Betapa luasnya wilayah Indonesia, yang jika ditarik garis datar, terbentang dari Barat di Pulau Rondo hingga Timur di Pulau Papua. Sedangkan garis tegak, dari Utara di Pulau Miangas hingga Selatan di Pulau Ndana, tak semua orang mampu membayangkannya.

Padanannya, jika wilayah itu disandingkan dengan Benua Eropa, posisi Indonesia setara dengan garis horizontal yang ditarik dari Kota London hingga ke Barat, berakhir di Kota Baghdad. Dan garis vertikal dari Jerman ke Selatan, yang berakhir di Aljazair. Ini artinya, ketika memimpin Indonesia seluas itu hanya dilakukan oleh satu presiden, namun di Eropa dibutuhkan sedikitnya lima presiden atau perdana menteri.

Deskripsi geografis sederhana ini, menggambarkan betapa luasnya wilayah Indonesia. Di balik pemahaman itu pula, disadari pengelolaan dan pembangunan di wilayah yang demikian luas itu, sangat kompleks. Terlebih jika dilihat lebih dalam, Indonesia terdiri dari 514 daerah tingkat II, di 34 daerah tingkat I. Keberagaman latar belakang dan tujuan, melahirkan kompleksitas pengelolaan yang tinggi.

Perencanaan Pembangunan nasional Berbasis T-H-I-S

Dalam kaitan dengan pengelolaan dan pembangunan wilayah luas Indonesia itu, Kementerian PPN/Bappenas, menerjemahkan pembangunan sebagai tercapainya kecerdasan kehidupan bangsa dengan segala macam atributnya. Sehingga perlu ada perencanaan pembangunan nasional yang sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, namun tetap tanggap terhadap perubahan. Untuk itu dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional, yang memandu: penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional harus dilakukan dengan pendekatan money follow program. Sasaran perencanaan dengan pendekatan ini adalah mewujudkan hasil pembangunan yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.

Baca Juga: Penguatan Karakter Melalui Pendidikan Bela Negara

Dalam penerapannya, pendekatan perencanaan yang disebut di atas, diformulasi sebagai THIS. Sebuah pendekatan yang tematik, holistik, integratif, dan spasial. Tematik, berarti terdapat penentuan tema prioritas dalam suatu jangka waktu perencanaan, holistik artinya penjabaran program Presiden dalam perencanaan yang menyeluruh dari hulu hingga ke hilir. Sedangkan integratif adalah pelaksanaan perencanaan program Presiden yang dilihat dari peran para pihak untuk mencapai keterpaduan sumber pendanaan, dan spasial sebagai penjabaran program Presiden dalam satu kesatuan wilayah dan keterkaitan antarwilayah.

Peran BIG (Badan Informasi Geospasial) dalam Perencanaan Pembanguan Nasional

Menerjemahkan peraturan pemerintah terkait perencanaan pembangunan nasional di atas, Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial Dr. Antonius Bambang Wijanarto menyampaikan,”Sekarang pembangunan tidak boleh sembarangan. Bila kita ingin menjadikan sebuah daerah menjadi pusat produksi pangan, itu harus didukung tema apa saja. Harus ada infrastrukturnya, harus ada irigasinya, harus ada penduduk yang bertani. Satu kegiatan didukung oleh bermacam-macam tema. Kemudian harus menjawab sesuatu yang holistik dan terintegrasi. Jadi tidak ada orang membangun irigasi di Gunungkidul di gunung-gunung padahal pertaniannya ada di tempat lain. Itu harus terintegrasi menjadi satu bagian, jadi outcome-nya akan lebih terasa. Mengapa spasial? Karena toh mau holistik dan integratif, datanya harus (di) spasialkan. Kunci untuk menjadi integratif, holistik, dan tematik, adalah spasial. Untuk mencapai THI itu harus ada S. Kalau tidak memakai itu, omong kosong”.

Anton juga mengemukakan bahwa tujuan pembangunan nasional adalah melaksanakan pembangunan di daerah. “Mengapa daerah itu penting? Karena implementasi pembangunan itu ya mau ga mau ya di daerah. Walaupun itu kegiatan prioritas nasional, tapi yang akan berhadapan dengan pemanfaatan lahan. kan yang di daerah. Faktor inilah yang membuat IG (informasi geospasial) di daerah jadi penting. Ini karena yang memerintah di daerah harus jelas batas wilayahnya. Kalau lintas batas, maka lintas kewenangan IG juga. Ini harus diakomodir (oleh BIG). Pemerintah di daerah semisal gubernur atau pusat”. Tersirat, BIG adalah badan negara yang memosisikan diri sebagai penunjang informasi geospasial yang diperlukan kepala daerah dalam pengelolaan dan pembangunan yang berbasis spasial, di daerah.

Perspektif Pusat dan Daerah dan Pembangunan Nasional

Memahami pelaksanaan peran pemerintah pusat dalam mewujudkan pembangunan nasional berformulasi THIS ini, maka yang dilakukan pemerintah daerah merupakan tindak lanjut pembangunan oleh pemerintah pusat. Lewat THIS dipastikan, yang jadi kebijakan pusat dilaksanakan di daerah, dengan pendekatan dan perspektif yang sama. Jika itu benar dilaksanakan, kendala akibat perbedaan perspektif di pemerintah pusat dengan daerah akan minim terjadi.

Untuk menjamin pemerintah daerah dan pemerintah pusat berperspektif sama, maka pemimpin daerah harus berpandangan sama terhadap program pembangunan yang dijalankan pemerintah pusat. Wujud praktisnya, rencana tata ruang (RTR), yang terbagi menjadi dua rencana umum: Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota, maupun rencana rinci : RTR Pulau, RTR Kawasan Strategis Nasional dan RDTR Kabupaten dan Kota, jadi basis dalam perencanaan pembangunan nasional, yang dijalankan pemerintah daerah.

Maka diperoleh gambaran, aspek spasial sangat penting dalam pembangunan nasional saat ini. Namun masih ada hambatan, berupa tak meratanya ketersediaan dokumen RDTR di Indonesia. Salah satunya yang sangat menonjol adalah ketersediaan peta dasar dengan skala 1:5.000, untuk penyusunan RDTR. Dan peta dasar itu harus mendapat persetujuan substansi dari BIG. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial.

Dari seluruh uraian di atas dapat ditandaskan, seorang pemimpin daerah harus memahami aspek spasial. Berbagai keputusan yang dihasilkan selalu mempertimbangkan aspek spasialnya. Maka, perlu disiapkan sumber daya manusia yang terliterasi pemahaman spasialnya. Dalam keadaan siap itu, berbagai kebijakan pembangunan yang berlaku di daerah, kebijakannya sejalan dengan perspektif di tingkat nasional. (Dian Ardiansyah Pranata Humas di Badan Informasi Geospasial)