Kebijakan Gubernur yang tidak biasa ini oleh kalangan Gereja Protestan Maluku, dianggap sebagai pelecehan terhadap institusi gereja. Umumnya mereka meminta peme­rintah agar berhenti melakukan inter­vensi politik kekuasaan yang men­campur adukan sistem dan meka­nisme yang ada di perguruan tinggi.

Alumni UKIM, pendeta Pieter Lei­wakabessy menilai, Gubernur Ma­luku, Murad Ismail telah melakukan pelecehan intelektual  karena dalam sejarah berdirinya UKIM hingga kini baru pernah terjadi gubernur mem­berikan rekomendasi kepada Yaperti untuk mendukung calon tertentu men­jadi Rektor UKIM, padahal ke­wenangan tersebut tidak dimiliki oleh gubernur.

“Sepanjang sejarah di Maluku tidak pernah ada intervensi dari gubernur kepada lembaga pendidikan. Dan beta anggap ini sebagai sebuah pelecehan intelektual,” ujarnya.

Menurutnya, dalam statuta UKIM maupun peraturan GPM, tidak ada satu pun point yang menjelaskan gu­bernur bisa memberikan rekomen­dasi kepada seseorang untuk menjadi rektor.

Dia menduga, pembisik-pembisik yang ada di sekitar gubernur  yang sa­lah memberikan masukan dan ber­­dampak pada rusaknya citra gu­ber­nur. Karena rekomendasi yang di­ke­luarkan bisa memecah belah UKIM.

Baca Juga: Rumra: Pemprov Akui Pembelian Mobil Dinas Gubernur Salahi Prosedur

“Ide dan pembisik-pembisik di se­kitar gubernur ini yang salah. Mereka pandai tetapi dalam kebodohan. Ka­rena rekomendasi ini sangat berba­haya dan mengandung pola politik adu domba, pemecah belah. Karena akan terjadi kelompok-kelompok  dan mereka akan saling adu keku­atan dan saling tanduk. Padahal, proses ini belum berjalan,” ujarnya.

Gubernur seharusnya memahami bahwa proses pencalonan rektor merupakan kewenangan internal UKIM, dan sama sekali tidak ada uru­sannya dengan pemerintahan.

“Karena itu GPM harus mem­per­tanyakan ini langsung ke gubernur, alasannya apa gubernur menge­luarkan surat rekomendasi tersebut. Selain itu gubernur harus meminta maaf kepada GPM sebagai pemilik sah dari UKIM atas keteledoran dan sikap arogansi yang sangat mema­lukan dan telah mencoreng wibawa dan jabatannya,” ujarnya.

Transaksi Politik

Sementara itu, pendeta Christian Sa­hetapy menilai, langkah Murad Ismail dengan memberikan reko­men­dasi kepada salah satu kan­didat bakal calon rektor UKIM sebagai bentuk intervensi didalam dunia perguruan tinggi milik GPM.

Dijelaskan, Gubernur Maluku boleh-boleh saja memberikan reko­mendasi tetapi harus sesuai de­ngan aturan yang berlalu di UKIM, artinya jika dalam statuta pendirian UKIM tertera hal dimaksud maka sah-sah saja.

Akan tetapi berdasarkan statuta UKIM, yang memiliki kewenangan se­cara substansial dalam proses pemilihan rektor berada ditangan yayasan perguruan tinggi dan MPH Sinode sebagai pembina sehingga diluar unsur-unsur itu tidak ada yang berhak memberikan rekomendasi.

Sahetapy mempertanyakan alasan apa sehingga Gubernur Maluku berani membuat rekomendasi untuk mencalonkan seseorang menjadi rektor sementara berdasarkan atu­ran seluruh civitas akademika memi­liki hak untuk di calonkan diri ketika memenuhi kriteria.

“Dari sisi komunikasi secara jelas terlihat rekomendasi itu muncul su­dah pasti dengan sebuah transaksi komunikasi yang tidak biasa. Surat gubernur juga adalah surat politik yang tidak bisa menerobos masuk dalam sebuah universitas yang adalah lembaga ilmiah yang harus dijaga independensinya, tandas mantan Anggota DPRD Maluku ini.

Dugaan ini memiliki keterkaitan dalam interpersonal yang memain­kan peran-peran sebagai aktor po­litik dengan target politik dipesta politik 2024.

“Sebaiknya jangan ada intervensi politik kekuasaan atau partai politik yang mencampur adukan sistem dan mekanisme perguruan tinggi  itu sendiri. Para akademisi harus me­milih kepentingan kelompok atau partai politik atau pribadi tidak boleh diutamakan dari  kepentingan besar dari lembaga perguruan tinggi sebagai lembaga Ilmiah,” ujarnya.

Kata dia, gubernur tidak boleh mengintervensi pekerjan ilmiah dari suatu lembaga universitas khusus­nya menyangkut pencalonan, ke­cuali universitas negeri yang sta­tutanya menjaminkan itu.

UKIM, kata Sahetapy membutuh­kan sosok rektor yang memiliki ka­pasitas untuk memimpin UKIM menuju tujuan akhir dari sebuah universitas yang mengeluarkan ma­nusia-manusia yang berilmu dan berpendidikan tinggi. Namun, jika lembaga ilmiah itu dijadikan lem­baga politik, maka akan kacau balau karena adanya kepentingan politik menjelang 2024 yang diduga telah masuk dalam komunikasi yang tidak bermoral tersebut

“Kalau semua kepentingan masu­kan akan kacau, karena kalau kepen­ti­ngan politik maka ada target yang hendak dicapai gurbernur dengan kelompok yang sudah ada  yang merupakan agen bagi beliau dan sebenarnya disitulah kepintaran seorang Murad untuk membangun komunikasi politik dalam menjebak semua orang dengan mengambil kepentingan kedepan,” jelasnya kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Sabtu (7/8).

Apalagi, tambah dia, persoalan memberikan rekomendasi ini tidak pernah terjadi pada era pemerin­tahan sebelumnya, artinya gubernur-gubernur sebelumnya tidak pernah melakukan hal yang demikian.

Sahetapy pun meminta senat UKIM untuk tidak perlu menanggapi surat rekomendasi itu serta harus men­jadi catatan bagi umat gereja karena itu rekomendasi itu tidak diatur dalam statuta UKIM.

Dia menduga sebelum rekomen­dasi itu dirancang, telah terjadi transaksi percakapan antara bebe­rapa pihak yang telah menyetujui dikeluarkan rekomendasi yang ditujukan kepada destinasinya.

“Sebab mana mungkin Gubernur Maluku dapat mengulas secara terperinci data diri dari calon rektor UKIM tersebut. Diduga transaksi percakapan tersebut berasal dari sumber-sumber terpercaya dan jaringan-jaringan yang bermitra dengan Gubernur Maluku.

Langkah Keliru

Pendeta Emeritus Ade Manuhuttu mengungkapkan, jika surat tersebut di­keluarkan oleh Gubernur Maluku ma­ka merupakan sebuah keke­liruan.

“Ini kan telah beberapa hari berarti sudah cukup lama dan kalau me­mang surat ini dikeluarkan oleh gu­bernur ini keliru, artinya sebenarnya hak untuk melakukan pemilihan rektor ada ditangan senat universitas yang memilih,” ujar Manuhutu saat dihubungi Siwalima melalui telepon selulernya, Sabtu (7/8)

Dijelaskan, bila membaca surat rekomendasi dengan seksama maka pada perihal surat disebutkan rekomendasi tetapi isi surat seakan-akan menentukan yang harus dipilih itu Joshepus Noya.

Manuhutu juga mempertanyakan data dari enam poin pertimbangan yang tertera dalam surat reko­mendasi berasal dari mana, artinya bila ada pihak diluar rektor yayasan dan MPH sebarkan gubernur tidak boleh percaya.

Sebagai orang yang terlibat lang­sung dalam pembentukan UKIM, Manuhutu menegaskan pemberian rekomendasi ini merupakan sebuah Intervensi yang tidak proporsional.

Artinya pak gubernur boleh meng­usulkan tetapi dalam percakapan tetapi tidak boleh dalam bentuk surat yang ditandatangani dengan stem­pel resmi gubernur,” cetusnya.

Langgar Etika

Sementara itu, warga gereja GPM, Nathaniel Elake menilai rekomen­da­si ini adalah hal biasa dalam ke­gia­tan politik pemerintahan, namun sungguh sangat melanggar etika ke­tika diperuntukan untuk lembaga pen­didikan yang seharusnya bebas nilai politik. Apalagi lembaga pen­didi­kan yang berbasis kekristenan. Ke­nyataan ini sadar atau tidak sadar te­lah menoreh sebuah luka bagi UKIM.

UKIM, kata Elake, selain milik publik dari sisi pelayanan, tapi dari sisi kepemilikan maka UKIM itu milik semua warga GPM. “Ingat setiap rupiah yang kami kasih ke gereja se­bagian digunakan untuk UKIM. Ke­tika UKIM terpuruk jemaat juga yang akan memikul beban itu. Karena itu persoalan rekomendasi ini suka atau tidak suka akan mengganggu rasa peduli kita,” ujarnya.

Menurutnya, jika ini tidak segera di respons oleh pihak Yaperti dan Si­node, maka akan menjadi duri bah­kan berpotensi memicu kereta­kan dalam tubuh lembaga yang dijuluki kampus orang basaudara itu.

Dia meminta Yaperti dan MPH Si­node GPM agar melakukan investi­gasi atas persoalan ini. Jika ada pihak internal UKIM yang datang minta rekomendasi di gubernur, ma­ka oknum yang bersangkutan agar diproses dan diberikan sanksi tegas kalau perlu sampai pemberhentian dari jabatan selaku pegawai organik gereja, jika yang bersangkutan pega­wai organis, jika PNS yang ditugas­kan di UKIM maka agar dikembali­kan ke Kopertis. (S-19/S-50/S-52)