MEMBACA kolom Podium harian Media Indonesia (17/2) yang ditulis Gaudensius Suhardi, penulis tertarik pada kalimat penutup artikel tersebut, ‘jika semua pejabat diwajibkan untuk dijemput kepala daerah, lama-lama tugas utama kepala daerah ialah menjem­put pejabat, bukan menghadirkan kesejahteraan rakyat’. Penulis mulai mengetahui adanya protokoler kenegaraan dari penuturan Ibu Negara Fatmawati Sukarno bahwa di dalam pemerintahan ada peraturan-peraturan tertentu yang harus dilaksanakan, terutama Presiden beserta keluarganya, agar jalannya pemerintahan tertib dan teratur. Ibu tidak menjelaskan hal tersebut diatur undang-undang nomor berapa atau perpres tertentu. Yang pasti, di era Ibu Kota RI hijrah ke Yogyakarta di Gedung Agung tempat presiden dan keluarga tinggal, belum ada kepala protokol istana. Yang menarik untuk disimak ialah kisah tentang jamuan kenegaraan yang pertama kali diadakan untuk menghormati kedatangan seorang diplomat dari Amerika Serikat Merle Cochran. Ketika itu, yang ditugasi Bung Karno menjadi ‘kepala protokol’ untuk mengatur segala sesuatunya ialah Mutahar, yang nantinya menjadi penyelamat bendera pusaka Merah Putih buatan Ibu Fatmawati Sukarno dari tangan kotor kolonialis Belanda. Masalah terbesar yang dihadapi yang bersangkutan ialah kenyataan Gedung Agung tidak mempunyai perangkat sendok, garpu, dan piring yang memadai. Mutahar harus putar otak tujuh keliling mencari cara mengatasi masalah besar tersebut. Akhirnya, ia menemukan jalan dengan meminjam kebutuhan tadi pada Restoran Oen yang letaknya berdekat an dengan Gedung Agung.

Satu masalah terselesaikan timbul masalah lain, yaitu di sebelah mana presiden harus duduk dalam jamuan tadi. Duduk di sebelah kanan atau kiri tamu kehormatan? Dengan berpedoman pada foto-foto resepsi atau jamuan kenegaraan yang ada di majalah Time-Life, posisi tersebut yang ditiru. Presiden/tuan rumah harus duduk di samping kiri tamu kehormatan. Bung Karno yang tidak paham kapan harus mulai memberikan sambutan menyerahkan sepenuhnya kepada teori Mutahar. Oleh sebab itu, selama jamuan berlangsung, yang bersangkutan harus berdiri di suatu pojok ruangan untuk memberikan aba-aba melalui kode jari tangan kapan Presiden harus memberikan sambutan. Kemudian kapan Presiden harus mengangkat gelas untuk bersulang dan seterusnya. Di era Ibu Kota kembali ke Jakarta dan Presiden beserta keluarganya tinggal di Nordwijk Paleis yang kemudian diubah namanya oleh Bung Karno menjadi Istana Merdeka, belum ada kepala protokol istana kepresi­denan. Jadi, urusan-urusan protokoler tergantung dari kepala rumah tangga istana yang dijabat seorang warga negara Belanda Van Der Bell. Dialah yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan protokoler negara di masa itu, termasuk menentukan busana Presiden dan Ibu Negara ketika berkunjung ke India pada 1950. Waktu di India, urusan protokoler Presiden dan Ibu Negara bahkan seluruh rombongan ditangani langsung oleh Presiden.

Pascadekret 5 Juli 1959 Ketika Bung Karno melalui Dekret Presiden menyatakan UUD 1945 asli berlaku lagi di seluruh wilayah Republik Indonesia, kepala protokoler negara dan kepresidenan dijabat seorang pejabat Depar­temen Luar Negeri yang diperbantukan di Istana. Yang bersangkutan bernama Joop Ave yang menguasai tentang masalah-masalah protokoler kenegaraan. Sejak Joop Ave bertugas di Istana Merdeka, ialah yang mengatur segala macam tata cara yang harus dilaksanakan Presiden dan seluruh keluarganya, termasuk pengaturan jadwal tamu resmi Presiden dan Ibu Negara.

