AMBON, Siwalimanews – Para pedagang pasar Mardika kembali melakukan aksi demo di Balai Kota Ambon, Senin (15/6) memprotes Peraturan Walikota Ambon Nomor 16 Tahun 2020 yang dinilai membunuh usaha kecil.

Kali ini mereka datang lebih banyak. Ditambah lagi dengan massa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ambon.

Ratusan pedagang dan mahasiswa ini melakukan long march dari pasar Mardika dan tiba di depan Balai Kota sekitar pukul 11.30 WIT.

Massa yang didominasi oleh ibu-ibu itu, tak menghiraukan protokoler kesehatan seperti memakai masker dan menjaga jarak, saat melakukan aksi demonstran.

Saat tiba, puluhan anggota Satpol PP, personil Polsek Sirimau dan anggota PRC Polresta Ambon sudah bersiaga di depan pintu pagar.

Baca Juga: Walikota Diminta Beri Perhatian Serius Terapkan PSBB

Massa meminta masuk ke halaman Balai Kota, namun tidak diizinkan.  Kericuhan  pun terjadi, karena massa memaksa masuk. Para petugas yang berada di depan pintu menghalau mereka. Aksi saling dorong pun terjadi. Bahkan ada yang pingsan.

“Buka pintu pagar ini katong sakarang susah kamong sebagai pejabat harus lia katong,” teriak ibu-ibu pedagang.

Para petugas mengalah. Mereka diizinkan masuk ke halaman. Mereka lalu mengusung sejumlah poster yang diantaranya bertuliskan, Pemerintah Gagal, Hapus Perwali No 16 tahun 2020 karena menyengsarakan para pedagang.

Suasana semakin panas ketika orator dari HMI, Muhamad Ikbal melakukan orasi di atas mobil pick up dengan pengeras suara.

Dalam orasinya, Ikbal memprotes sejumlah aturan dalam Peraturan Walikota Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM). Mereka meminta walikota merevisi aturan pembatasan jam operasional pedagang di pasar Mardika, karena dianggap tidak adil bagi pedagang.

“Aksi yang dilakukan para pedagang dan kami tidak ada unsur politik apapun, tapi merupakan keresahan dan kekecewaan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada pedagang,” tandasnya.

Jam operasional pasar hanya sampai pukul 16.00 WIT ditambah lagi pemberlakuan ganjil genap membunuh usaha para pedagang. Sedangkan pasar modern seperti Alfamidi, Indomaret dan swalayan diberi keleluasaan, malah ada yang beroperasi 24 jam.

“Kebijkan ini menguntungkan kalangan atas dan menindak kami rakyat kecil. Kami minta keadilan, kebijkan ini mematikan hidup kami,” teriak Rita, salah satu pedagang.

Massa berteriak meminta walikota untuk menemui mereka dan menjelaskan secara detail kebijakan yang dibuat.

Mereka mengancam akan tidur di halaman Balai Kota jika walikota tidak menemui mereka.

Pedagang lainnya bernama Nur juga menegaskan hal yang sama. Kebijakan yang dibuat Pemkot Ambon dapat membunuh mereka sebagai pedagang kecil.

“Kita datang ke Kantor Walikota Ambon karena dibuat sengsara oleh walikota hanya menguntungkan kalangan atas kami beri waktu selama 2 hari jika tidak maka kami akan kembali lagi ke sini, mana walikota, keluar temui kami,” tandasnya.

Rekannya bernama Wahyu, pedagang ikan menegaskan, mereka sebagai masyarakat kecil hanya mencari keadilan. Mereka juga menolak rencana pemerintah kota merelokasi mereka ke pasar Passo.

“Kita juga minta relokasi ke pasar Passo untuk ditiadakan. Sebab kami pedagang di  pasar apung  tidak mau pindah ke Passo,” tegasnya.

Koordinator pedagang La Nurdin juga menegaskan, para pedagang siap memundurkan tempat jualan, namun menolak direlokasi ke Passo. Karena lokasi terlalu jauh, sehingga ongkos pulang pergi tinggi, dan tidak sebanding dengan pendapatan mereka.

Setelah kurang lebih empat jam berorasi, Sekot AG Latuheru keluar menemui para pendemo. Sementara walikota sudah pulang duluan melewati pintu belakang.

Kepada Sekot, fungsionaris HMI Ambon Muhamad Ikbal menegaskan, Perwali Nomor 16 tahun 2020 yang dikeluarkan Pemkot Ambon sangat merugikan pedagang. Untuk itu perwali harus dicabut.

“Kami minta pemkot tinjau kembali perwali yang berlaku, segera cabut Perwali Nomor 16 karena tidak pro terhadap masyarakat kecil terutama bagi para pedagang,” tegasnya.

Menurutnya, dalam kondisi seperti ini haruslah dipercepat pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), karena PKM yang dibuat oleh Pemkot Ambon tidak adil.

Menjawab tuntutan para pendemo, Latuheru mengatakan, tuntutan yang disampaikan para pedagang dan mahasiswa akan dikaji lagi dengan pemerintah.

Latuheru juga menyampailkan permohonan maaf atas tindakan yang dilakukan oleh oknum Satpol PP yang telah menyinggung HMI. Namun sayangnya, permintaan maaf itu, tak diterima oleh mahasiswa.

“Oknum Satpol PP yang menyampaikan HMI provokasi para pedagang, kami sangat marah karena terkait dengan nama besar HMI, kami minta pertanggungajawaban dari oknum satpol untuk menyampaikan permohonan maaf kepada kami,” tandas Ikbal.

Ikbal menegaskan, dugaan pencemaran nama HMI akan dibawa jalur hukum.

Usai mendengar penjelasan Latuheru, massa kemudian membubarkan diri sekitar pukul 16.00 WIT.

Sebelumnya aksi demo dilakukan puluhan pedagang dan mahasiswa IAIN Ambon di Balai Kota Ambon, Jumat (12/6) memprotes Perwali Nomor 16 Tahun 2020 yang dinilai diskriminasi.

Mereka yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Peduli Masyarakat ini mendatangi Balai Kota sekitar pukul 10.00 WIT, dipimpin Ikbal Kaplale, Presidium Mahasiswa IAIN.

Sejumlah spanduk mereka bawa, diantaranya bertuliskan, “Perwali lindungi industri besar, kami hidup tapi dipaksakan untuk mati oleh Perwali Nomor 16 Tahun 2020.

Pendemo menolak pasal 23 poin A Perwali Nomor 16, yang menegaskan, pasar rakyat dikhususkan bagi penjualan barang kebutuhan pokok tetap dibuka dengan pembatasan waktu operasional, pukul 05.30-16.00 WIT.

Mereka menilai, Pemkot Ambon tebang pilih. Perwali Nomor 16 melindungi industri besar, tetapi usaha kecil dipaksakan untuk mati. (Mg-5)