DALAM beberapa bulan belakangan ini, para pemimpin partai politik semakin aktif bergerak, mencari kongsi baru, atau terlihat pecah dengan kongsi lama. Bahkan, sudah terbentuk kelompok atau bahkan disebut-sebut sebagai koalisi-koalisi baru menjelang Pemilu 2024.

Karena itu, ungkapan paling umum ‘tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik’ tampak ada benarnya. Meskipun demikian, kita tahu, ungkapan itu sering kali digunakan untuk pembenaran atas peristiwa post-factum: jika terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan, ungkapan itu dijadikan pelipur lara. Atau, ia menjadi justifikasi retoris jika memilih berbelok, putar haluan, pindah jalur, atau berganti kawan.

Tentu saja itu sah, apalagi jika tidak ada kontrak politik secara tertulis. Bahkan kalaupun ada kontrak politik, itu biasanya hanya temporal, tidak selamanya. Mungkin ada persoalan fatsoen (fatsun) atau tatakrama tak tertulis berpolitik. Namun, ini tak mengikat apa-apa, kecuali soal pantas dan tidak pantas di mata khalayak tertentu.

Pecah kongsi politik sudah diduga dan diberitakan berkali-kali. Analisis yang lebih rinci dan jelimet juga sudah disampaikan para pengamat. Partai-partai pendukung pemerintah dinilai telah terpecah. Ada partai yang dipersepsi tegak sendiri karena memiliki kecukupan untuk memenuhi ambang batas parlemen. Sementara itu, yang tidak cukup berusaha menjajaki, berkomunikasi, dan membangun kesepahaman dengan partai lain.

Tulisan ini tidak akan membahas partai apa berkoalisi dengan partai mana. Itu sudah banyak dibicarakan. Namun, saya akan mendiskusikan betapa bangun dan pecah kongsi ialah dua strategi politik. Bahwa bersama atau berpisah saat ini tidak berarti bersama atau pisah sampai Pemilu 2024 selesai atau sesudahnya.

Baca Juga: Urgensi Perpanjangan Kebijakan Restrukturisasi Kredit

Bahkan, tidak tertutup cerai dan rujuk politik akan menjadi pilihan, sesuatu yang rasional dan tidak dipandang memalukan. Dalam hal ini, misalnya, harus dilihat bahwa pemilu legislatif (pileg) adalah satu hal, ketika pemilu presiden (pilpres) adalah hal lainnya. Fakta pasca-Pemilu 2014 dan 2019 ialah bukti konkret.

Friendly match

Pertama sekali, seperti dalam olahraga, misalnya sepak bola, ada yang disebut sebagai friendly match, pertandingan persahabatan. Being friendly merupakan cara promosi dalam industri olahraga, yang dalam kata lain bisa disebut pencitraan. Sementara itu, matching bisa berorientasi internal dan eksternal.

Secara internal, itu bertujuan reflektif dan mengukur diri. Seberapa maju berbagai aspek penting sebagai sebuah tim sudah tercapai? Atau sebaliknya, seberapa jauh tim telah mundur dalam rentang waktu tertentu? Secara eksternal, itu juga sebagai cara unjuk kuat, pemanasan, dan untuk merasakan kekuatan ‘teman’ yang dilawan.

Dalam percaturan politik, making friends amat penting di mata publik, satu strategi sosia­lisasi. Keterpilihan atau elektabilitas partai tak bisa datang secara ujug-ujug, tanpa adanya keterkenalan atau popularitas maupun ketersukaan atau likeability. Keterpilihan ‘yang wajar’ dibangun di atas popularitas dan ketersukaan.

Namun, pertandingan tetaplah pertandingan. Secara internal, saling berkunjung antarpartai tertentu, atau bahkan pengumuman ini atau itu ke khalayak ialah cara uji diri sekaligus pemetaan posisi partai dalam konstelasi politik menjelang ajang tertentu. Sekaligus, itu merupakan cara untuk konsolidasi atau menstimulasi gerakan solidasi partai.