Untuk tamu-tamu tidak resmi Bung Karno menolak untuk diatur dengan peraturan-peraturan protokoler yang ketat. Tamu-tamu tidak resmi di kala itu bebas keluar masuk Istana Merdeka cukup dengan lapor diri di piket jaga Istana Merdeka dan Istana Negara. Hal itu berlaku juga untuk temanteman penulis yang datang ke Istana untuk bertemu serta bermain atau sekadar ngobrol-ngobrol dan menonton film di Istana Negara. Karena longgarnya aturan protokoler kenegaraan di Istana Merdeka, Detasemen Kawal Pribadi sering kecolongan dengan masuknya tamu-tamu yang kurang waras bukan untuk bertemu Presiden, melainkan sekadar tidur di kursi panjang ruangan hall Istana Merdeka atau di teras depan Istana Merdeka. Pernah terjadi kehebohan, istilah sekarangnya viral, di media massa ketika Presiden menerima seorang yang mengaku Raja Idrus dari daerah dan ternyata raja palsu. Padahal, yang bersangkutan dengan permaisurinya sudah diterima dengan layanan yang luar biasa istimewa dari karyawan serta petugas-petugas Istana. Ketika konferensi nonblok pertama dilaksanakan di Beograd, Yugoslavia 1961, penulis dan Joop Ave turut serta dalam rombongan delegasi Indonesia. Selain mengatur urusan protokoler Presiden dan rombongan, yang bersangkutan juga secara khusus mengatur protokoler penulis saat itu. Segala macam urusan ‘tetek bengek’ yang membuat penulis kadang-kadang kesal karena tidak mengena di hati terpaksa harus dilaksanakan seperti cara berpakaian. Apakah itu celana, jas dan dasi, kaus kaki, sampai dengan sepatu, harus benar-benar perfek penampilannya walaupun penulis merasa gerah mengenakannya. Begitu pula aturan-aturan yang diterapkan kepada Bung Karno, misalnya saja, bila dijemput Presiden Joseph Broz Tito untuk pergi ke Gedung Konferensi dari Hotel Metropole tempat rombongan menginap. Di sebelah mana Presiden RI harus duduk di mobil yang mempunyai kap terbuka, harus sesuai dengan arahan yang bersangkutan.

Banyak kejadian Bung Karno melanggar peraturan-peraturan protokoler kenegaraan yang sudah ditentukan kedua negara, misalnya saja tanpa sepengetahuan panitia konferensi, Bung Karno keluar sidang dengan mengajak Jawaharlal Nehru dan Gamal Abdul Nasser untuk bersama-sama makan siang di Hotel Metropole. Kejadian-kejadian seperti ini membuat kedua kepala protokol kenegaraan dan panitia menjadi sibuk repot dan kalang kabut. Kejadian-kejadian tersebut ada di luar negeri. Di dalam negeri ‘dongengnya’ lain lagi, terutama bila Presiden berkunjung ke daerahdaerah di pelosok Tanah Air. Selain menggunakan pesawat kepresidenan Dolok Martimbang atau Lockheed Jetstar, kerap kali Bung Karno menggunakan kapal cepat Angkatan Laut RI Baruna yang siaga penuh 24 jam. Dalam kunjungankunjungan ke daerah, sering sekali Bung Karno keluar dari jadwal yang sudah ditetapkan protokol negara. Misalnya, yang seharusnya Bung Karno ke daerah Ambon, tiba-tiba saja RI Baruna diperintahkan Panglima Tertinggi (Pangti) ABRI untuk berbelok ke daerah lain yang kadang-kadang terpencil. Hal itu membuat Kepala Daerah Ambon dan panitia penyambutan terbengongbengong karena Presiden menunda kedatangan dan meninjau daerah lain seperti Morotai. Di sana pejabat-pejabat daerahnya tidak menyambut kedatangan Bung Karno karena datang mendadak. Untuk Bung Karno, hal tersebut tidak menjadi masalah dan maklum karena yang terpenting ialah sambutan spontan dari penduduk setempat. Mereka walaupun terlambat datang dengan antusias menyambut dan mengelu-elukan Bung Karno karena dapat langsung bertatap muka tanpa ada peraturan protokoler yang berbelit-belit. Kalangan yang paling gelisah ialah pihak keamanan di sana yang kedatangan pangtinya tanpa rencana. Dengan cara tatap muka langsung dengan massa rakyat di sana, Bung Karno mendapatkan informasi-informasi yang akurat mengenai daerah tersebut, termasuk keluh kesahnya. Bila perlu menginap di suatu daerah terpencil, RI Baruna siap menjadi hotel terapung untuk Bung Karno. Jadi, kalimat penutup dari Gaudensius Suhardi tidak akan terjadi di era Bung Karno menjabat Presiden RI. Buat Bung Karno, sambutan spontan dari rakyat ialah hal yang lebih penting ketimbang hadirnya kepala daerah atau pejabat-pejabat setempat sesuai protokoler kenegaraan yang berlaku. Kalau presidennya demikian, apa mau dikata? Pejabat-pejabat yang lainnya pun akan begitu.Oleh : Guntur Soekarno Pemerhati Sosial

Baca Juga: Kripto, Cara Cepat Kaya (atau Miskin)