Masyarakat dunia saat ini tengah membahas beberapa hal penting yang menjadi agenda prioritas global, seperti menemukan cara mengembangkan pangsa energi terbarukan (renewable energy) dan energi berkelanjutan (sustainable energy) agar bumi tetap menjadi habitat ideal bagi umat manusia di tengah ancaman perubahan iklim.

Kemudian melakukan upaya rekayasa genetik agrikultur untuk pemenuhan kebutuhan pangan penduduk dunia dan rekayasa DNA untuk mening­katkan kemampuan survival manusia dari penyakit berat. Inovasi yang melibatkan pengembangan sis­tem teknologi robotik, artificial intelligence (AI), block­hain, augmented reality (AR) dan quantum computing juga gencar dilakukan. Inovasi dan pengem­bangan itu menyasar kepentingan berbagai aspek, mulai dari aspek edukasi, kesehatan, sosial, eko­nomi, lingkungan hingga konektivitas antarnegara.

Bahkan, komunitas global sudah mencanangkan ekspedisi ke planet mars dalam misi untuk mencari zona layak huni (goldilocks) bagi kelangsungan umat manusia.

Semua upaya besar yang dilakukan oleh banyak negara maju, mulai dari dunia Barat, sebagian negara Asia seperti Jepang, Korea dan China, hingga bahkan negara Timur Tengah semisal Uni Emirat Arab. Upaya negara-negara itu ditujukan untuk ke­pentingan jangka Panjang berskala global.

Berkutat dengan masalah klasik

Baca Juga: Menjadikan Petani Pahlawan

Geliat inovasi dan pengembangan teknologi di ne­gara-negara maju tadi menjadi pemandangan yang kontras dengan realitas di Tanah Air. Sampai hari ini, kita masih berkutat dengan problem yang su­dah berumur ratusan tahun, yakni mencari hu­bu­ngan yang pas antara aga­ma dan negara (kekuasaan).

Sementara pada saat yang sama, negara-negara maju tadi sudah selesai dengan problem semacam itu.

Mereka memberi batas yang tegas antara urusan agama dan negara. Bahkan langkah tersebut sudah diinisasi dunia Barat sejak zaman renaissance (pence­rahan). Usaha reformis itu terbukti berhasil dilakukan. Otoritas agama kemudian berposisi sebagai subeko­sis­tem dari negara dan bu­kan sebaliknya (sekuleris­tik). Sejak itu, mereka mene­gakkan rasionalitas dan ilmu pengetahuan untuk mencapai kemajuan di berbagai bidang.

Memang di balik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka mengalami sedikit kelemahan dalam hal spiritualitas. Namun demikian, sebenarnya negara-negara maju itu sedang mencari titik kese­imbangan antara nilai religiusitas dan rasionalitas.

Sementara Indonesia secara sosiologis tidak mungkin untuk meniru sifat sekuleristik Barat dan beberapa negara maju lainnya. Karena Indonesia mengakomodasi berbagai kepentingan agama yang membuatnya menjadi bagian integral dari negara.

Selain itu, peran agama di era Revolusi Industri 4.0 ini masih relevan dan penting. Emile Durkheim, seorang ilmuwan sosial, menyebutkan bahwa agama memiliki peran besar dalam menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat.

Namun terkait hubungan agama dan negara, bangsa ini masih dihadapkan pada kerumitan dalam menemukan model yang pas. Saat ini yang kerap ter­jadi adalah adanya pola intersectional (persing­gungan) antara negara dengan lembaga berbasis keagamaan yang terkesan saling bertentangan.

Agama yang dicitrakan melalui simbol-simbolnya hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan politik perebutan kekuasaan. Hal ini membuat kita seperti sulit untuk melangkah jauh karena energi besar bangsa yang dimiliki ini terkuras habis oleh isu-isu keagamaan yang mengerucut menjadi politik identitas.

Politik identitas di Indonesia

Menurut Ahmad Syafii Maarif, isu politik identitas mulai menyita perhatian sejumlah ilmuwan sosial pada 1970-an. Yakni ketika Amerika Serikat, meng­hadapi masalah minoritas, gender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang merasa terpinggirkan. Dalam perkembangan selanjutnya cakupan politik identitas ini meluas kepada masalah agama dan ikatan-ikatan kultural yang beragam.

Berkembangnya tipologi serta pengertian mengenai politik identitas juga turut mengubah narasi ketidakadilan dan ketersisihan yang tidak lagi menjadi latar belakang tunggal. Melainkan berkembang menjadi sentimen yang dibalut identitas kelompok ideologi maupun agama.

Di negara demokrasi seperti Indonesia semua entitas punya hak untuk menunjukkan ekspresi dan identitasnya termasuk dalam bidang politik. Tidak ada larangan bagi suatu kelompok untuk menunjukkan identitas politiknya dengan beragam corak. Partai yang mengusung warna keagamaan terbukti tetap eksis di Indonesia. Pun demikian dengan keberadaan berbagai organisasi keagamaan, salah satunya seperti Nahdlatul Ulama (NU) juga diberikan ruang oleh negara untuk berperan maksimal.

Bedanya ialah bahwa NU tidak pernah menggu­nakan labelisasi agama untuk kepentingan politik praktis. Dan, memang NU tidak berada pada posisi untuk terlibat dalam politik praktis. Ini sebagaimana yang termaktub dalam keputusan Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo tentang khittah nahdliyah jami’iyah Nahdlatul Ulama yang tidak boleh dilibatkan dalam politik praktis.

Khittah itu menjadi haluan bagi NU dalam menjalankan politik kebangsaan yang berlandaskan moral serta nilai-nilai demi tegaknya persatuan. Meminjam istilah Prof. Dr. M. Arskal Salim, bahwa politik kebangsaan ialah spirit dalam memahami dan mengakomodasi keberadaan kelompok mayoritas dan minoritas sehingga keduanya menjadi inklusif.

Pada titik ini kita perlu menggaristebalkan pemaknaan tentang politik identitas yang terletak pada gerakan. Atau secara sederhana kita dapat menyaksikan maraknya politik identitas dari praktik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang menghalangi, membatasi dan menyerang pihak lain karena identitasnya.

Maraknya politik identitas pada akhirnya menyebabkan dishar­moni kolektif yang tidak hanya memperuncing hubungan mayori­tas dan minoritas, tetapi juga me­nyebabkan polarisasi antar-kelom­pok di dalam mayoritas itu sendiri.

Politik identitas punya kecende­rungan besar untuk mendahulukan urusan kelompok berdasarkan identitas dan kepentingannya sehingga tidak ada ruang yang cukup untuk menampung ide-ide besar di tengah keragaman poten­si yang dimiliki bangsa ini. Tidak mungkin rasanya kita mencari formu­lasi yang tepat dalam menghadapi tantangan global bila untuk bersatu saja begitu sulit.

Penguatan konsensus negara

Sebenarnya kita sudah memiliki empat konsensus yang menjadi fondasi ideologi berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Empat konsensus negara itu tercipta dari tekad mulia, yakni mem­persatukan semua kompo­nen bangsa dari berbagai latar bela­kang melalui musyawarah mufakat.

Ditinjau dari aspek tekad, meka­nisme dan produk pemikiran, keem­pat konsensus berbangsa dan bernegara itu sudah sangat ideal.

Empat konsesus itu menjadi payung yang melindungi bangsa kita dari ancaman dari dalam mau­pun luar. Karenanya menurut saya kita perlu menguatkan kembali empat konsensus itu demi me­nangkal ancaman polarisasi akibat politik identitas.

Berbagai organisasi keagama­an yang ada diharapkan berperan aktif guna memperkuatkan empat kosensus negara itu. Sebab, jika em­pat konsensus negara itu le­mah dan tidak berfungsi dengan baik, maka akan berakibat pada disintegrasi bangsa.

Bagaimanapun bangsa ini harus berakselerasi, mengarah­kan se­mua potensi yang dimiliki untuk lang­kah yang lebih besar. Visi Indonesia emas di tahun 2045 adalah kenis­cayaan bila kita semua ber­satu. Pentingnya me­nyongsong ke­jayaan di usia 100 tahun kemer­de­kaan Indonesia sangat tergantung pada ke­siapan dan kesadaran se­luruh kom­ponen bangsa. Negara lain se­dang sibuk berburu talenta-talenta terbaik di dunia. Sementara di kita saling membunuh dan saling me­nega­sikan sesama anak bangsa. Oleh: Rahmat Hidayat Pulungan Wasekjend PBNU (*)