto Marten Nanlohy, dituntut 1,6 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) Ardy, dalam sidang kasus korupsi pengelolaan Alokasi Dana Desa dan Dana Desa Porto, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, di Pengadilan negeri Ambon Senin (1/2).
“Berdasarkan bukti dan saksi, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan korupsi sebagaimana diatur pasal 3 jo pasal 18 UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP,” tegas JPU dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi ADD dan DD Porto di Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (1/2).
Selain penjara, JPU juga menuntut terdakwa membayar denda sebesar Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara.
Usai membacakan tuntutan, sidang yang dipimpin Jenny Tulak selaku Ketua Majelis Hakim didampingi dua hakim anggota masing-masing Benhard Panjaitan dan Feliks R Wuisan menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda nota pembelaan (pledoi) terdakwa.
Sebelumnya, Raja Porto Marthen Nanlohy mengklaim, jika dirinya tidak ikut terlibat menyalahgunakan ADD dan DD Tahun 2015 hingga 2017 sehingga merugikan negara.
Baca Juga: Barang Bukti Kasus Illegal Logging Sabuai HilangPenegasan ini disampaikan Nanlohy, saat diperiksa sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ADD-DD Negeri Porto, yang berlangsung di Pengadilan Negeri Ambon, Rabu (13/1). Saat didampingi Penasihat Hukum (PH), Rony Samloy Cs, Nanlohy mengaku tidak tahu adanya mark up harga dalam setiap pembelanjaan untuk proyek.
Pasalnya, ia tidak menangani langsung dan hanya mengetahui perkembangan proyek dari Sekertaris Negeri Hendrik Latuperissa dan Bendahara Negeri Salmon Noya.
“Yang saya tanya di lapangan semua sudah beres. Mereka yang buat laporan, lalu saya yang tandatangani saja,” ucap Nanlohy.
Hanya saja, ia mengaku, mendapat sosialisasi saat penerimaan DD, bahwa harga barang harus dinaikkan. Hal itu menjadi alasannya mempercayakan pengelolaan DD kepada sekdes dan bendahara desa.
“Saya percayakan mereka karena keduanya PNS, apalagi saya tidak memahami pengelolaan DD,” ujarnya.
Ia juga membantah, tidak menikmati seperserpun uang dari DD tiga tahun berturut-turut itu.
“Sekarang saya baru mengerti. Awalnya kami tidak paham. Karena itu tidak ada penjelasan. Saya belum mengerti. Saya hanya ikut aturan dari Pemda. Saya tidak korupsi atau punya niat untuk korupsi,” tandasnya.
ia menuding pemda tidak menjelaskan secara rinci. Namun, ia mengetahui adanya standard biaya umum yakni, ada batas harga minimal dan maksimal setiap barang yang harus dibelanjakan.
“Pemda tidak jelaskan aturan. Kalau ada, saya jalankan,” katanya lagi.
Dalam persidangan ia juga menjelaskan telah mengembalikan kerugian negara. ia lalu merincikan pengembalian kerugian negara itu. Pertama, sebelum penyelidikan dilakukan dikembalikan uang senilai Rp 75 juta, kemudian Rp 119 juta dimasukkan dalam sisa lebih pengguna anggaran.
Selanjutnya, Rp 70 juta dikembalikan sebelum putusan terhadap Salmon Noya selaku bendahara dan Hendrik Latuperissa selaku Sekretaris Negeri dan uang sejumlah Rp 119 juta kepada Mantan Kacabjari Leo Tuankotta secara langsung.
Sementara itu, majelis hakim yang diketuai Jenny Tulak mengatakan, meskipun dia terus membantah tidak terlibat, nyatanya ada kerugian negara dalam kasus ini.
“Mark up dan ada kwitansi kosong terus terjadi, itu bukan saja di desa bapak. Tapi hampir semua desa begitu,” kata Tulak. (S-45)
Tinggalkan Balasan