Secara eksternal, gerakan yang dipandang sebagai upaya membangun perkongsian baru ialah cara unjuk diri, atau unjuk kuat. Dalam bahasa lain, itu merupakan cara menunjukkan eksistensi atau aktualisasi diri. Tujuan lanjutannya bisa untuk mengukuhkan atau menaikkan posisi tawar, misalnya untuk mendapatkan maximum gain sumber daya politik tertentu.

Taktik pecah kongsi

Bagaimana dengan fenomena yang terlihat seperti pecah kongsi? Seperti halnya friendly match, dua tim yang berhadapan bagaimanapun juga berusaha untuk menunjukkan diri sebagai yang lebih baik. Hanya saja, karena belum dalam ajang kompetisi yang sebenarnya, intensitas dan rigidity permainan kedua tim terbatas sedemikian rupa.

Kesimpulan tentang adanya pecah kongsi, mungkin saja, hanya hasil giringan opini penulis berita, pengamat politik, atau pandangan sementara khalayak. Namun, apakah benar demikian? Tak ada yang bisa memastikan kecuali ketika ajang pertandingan sebenarnya sudah dimulai.

Bagi partai-partai yang terlihat mencari mitra baru, belum tentu kongsi lama telah benar-benar ditinggalkan. Manis buah perkongsian, terlepas dari kurang atau lebihnya, tak akan pupus begitu saja dari ingatan. Apalagi, jika terdapat kesesuaian dalam ragam aspek fundamental politik.

Hanya saja, politik juga tak terlepas dari suasana hati, emosi, perhitungan untung-rugi, atau pikiran-pikiran baru. Bahkan over-thinking juga tak jarang menjadi sebab tetap atau berubahnya pandangan sehingga kunjungan politik ke partai yang sebelumnya bukan kongsi, misalnya, ialah semacam cara untuk penyegaran, yang bisa jadi membuka pikiran untuk melihat situasi perkongsian dari sudut yang berbeda.

Mengambil jarak dari kongsi lama untuk sementara waktu juga merupakan cara untuk memperbaiki posisi tawar. Dalam kemitraan kompetitif yang bertujuan mengejar maximum gain, partai-partai yang berkongsi bisa jadi larut dalam ambisi sendiri dan abai untuk berbagi dalam pola yang seimbang (win-win situation) sehingga jika upaya-upaya yang mengarah ke win-win solution dalam meneruskan perkongsian bisa dijalankan, isu pecah kongsi akan tinggal sebagai isu semata. Penting juga dicatat, konsep ‘mengalah’ bisa berbahaya dalam relasi lembaga sehingga harus hati-hati untuk tidak menggunakannya. Sebaliknya, hal yang harus dipastikan dan dikuatkan ialah pemahaman satu sama lain sehingga terlahir kesepahaman.

Nasib bangsa

Perkongsian politik, bagaimanapun juga, harus dibangun di atas dasar roh kerakyatan dan kebangsaan. Upaya meraih maximum gain dalam tawar-menawar politik jangan sampai mengalahkan tujuan utama adanya partai-partai sebagai representasi rakyat dan bagi perjuangan kepentingan mereka.

Patronase dan tawar-menawar politik yang mengangkangi kepentingan rakyat, cepat atau lambat, tidak hanya akan memuramkan wajah partai, tetapi juga meruntuhkan sendi-sendi politik kebangsaan kita. Sementara itu, rakyat dan negara tercinta ini dalam beberapa tahun ini dan mendatang akan terus berhadapan dengan disrupsi, kemungkinan resesi, dan persaingan global yang hebat, dengan keterlembagaan politik menjadi penentu keberhasilan menghadapi semua itu. Oleh: IGK Manila Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) dan anggota merangkap
Sekretaris Majelis Tinggi Partai NasDem (*)