KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan partai politik peserta pemilu pada Rabu (14/12). Terdapat 17 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Provinsi Aceh yang telah ditetapkan KPU sebagai partai politik peserta Pemilu 2024. Namun, beberapa hari menjelang penetapan partai politik peserta pemilu, muncul polemik bahwa terdapat dugaan proses verifikasi partai politik yang dilakukan tidak sesuai fakta yang ada di lapangan.

Di sejumlah media disebutkan bahwa ada dugaan manipulasi data dan instruksi untuk mengubah data verifikasi partai politik peserta pemilu kepada penyelenggara pemilu di daerah. Jika memang benar, hal itu akan menjadi noda dalam penyelen­garaan Pemilu 2024 dan menurunkan kepercayaan publik kepada penyelenggaraan pemilu.

KPU melakukan tahapan verifikasi faktual kepe­ngurusan dan keanggotaan partai politik calon peserta pemilu sejak 14 Oktober hingga 9 November 2022. Dalam proses pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu, KPU menggunakan ins­trumen teknologi yang dinamakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Sebagaimana prinsip peng­gunaan teknologi dalam tahapan penyelenggaraan pemilu, instrumen teknologi yang digunakan diha­rapkan dapat memberikan solusi atas tantangan seperti kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam sebuah tahapan Pemilu. Karena itu, Sipol sebagai instrumen teknologi yang digunakan dalam tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu seharusnya dapat memberikan informasi kepada publik secara detail mengenai perkembangan tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu.

Di satu sisi, penggunaan Sipol dapat diapresiasi. Melalui Sipol, publik dapat mengecek secara langsung apakah NIK dan namanya dicatut atau tidak oleh partai politik. Namun, dalam hal verifikasi partai politik, publik kesulitan mendapatkan data secara detail mengenai perkembangan tahapan verifikasi partai politik peserta pemilu. Padahal, penting bagi publik mengetahui tentang apa saja syarat-syarat yang kurang dan terpenuhi dari calon partai politik peserta pemilu.

Pentingnya transparansi dan keterbukaan

Baca Juga: Refleksi Kinerja Reformasi Polri

Keterbukaan pemerintah merupakan sebuah keniscayaan. Dengan pemerintah yang transparan, akuntabel, partisipatif, inovatif, dan inklusif, itu akan berdampak pada meningkatnya partisipasi publik.

Pemerintah Indonesia sendiri merupakan salah satu dari delapan inisiator hadirnya Open Government Partnership (OGP) pada 2011. Sebagai salah satu bentuk tindak lanjut dari OGP, pemerintah Indonesia menginisiasi Open Government Indonesia (OGI) pada 2012 untuk mendorong nilai transparansi, partisipasi, inovasi, akuntabilitas, dan inklusivitas dalam rangka memperkuat tata kelola dan pelayanan publik di Indonesia. OGI tersebut mencakup ke hampir seluruh isu, termasuk juga dalam tata kelola pemilu.

Menurut National Democratic Institute (NDI), terdapat sembilan prinsip keterbukaan data pemilu yang perlu dipenuhi. Pertama, tepat waktu, artinya data tersedia dengan cepat sehingga dapat dimaksimalkan penggunaannya. Kedua, granular, artinya data yang ter­sedia merupakan data yang dirinci secara detail. Ketiga, tersedia secara gratis di internet, artinya data tersebut siap tersedia tanpa adanya biaya yang perlu dikeluarkan penggguna data.

Keempat, data bersifat lengkap. Kelima, data dapat dianalisis, artinya data tersedia secara digital, tersedia dalam format yang dapat dibaca mesin. Keenam, non-proprietary, arti­nya tidak ada entitas yang secara eksklusif mengontrol data tersebut. Ketujuh, nondiskriminasi, artinya data tersedia untuk setiap individu atau or­ganisasi tanpa adanya pembatasan. Se­lanjutnya, kedelapan, bebas lisensi, artinya data dapat digunakan kembali dan didistribusikan kembali. Kesembilan,  terse­dia secara permanen, artinya data tersedia secara online dalam periode yang indefinit (NDI-OEDI, 2015).

Sembilan prinsip data terbuka pemilu itu perlu diterapkan dalam data-data pemilu dan untuk setiap tahapan pemilu, mulai dalam tahapan prapemilu, tahapan pemilu, dan tahapan pascapemilu. NDI-OEDI mengategorikan data untuk tahapan berikut: (1) kerangka hukum data pemilu; (2) data daerah pemililhan; (3) data administrasi penyelenggara pemilu; (4) data mengenai keputusan penyelenggara pemilu dan proses pemilu; (5) data keamanan pemilu.

Selanjutnya, (6) data pendaftaran partai politik peserta pemilu; (7) data kualifikasi surat suara; (8) data kampanye; (9) data dana kampanye; (10) data pendaftaran pemilih; (11) data pemilih; (12) data pendi­dikan pemilih. Juga, (13) data tempat pemungutan suara; (14) data hasil pemilu; (15) data pemungutan dan penghitungan suara; (16) data sengketa dan perselisihan pemilu.

Keterbukaan data pemilu menjadi salah satu faktor meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu. Keterbukaan data pemilu merupa­kan hal yang esensial dalam memperkuat hak warga negara. Dengan adanya data pemilu yang terbuka, itu akan memudahkan bagi pemililh untuk meng­akses informasi karena data tersebut tersedia secara online dan gratis.

Insentif dari data pemilu terbuka bukan hanya akan dirasakan pemilih atau warga negara secara umum, melainkan juga dapat memberikan insentif bagi penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu akan mendapatkan kepercayaan publik karena lebih transparan, baik dalam mengimplementasikan taha­pan pemilu maupun dalam pengambilan keputusan. Selain itu, keterbukaan data pemilu akan mening­kat­kan efektivitas dari penyelenggara pemilu, mening­katkan partisipasi pemilih, meningkatkan inklusivitas Pemilu, dan meminimalisasi tensi politik yang terjadi selama pemilu (NDI-OEDI, 2015).

Demokrasi Indonesia

Dalam beberapa survei mengenai penilaian terhadap demokrasi, seperti yang dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit, negara Indonesia masih termasuk dalam kategori negara demokrasi walaupun ada catatan terhadap kondisi demokrasi Indonesia. Pada rilis EIU 2021, disebutkan bahwa salah satu aspek yang menyebabkan skor demokrasi Indonesia meningkat ialah aspek proses pemilu yang mendapatkan skor 7.92.

Salah satu upaya untuk mempertahankan agar kondisi proses pemilu tetap dinilai baik ialah dengan tetap menjaga integritas pemilu. Integritas pemilu dapat dicapai jika kerja penyelenggara pemilu mengimplementasikan prinsip jujur, transparan, akurat, dan akuntabel (Ramlan Surbakti, 2022). Untuk itu, penting bagi KPU untuk bekerja sejalan dengan prinsip pemilu demokratis untuk mendapatkan kepercayaan publik.

Pasal 22 E ayat (5) menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. The International IDEA juga menyebutkan bahwa salah satu karakter penyelenggara pemilu yang dapat mewujudkan pe­milu yang jujur dan adil ialah independen dan tidak ber­pihak. Prinsip keman­dirian merupakan prinsip yang utama dalam penye­leng­garaan pemilu. Mandiri dapat dimaknai bahwa KPU tidak berada di bawah lembaga lain dan tidak berada di bawah tekanan apa pun dan siapa pun. Dari prinsip ke­mandirian itulah yang akan menelurkan prinsip lainnya, seperti profesionalitas dan berkepastian hukum.

Selain mandiri, penyele­nggara pemilu juga harus bekerja secara imparsial. KPU harus memperlakukan semua peserta pemilu secara adil, merata, dan setara tanpa sedikit pun memberikan ke­untungan kepada kelompok-ke­lompok tertentu. Prinsip transpa­ransi juga perlu ditegakkan karena hal itu dibutuhkan masyarakat untuk dapat menguji keterbukaan KPU. Prinsip transparansi akan men­cegah KPU melakukan tinda­kan koruptif dan dapat mengin­dentifikasi potensi adanya pela­nggaran pemilu sehingga penting bagi KPU untuk membuka datanya kepada publik.

KPU juga harus bersikap profe­sional yang dimaknai bahwa kerja-kerja penyelenggara pemilu harus dilakukan secara teliti dan akurat. Setiap anggota dan staf kesekre­tariatan haruslah diisi orang-orang yang terlatih serta memiliki kom­petensi teknis yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemilu de­ngan standar profesionalitas yang tinggi. Dengan adanya profesio­nalitas, akan memberi keperca­yaan kepada peserta pemilu, pemilih, media, dan pemangku kepentingan lainnya. Tidak adanya profesionalitas akan mendorong terjadinya kesalahan atau bahkan praktik korupsi sehingga kehila­ngan kepercayaan publik.

Di tengah polemik yang muncul mengenai tahapan verifikasi itu, akuntabilitas dapat dilakukan dengan cara KPU harus membuka data mengenai tahapan verifikasi faktual kepada publik secara detail. Hal itu sekaligus memberikan jawaban kepada publik atas pole­mik yang terjadi. Dengan adanya akuntabilitas, dapat pula dilakukan penyandingan data antara yang dimiliki KPU, Bawaslu, atau mereka yang diduga memiliki data verifikasi yang berbeda.

Dalam konteks itulah Sipol se­bagai instrumen teknologi yang digunakan dalam proses pendaf­taran dan verifikasi partai politik pe­serta pemilu memiliki peranan yang signifikan. Dengan Sipol yang transparan, pengawas pemilu dan publik pun dapat mengetahui pergerakan data dari calon partai politik peserta pemilu.

Tahapan verifikasi partai politik pe­serta pemilu merupakan taha­pan yang krusial di awal tahapan penye­lenggaraan pemilu. Melalui tahapan tersebut, itu akan me­nentukan siapa nantinya partai politik dan caleg yang berhak dipilih pemilih. Memang tidak mudah bagi partai politik untuk dapat melewati tahapan ini karena persyaratan yang harus dipenuhi partai politik memang tidak mudah.

Untuk itulah penting agar mem­buka data dalam tahapan verifikasi faktual sehingga dapat memini­malisasi keraguan publik. Jika akuntabilitas tidak dilakukan, semangat untuk mengawal dan memastikan proses verifikasi secara mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, dan terbuka akan sulit dilakukan. Oleh: Khoirunnisa Nur Agustyati

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (*)