MASYARAKAT Indonesia kerap waspada saat menghadapi bulan berakhiran ‘ber’ sebab biasanya dianggap sudah memasuki musim penghujan. Ditambah lagi dengan adanya perubahan iklim yang membuat siklus iklim global semakin sulit diprediksi. Perubahan iklim menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah akibat aktivitas manusia secara langsung atau tidak langsung, sehingga mengubah komposisi atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada periode waktu yang dapat diperbandingkan. Perubahan iklim secara global telah merubah komposisi fisika, biologi dan kimiawi lautan yang langsung maupun tidak langsung memengaruhi kehidupan biota laut di dalamnya.

Karakteristik iklim laut seperti suhu, arus, oksigen terlarut merupakan komponen yang memengaruhi produktivitas primer dan sekunder, hal itu sangat memengaruhi distribusi dan kelimpahan tuna (Johnson, et al., 2018) pada suatu lokasi. Selain fitur di atas, variabilitas iklim yang terjadi secara alami seperti El Niño Southern Oscillation (ENSO), pada skala tahunan, dan Pacific Decadal Oscillation (PDO) pada skala 10 tahunan akan memengaruhi kelangsungan hidup larva ikan tuna. Akibatnya, akan mempengaruhi rekruitmen pada tahun berikutnya. Pengaruh perubahan musiman ini akan banyak memengaruhi lokasi dan distribusi suitable habitat bagi ikan tuna yang mempunyai ruaya lebih sempit dan umur yang lebih pendek, seperti skipjack atau lebih popular disebut cakalang.  Fitur lain seperti pemanasan global dan ocean acidification atau pengasaman air laut yang terjadi karena kenaikan kadar CO2 di dalam atmosfer, juga akan berpengaruh pada perikanan tuna pada skala yang kecil terhadap habitat tuna. Intinya, perubahan iklim memengaruhi produktivitas perikanan tuna secara musiman, sekaligus membuat spesies ini mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Karenanya, proses mitigasi perubahan iklim pada perikanan tuna lebih efektif dilakukan dengan pengelolaan perikanan berkelanjutan dalam skala nasional maupun regional. Perikanan tuna menjadi salah satu komoditas penting bernilai ekonomi tinggi dan penghasil devisa terbesar Indonesia. Pasalnya, permintaan dunia terus menguat terhadap komoditas ini.

Data pemerintah mencatat, terjadi peningkatan volume ekspor tuna-cakalang semester I/2017 hingga 2020 sekitar 5,08% per tahun, dan meningkat 9,46% pada semester I/2019-2020. Itu sebabnya, pada 2016 Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan Indonesia berkontribusi hingga 16% total produksi dunia, dengan rata-rata produksi tuna, cakalang, dan tongkol (TCT) Indonesia mencapai lebih dari 1,2 juta ton/tahun. Namun akibat perubahan iklim yang terjadi, potensi ini diperkirakan semakin merosot sebagaimana catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), terjadi kontraksi hingga -7,67% pada volume ekspor tuna-cakalang secara nilai pada semester I/2019-2020. Merespons ancaman perubahan iklim yang terjadi, Bappenas mengusulkan perwujudan strategi pengelolaan perikanan berkelanjutan. Termasuk bentuk-bentuk usaha untuk menambah nilai (value added)  pada jenis tuna dengan nilai yang lebih rendah guna menekan laju eksploitasi, seperti pada jenis TCT untuk jenis industri pengalengan (canneries). Dengan perubahan distribusi perikanan tuna dari wilayah barat ke timur pasifik, maka strategi pemanfaatan seperti pemberian izin dan proses pendaratan ikan tuna harus dilakukan secara terintegrasi. Tujuannya, untuk memastikan keuntungan dari perikanan tuna dapat dirasakan bersama baik bagi negara penangkap dan pemroses hasil perikanan.

Identifikasi masalah Sedikitnya, ada 8 isu dan permasalahan mendesak yang harus diperhatikan dalam mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan; pertama, kondisi sumber daya yang sebagian besar berada pada kondisi tangkap lebih (overfishing) dan pemanfaatan penuh (fully exploited). Kedua, struktur armada penangkapan yang didominasi oleh armada kecil. Ketiga, kurangnya ketersediaan input memadai untuk operasi penangkapan yang efisien. Keempat, kurangnya ketersediaan informasi pasar yang bisa diakses oleh nelayan. Kelima, belum adanya wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dan rencana pengelolaan perikanan (RPP) yang bertanggung jawab dan pembentukan unit manajemen yang spesifik dalam pengelolaan WPP tertentu.

Keenam, pengendalian penangkapan yang menerapkan kaidah penangkapan bertanggung jawab (responsible fisheries) belum terlaksana dengan optimal. Ketujuh, pencatatan dan pendataan hasil penangkapan secara akurat yang mengadopsi prinsip-prinsip good handling practices belum banyak diterapkan. Terakhir, perlu adanya penguatan pendataan hasil tangkap yang akurat dan pendugaan stok reguler berbasiskan kajian ilmiah yang kredibel. Efektivitas kebijakan Bappenas merespons permasalahan di atas dengan beberapa usulan rangkaian kebijakan perikanan berkelanjutan, melalui terobosan strategis. Pertama, diperlukan kebijakan tepat terkait pemetaan dan pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan oleh kementerian dan lembaga terkait. Pemerintah siap melakukan penyempurnaan sistem pendataan dan melakukan pencataan produksi serta upaya penangkapan secara berkala (1 tahun sekali). Kedua, melakukan analisis kapasitas perikanan setiap WPP dengan dasar kajian ilmiah yang kredibel juga secara berkala (1 tahun sekali). Ketiga, percepatan penataan kembali dan pengembangan armada sekaligus mempercepat penyusunan RPP dan kerangka kelembagaan setiap WPP yang memiliki kekuatan legal. Regulasi tersebut diharapkan menjadi payung hukum bagi penataan armada pada setiap WPP guna mewujudkan perikanan berkelanjutan. Keempat, jaminan ketersediaan bahan bakar yang cukup untuk nelayan sekaligus mengawasi peruntukannya. Kelima, percepatan pengembangan serta peningkatan sistem informasi sumber daya dan sistem informasi pasar bagi nelayan yang bersifat real time, murah dan mudah diakses.

Baca Juga: Dansat Brimob: Program BRAIN Tetap Berjalan

Dengan demikian, upaya mewujudkan perikanan berkelanjutan dapat dijalankan berdasarkan setiap kebijakan strategis. Solusi konkrit Tak dapat dipungkiri, efek perubahan iklim sangat mengancam keberadaan dan perkembangan spesies perikanan tuna di Indonesia dan negara-negara global. Karenanya, pengelolaan perikanan berkelanjutan mutlak harus diwujudkan melalui strategi operasionalisasi WPP dan RPP oleh pemerintah pusat dan daerah,  agar sektor ini dapat terkelola secara optimal dan berkontribusi bagi perekonomian masyarakat.  Semua pihak harus bersinergi mewujudnyatakan strategi vital ini. Apalagi tahun ini, sebanyak 2,2 juta nelayan menggantungkan hidupnya dari sektor kelautan dan perikanan. Akibat pandemi covid-19 terjadi penurunan realisasi kegiatan usaha yang menghambat kegiatan produksi, menurunnya permintaan serta gangguan pasokan dan distribusi. Mari bersatu padu membangun negeri lewat pengelolaan perikanan berkelanjutan.  (Sri Yanti, Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas)