AMBON, Siwalimanews – Bryan Kariuw selaku Penasehat Hukum Thomas Madilis alias TM, pelaku penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Gubernur Maluku, Murad Ismail dan istrinya Widya Pratiwi Murad Ismail menilai jika penetapan status TM sebagai tersangka sangatlah tidak beralasan.

Kepada Siwalima, melalui press releasenya, Kariuw mengatakan, setidaknya terdapat dua pertanyaan mendasar dari penetapan peralihan status TM dari saksi menjadi tersangka dugaan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap Gubernur Maluku bersama Istri, sebagaimana diancam dengan ketentuan Pasal 45 ayat (3) Jo 27 ayat (3) UU ITE dan/atau Pasal 310 ayat (2) KUHPidana.

Pertama, proses pemeriksaan yang berujung pada penetapan status tersangka sdr TM, bermula dari adanya Laporan Polisi (LP) Nomor : LP/B/72/III/2023/SPKT/POLDA MALUKU, tanggal 8 Maret 2023, jamak dipahami Laporan tersebut merupakan inisiatif salah satu korban yakni Istri Gubernur Maluku.

“Sungguh aneh dan sangat disayangkan bagaimana mungkin istri Gubernur Maluku di tengah-tengah kesibukan yang begitu padat masih sempat membuka, membaca dan merespon status di media sosial sekelas Facebook? Kalaupun beliau terkadang membuka sosial media maka pertanyaan lebih lanjut apakah beliau berteman dengan sdr TM,” ujarnya.

Jika demikian, kata Kariuw, maka perlu dievaluasi seperti apa tugas dan kesibukan dari seorang istri Gubernur Maluku apakah hanya sebatas bermain media-sosial bahkan sampai meladeni terhadap ‘rakyat biasa’ yang kritis mengamati kom­pleksitas problem daerah.

Baca Juga: Polisi Ringkus Dua Pelaku Pengeroyokan Sopir Ambulans

Kedua, dimanakah letak kesa­lahan saudara TM, apakah telah menyebutkan secara expresif verbis nama subjek atau identitas individu seseorang dalam postingan media sosialnya. Kecerdasan bersosial media dapat diukur dari kedewasaannya dalam menyikapi ketajaman sebuah pendapat/opini.

“Mengingat media sosial pada level facebook, sudah menjadi pengetahuan publik, dimana men­jadi tempat penyampaian pendapat dalam wujud kegelisahan, kema­rahan, keluh-kesah, kritikan, bahkan pujian. Oleh karenanya, tidak boleh baper dalam bersosial-media, terk­hususnya Pejabat Publik yang dipilih secara langsung oleh rakyat (elected official), perolehan daulat langsung dari rakyat sehingga sudah sepatutnya menampilkan sisi kedewasaan mereka dengan mene­rima ketajaman sebuah pendapat yang dijamin oleh konstitusi,” jelasnya.

Dijelaskan, sebagaimana ancaman Pasal 27 ayat (3) UU ITE, merupakan salah satu Pasal yang sering menjadi perdebatan, bahkan bagi sebagian kalangan menyebutnya “pasal karet” sebab dengan mudah bisa membungkam suara-suara yang kritis. Sebab itulah, makna delik pidana dalam pasal a quo dirubah oleh MK melalui putusannya nomor 50/PUU-VI/2008, bergeser dari delik biasa menjadi delik aduan.

Bahkan setelah adanya putusan MK, pihak Pemerintah, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Republik Indonesia sepakat untuk membuat pedoman tafsir/implementasi Pasal a quo dalam bentuk Surat Kepu­tusan Bersama (SKB) tahun 2021. Secara tegas, disebutkan bahwa bukan sebuah delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diakses tersebut adalah berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan dan/atau kata-kata tidak pantas.

“Untuk perbuatan yang demikian, semestinya dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan sebagaimana dimaksud Pasal 315 KUHP. SKB tersebut adalah produk hukum dari institusi Kepolisian Republik Indonesia maka seyo­gianya aparat Polisi, Penyidik, atau Penyidik Pembantu tunduk pada produknya sendiri. Lebih jauh, ihwal pedoman implementasi Pasal 27 ayat (3) huruf (c) dalam SKB tahun 2021, dinyatakan tegas bahwa bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusi­kan, dan/atau dibuat dapat diak­sesnya tersebut adalah berupan Penilaian, Pendapat, Hasil Evaluasi atau Sebuah Kajian,” tandasnya.

Dalam batas penalaran yang wajar, lanjut dia, jika dikaitkan dengan materi muatan dan/atau konten yang diunggah oleh Tersangka adalah bentuk Penyampian Pen­dapat di muka umum, dengan menggunakan sarana media sosial elektronik.

“Maka sesungguhnya yang bersangkutan harus mendapat perlindungan hukum dan jaminan konstitusional, bukan sebaliknya dijadikan tersangka. Fokus pemi­danaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja (dolus) menyerang kehor­matan seseorang pribadi dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum. Oleh karena itu, aparat penegak hukum seyogianya bersikap proporsional dan pro­fesional,” tegas Kariuw.

Untuk  diketahui, TM diduga melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap gubernur dan istrinya melalui akun media sosial yakni facebook, dengan memposting sejumlah status yang berbunyi : ‘INA LATU mengucapkan ale senang-beta senang tapi itu dia baca teks, artinya kemampuan menghafal beliau itu rendah. itu pointnya’;  INA LATU itu dari Matarumah mana..?? Marga saja tar ada. Dia pung darah Nunusaku ka tarumanegara ka samundera pasai’; ‘Sapa yang tulis pidato INA LATU kemarin pas lantik…? lain kali INA LATU gladi dolo, akhirnya baca sapanggal macam gugup’; ‘Sudah jelaskan, Gubernur itu kan bodoh !! Kaki tangannya juga di kampung ini juga lebih goblok’; ‘Gubernur punya kemampuan bamaki lebeh banyak daripada melayani’’ INA LATU Maluku bilang : ‘Ale susah beta susah, ale Senang, beta senang.Hahahha ibu pung mulu jua asang lemong kalah’; ‘Bunda stunting Gubernur sinting Kader otak cabul kader maling sofa’. (S-08)