AMBON, Siwalimanews – Komisi Pemberantas Korupsi terus menggarap keterlibatan mantan Bupati Buru Selatan, Tagop Sudarsono Soulissa.

Penyidik KPK kembali menelusuri keterlibatan mantan bupati dua periode itu, dengan memeriksa sekumlah saksi terkait korupsi dan tindak pidana pencu­cian uang, serta gratifikasi.

Setelah menyita sejumlah aset ter­sangka di Kabupaten Buru Selatan, Ambon maupun di Jakarta, kali ini lembaga anti rasuah itu menggarap empat peng­usaha yang bergerak dibidang properti, Selasa (15/2).

Kepada Siwalima, Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengungkapkan, empat peng­usaha yang diperiksa sebagai saksi yaitu, Dea Khaerunnisa Z, dari PT Gapura Kencana Abadi. Perusahaan tersebut diketahui beralamat di Jakarta Selatan.

Selain itu, tim penyidik KPK juga memeriksa Doly Nababan, Head Legal Dep Apartemen Green Central City PT Bumi Perkasa Permai,  Ratna Ulwiyah, Marketing HYUNDAI  dan Helny, Marketing Bogor Icon.

Baca Juga: Proyek Fiktif, Kasus Korupsi Rumdis Poltek Jalan Tempat

Keempat pengusaha ini diperiksa sebagai saksi, dipusatkan di Gedung Merah Putih, Jalan Kuningan Persada, Kavling 4, Jakarta Selatan.

“Diperiksa di Gedung Putih sebagai terhadap tersangka TSS dalam kasus dalam perkara dugaan suap, gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU),” jelas Ali Fikri melalui pesan WhatsApp kepada Siwalima, Selasa (15/2).

Katanya, pemeriksaan masih terus dilakukan dan hari ini kepada empat pengusaha sebagai saksi.

Ditanya apakah kemungkinan akan ada tersangka baru,  jubir enggan mengmentarinya.

Ditahan KPK

Seperti diberitakan sebelumnya, KPK secara resmi mengumumkan dan menahan tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji, gratifikasi dan TPPU, terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Buru Selatan sejak tahun 2011-2016.

Juru Bicara Ali Fikri dalam rilisnya mengungkapkan, setelah dilakukan pengumpulan informasi dan data yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup, KPK melakukan penyelidikan dan meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan, dengan mengumumkan Tagop Sudarsono Soulisa sebagai tersangka.

Selain Tagop, KPK juga menetapkan, Johny Rynhard Kasman dan Ivana Kwelju yang juga pihak swasta.

Dalam konstruksi perkara KPK menyebutkan, tersangka Tagop yang menjabat selaku Bupati Kabupaten Buru Selatan periode 2011-2021, diduga sejak awal menjabat telah memberikan atensi lebih untuk berbagai proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Buru Selatan.

Cara yang dilakukan bupati dua periode itu yaitu, dengan mengundang secara khusus Kepala Dinas dan Kabid Bina Marga untuk mengetahui daftar dan nilai anggaran paket setiap pekerjaan proyek.

Atas informasi tersebut, Tagop kemudian merekomendasi dan menentukan secara sepihak, pihak rekanan mana saja yang bisa dimenangkan untuk mengerjakan proyek. Baik yang melalui proses lelang maupun penunjukkan langsung.

Dari penentuan para rekanan ini, diduga Tagop meminta sejumlah uang dalam bentuk fee dengan nilai 7 % sampai dengan 10 % dari nilai kontrak pekerjaan.

Khusus untuk proyek yang sumber dananya dari Dana Alokasi Khusus, lanjut KPK. ditentukan besaran fee masih diantara 7% sampai dengan 10 % ditambah 8% dari nilai kontrak pekerjaan.

KPK menyebutkan, adapun proyek-proyek tersebut diantaranya, sebagai berikut pertama, Pembangunan jalan dalam Kota Namrole Tahun 2015 dengan nilai proyek sebesar Rp3,1 miliar.

Dua, peningkatan jalan dalam Kota Namrole (hotmix) dengan nilai proyek Rp14,2 Miliar. Tiga, Peningkatan Jalan Ruas Wamsisi-Sp Namrole Modan Mohe (hotmix) dengan nilai proyek Rp14,2 Miliar dan Empat, peningkatan jalan ruas Waemulang-Biloro dengan nilai proyek Rp21,4 miliar.

Atas penerimaan sejumlah fee tersebut, Tagop diduga menggunakan orang kepercayaannya yaitu, Johny Rynhard Kasman untuk menerima sejumlah uang menggunakan rekening bank miliknya, dan untuk berikutnya di transfer ke rekening bank milik Tagop.

Diduga nilai fee yang diterima oleh Tagop sekitar sejumlah Rp10 miliar yang diantaranya, diberikan oleh tersangka Ivana Kwelju karena dipilih untuk mengerjakan salah satu proyek pekerjaan yang anggarannya bersumber dari dana DAK Tahun 2015.

Selanjutnya, penerimaan uang Rp10 miliar dimaksud, diduga Tagop membeli sejumlah aset dengan menggunakan nama pihak-pihak lain dengan maksud untuk menyamarkan asal usul uang yang diterima dari para rekanan kontraktor.

KPK menyeret para tersangka sebagai berikut, Ivana Kwelju (IK) sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selanjut KPK menjerat Tagop dan Johny Rynhard Kasman melanggar pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan atau 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Ungkap TPPU

KPK selain fokus menangani tindak pidana gratifikasinya, juga akan mengungkap tindak pidana pencucian uangnya. Sehingga penegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi bisa lebih optimal dalam memulihkan kerugian keuangan Negara yang telah timbul dari kejahatan tersebut.

Ditambahkan jubir, KPK terus mengingatkan seluruh pihak, termasuk pelaku usaha, untuk memiliki kesadaran dan komitmen bersama dalam upaya pemberantasan korupsi, salah satunya menerapkan praktik bisnis secara jujur dan berintegitas.

Miliki Bukti Kuat

Akademisi hukum Pidana berpendapat, dibukanya perkara baru dalam dugaan TPPU disebabkan karena KPK menemukan adanya bukti-bukti TPPU tersebut.

Sehingga tindakan KPK ini merupakan langkah tepat, untuk mengetahui penyaluran aliran dana TPPU tersebut.

Menurut Wadjo, dalam praktik penegakan hukum acara biasanya penyidik ketika melakukan penggeledahan terhadap barang-barang yang dinilai sebagai sarana melakukan tindak pidana dan menemukan bukti maka dapat dikembangkan.

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (27/1), Wadjo mengatakan, dengan bukti baru tekah ditemukan oleh penyidik KPK maka sendirinya telah ada bukti awal untuk KPK mengungkapkan rangkaian kasus yang dapat dikembangkan ke tersangka.

Penyidikan KPK, kata Wadjo memiliki kewenangan atau diskresi untuk memutuskan melakukan penyidikan baru dalam kasus korupsi ketika ada bukti baru yang mengarah perbuatan yang berbeda-beda dan berdiri sendiri-sendiri, sehingga tergantung dari penilaian penyidik.

Apalagi, gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang merupakan dua jenis delik pidana yang berbeda dengan unsur-unsur delik masing-masing, karena gratifikasi diatur dengan UU Tindak Pidana Korupsi sedangkan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dengan UU tersendiri.

Walaupun, seorang tersangka telah disangkakan dengan UU Tindak Pidana Korupsi oleh KPK tetapi tidak menutup kemungkinan jika tersangka tersebut juga dapat dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, sepanjang tersangka tidak dapat membukti­kan asal-usul uang tersebut.

“Dalam praktik hukum, memang ketika tersangka disangka dengan UU Tipikor tetapi dia bisa juga dijerat dengan UU TPPU sepanjang asal usul uang dan harga milik yang tidak wajar itu tidak dapat dibuktikan keabsahannya, dan banyak kasus tersangka jerat dengan kedua UU itu,” bebernya.

Ditanya soal ancaman hukum dalam TPPU, Wadjo menjelaskan dalam UU TPPU tersebut terdapat berbagai macam pasal dengan delik masing-masing dan karena itu dirinya belum bisa menentukan pasal berapa yang dapat disangkakan karena masih dalam pengembangan oleh penyidik KPK.

“Ini kan masih dalam pengembangan oleh penyidik, kita tunggu saja nanti penyidik yang menyangkakan berdasarkan fakta dan bukti,” jelasnya.

Namun begitu, Wadjo meminta agar siapapun pihak-pihak yang terlibat dalam kedua bentuk tindak pidana tersebut dapat diproses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak terkesan tebang pilih.

Sementara itu, praktisi hukum Pistos Noija menjelaskan ketika penyidik KPK menemukan adanya bukti baru maka terdapat lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan.

“Dengan menemukan bukti baru maka lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan yakni, tindak pidana korupsi dalam kaitan gratifikasi, TPPU dan tindak pidana mengaburkan atau menghilangkan bukti tindak pidana korupsi,” ujar Noija.

Menurutnya, terkait dengan ancaman pidana semuanya tergantung penyidik KPK dalam menetapkan pasal berdasarkan bukti yang ditemukan, namun tindakan penyidik baru yang dilakukan oleh penyidik merupakan suatu tindakan yang sah dan dapat dibenarkan.

Hal ini karena, dalam proses hukum yang dilakukan penyidik menemukan sendiri adanya bukti baru maka dapat dikembangkan dengan perkara yang baru pula, apalagi gratifikasi dan TPPU merupakan dua jenis tindak pidana yang berbeda dengan delik masing-masing. “Semua tergan­tung penyidik apakah mau meng­-gabungkan dua tindak pidana atau berdiri sendiri-sendiri,” tegasnya.

Garap 60 Saksi 

KPK serius mengusut tuntas kasus dugaan korupsi gratifikasi dan TPPU, terkait pengadaan ba­-rang dan jasa di Kabupaten Buru Selatan sejak tahun 2011-2016.

Buktinya selama sepekan, lembaga anti rasuah ini memeriksa hampir 60 saksi di Polres Buru. Terhitung pada Senin (24/1) KPK memeriksa 14 saksi, Selasa (25/1) 13 saksi, Rabu (26/1) 13 saksi, Kamis (27/1) 9 saksi dan Jumat (28/1) tim penyidik KPK memeriksa 11 saksi. (S-05)