IBU memasak di dapur dan ayah membaca koran,” merupakan ungkapan yang tampak lumrah. Sepintas, itu hanya sebuah kalimat tanpa makna lain yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Pada kenyataannya kebanyakan para ibu mengalokasikan banyak waktunya di dapur jika dibandingkan dengan para ayah yang cenderung mengawali paginya dengan membaca koran sebelum pergi bekerja. Persoalannya, jika subjek kalimat itu ditukar, bisa jadi pertanyaan mulai ber­munculan, terutama di kalangan masyarakat patriarki. Sama-sama dapat dituliskan sebagai contoh untuk menjelaskan kalimat majemuk, tapi kalimat yang me­nyatakan ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran di pagi hari bisa dianggap salah cetak, atau jika muncul dalam ujian sekolah, bisa dihitung sebagai salah soal. Lalu, apa relevansi ilustrasi tersebut dengan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang baru saja diputuskan sebagai RUU inisiatif DPR (30/6)?

Makna RUU KIA Pada prinsipnya keberadaan RUU KIA dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjawab persoalan yang selama ini dihadapi para ibu yang bekerja. Ibu bekerja sering menghadapi dilema antara kerja dan urusan domestik, dua hal yang seolah terpisah. Sementara itu, faktanya, tidak ada kerja-kerja produktif di publik yang bisa dilakukan jika para tenaga kerja tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup di meja makan rumahnya. Sebaliknya, roti, daging, dan nasi tidak mungkin terbeli jika tidak ada yang bekerja dan menghasilkan uang. Maka, tidak berbeda dengan buruh yang mogok bekerja, ibu yang mogok memasak, sama-sama berpotensi menimbulkan kekacauan. Situasi ini perlu diwaspadai lebih lanjut. Di dalam struktur masyarakat patriarki, kerja-kerja domestik dianggap alamiah, lekat dengan peran perempuan, dan tidak berbayar. Jika ingin memiliki nilai ekonomi, perempuan harus bekerja di publik sebagaimana yang dilakukan laki-laki selama ini.

Sebagian besar perempuan tidak memiliki kapasitas untuk menggugat ketetapan itu, tetapi berupaya menyeimbangkan kerja publik dan domestik. Namun, yang terjadi justru muncul beban ganda. Data statistik yang menjelaskan proporsi beban ganda yang dialami perempuan sangat terbatas. Namun, data menunjukkan lebih dari 50% perempuan pekerja mendominasi sektor informal (BPS, 2021). Bisa jadi perempuan memang tidak kompetitif di sektor formal karena persoalan pendidikan, keterampilan, dan akses. Namun, studi-studi berbasis pengalaman perempuan menunjukkan hanya dengan bekerja di sektor informal para ibu dapat membagi waktu dengan lebih fleksibel, antara kerja produktif dan domestik (Fatimah, dkk, 2018; Asriani, 2021). Sementara itu, para ibu yang bekerja di sektor formal harus mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk membayar asisten rumah tangga. Demi memenuhi tuntutan untuk selalu memadukan capaian karier dan urusan bersih-bersih, memasak, dan mengasuh anak di rumah (Nilan & Utari, 2008). Asisten rumah tangganya biasanya juga perempuan.

Situasi yang berputar-putar ini menunjukkan perempuan seperti dilarang berhenti mengalokasikan lebih dari dua pertiga hari kerjanya di sektor tidak berbayar (unpaid works), seperti pengasuhan, perawatan, dan kerja sukarela lainnya. Maka, tidak mengherankan jika sedikit perempuan yang mampu bertahan di sektor kerja berbayar (paid works) dengan optimal, hingga mencapai puncak karier. Jadi dapat dikatakan bahwa tidak kompetitifnya perempuan bukan fenomena alamiah, tetapi diciptakan oleh budaya dan dilanggengkan melalui sistem ekonomi modern, yang membedakan nilai antara kerja publik dan domestik. Terkait dengan persoalan ibu bekerja itu, RUU KIA memiliki potensi sebagai solusi.

RUU ini memungkinkan adanya penjelasan terperinci tentang hak-hak ibu bekerja yang juga harus dipenuhi selama fase kehamilan, melahirkan, dan pengasuhan. Termasuk hak untuk mendapatkan dukungan nyata dari pasangan, keluarga, dan negara. Sebagai bentuk afirmasi, gagasan RUU KIA cukup relevan, sebagai upaya memberikan rekognisi yang sepadan bagi kerja publik dan domestik. RUU ini setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana cara negara memberikan kompensasi yang setara terhadap kerja-kerja domestik.

Baca Juga: Dekrit 5 Juli dan Demokrasi Terpimpin

Tantangan RUU KIA Kendati rekognisi terhadap kerja-kerja berbasis pengalaman ibu itu penting, dalam persepektif gender RUU KIA memiliki sejumlah catatan yang perlu diperhatikan. Terutama, pada pasal yang menjelaskan kewajiban ibu. Pertama, pasal itu rentan melakukan generalisasi terhadap peran utama ibu di dalam keluarga dan masyarakat. Jika ibu didefi nisikan berdasarkan fungsi biologis, seolah-olah beban pengasuhan itu melekat pada perempuan sebagai konsekuensi dari kodrat melahirkan. Kendati disebutkan bahwa suami/pasangan dan keluarga juga turut wajib menjalankan peran pengasuhan, tetapi tidak disebutkan mekanisme khusus yang menjamin hal itu dapat terjadi. Kedua, pendekatan kebijakan yang menekankan pada kewajiban ibu dapat membuat perempuan semakin ingin mogok menikah dan memiliki anak.

Data menunjukkan selaras dengan fenomena global, tingkat fertilitas nasional terus mengalami penurunan (SDKI, 2017, Kemen PPPA, 2018). Ditambah lagi dengan kecenderungan kaum muda yang semakin banyak memilih tidak memiliki anak (child free). Beberapa studi menyebutkan tingkat pendidikan dan aspirasi terhadap keman­dirian ekonomi di kalangan perempuan berkaitan dengan penundaan perkawinan (Jones, 2001, Utomo, 2009) dan melahirkan anak. Rutinitas pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban domestik membuat perempuan lebih mencurahkan waktunya pada kerja yang dihitung. Merujuk pada argumen Diane Elson (2017), untuk mengatasi problem ibu bekerja, diperlukan intervensi yang dapat mengurangi beban perempuan pada kerja-kerja tidak berbayar. Pendekatan konkretnya tidak bisa tunggal, tetapi dari berbagai sisi dan berkesinambungan.

Cuti melahirkan pada perempuan dapat menjadi opsi. Namun, laki-laki sebetulnya juga perlu diberikan cuti untuk mengubah kultur pengasuhan, yang selama ini identik dengan peran perempuan saja. Alternatif lain ialah penyediaan tempat penitipan anak yang layak dan murah. Negara perlu hadir dan menempatkan pembangunan fasilitas itu sebagai investasi publik sehingga perangkat yang disediakan benar-benar sesuai dengan kebutuhan. RUU ini juga perlu ditopang kebijakan lain, yang memungkinkan adanya standar upah yang layak bagi pekerja rumah tangga. Tujuannya sekali lagi ialah untuk menciptakan kesetaraan antara kerja berbayar dan kerja-kerja yang selama ini dinormalisasi sebagai kerja tidak berbayar.

Kesimpulan RUU KIA, pada dasarnya memiliki peran penting dalam mengatasi problem perempuan yang diakibatkan ketidaksetaraan gender di sektor kerja. Namun, masih terdapat celah yang justru berpotensi membentangkan jarak antara perempuan dan institusi domestik. Kebijakan ini juga masih perlu dilengkapi dengan perangkat yang mampu mengubah cara pandang masyarakat, yang cenderung mengabaikan aktivitas domestik yang dilakukan dari subuh hingga petang, sebagai bagian dari kerja produktif. Jika mencuci piring, membersihkan lantai, memasak makan malam, dan menidurkan anak juga dilihat sebagai tindakan aktif secara ekonomi, sepertinya tidak hanya perempuan yang bersedia melakukannya sehingga baik perempuan maupun lakilaki memiliki kesempatan yang sama untuk mengoptimalkan potensinya dan menjadi apa pun yang dicita-citakan. Oleh: Desintha Dwi Asriani Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM